Antologi Memilih Bertahan
Kata Pengantar
Segenap syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Swt.
atas curahan rahmat-Nya sehingga buku ini dapat terselesaikan dengan baik.
Begitu banyak
penjelasan yang dapat dijadikan alasan mengapa
seorang wanita harus menulis. Di antaranya adalah sebagai cara untuk melegakan
perasaan, ketika apa yang ingin disampaikan tidak mampu diungkapkan melalui lisan.
Buku antologi surat berjudul “Aku Memilih
Bertahan” ini adalah hasil karya para penulis wanita yang berdomisili dari berbagai daerah di
Indonesia dan luar negeri serta tergabung
di Kelas Menulis Antologi
Buku ini berisi kumpulan
surat yang menampilkan keadaan yang tidak diinginkan tetapi tetap diupayakan untuk dipertahankan.
Melalui karya ini para penulis memberanikan diri untuk mengungkapkan kejujuran yang melegakan serta penguat diri melalui
media tulisan.
Terima kasih untuk seluruh
penulis yang telah berkontribusi.
Kalian perempuan-perempuan hebat dan
luar biasa. Selamat membaca!
B E R
T A
H A N
Oleh Ang Diah Vega Anggono
Di antara gemerlap keinginan
dan realitas yang menyakitkan, aku berdiri. Di hadapanku terhampar
pilihan: bertahan atau menyerah pada gelombang takdir yang menghantam. Dalam kegelapan itu, aku meraba-
raba, mencari sinar harapan yang terselip di antara bayang-bayang penyesalan.
Pernahkah kau merasa terperangkap dalam keadaan yang tak lagi kau inginkan? Pernahkah kau merasakan getaran getir kehidupan yang terus-menerus menyeretmu ke dalam jurang ketidakpastian? Aku juga. Namun, di tengah hiruk-pikuk pertanyaan yang tak berujung, aku menemukan kekuatan untuk bertahan.
Bertahan bukanlah
tentang menyerah pada kelemahan atau mengikuti arus keputusasaan. Ini tentang menemukan keberanian di dalam diri untuk
menghadapi badai, walaupun
hati berdebar-debar dalam ketakutan. Ini tentang memeluk kelemahan dan
ketidaksempurnaan sebagai bagian tak
terpisahkan dari diri kita.
"Bertahan bukan menyerah, bertahan adalah perjuangan.”
Niken A. R.
Penulis kelahiran 47 tahun lalu di kota Kediri, Jawa Timur. Kini berdomisili di Bandung, Jawa Barat. Fokus mengurus rumah tangga dan memperbaiki diri.
Bandung April 2024
Untukmu,
Yang duduk sambil menyeruput kopi Di samping jendela
rumahmu.
Puk puk puk ...
Inginku
menepuk bahumu untuk menenangkan dan menyemangatimu.
Aku tahu kau sedang tidak baik baik saja. Aku
tahu kau dipaksa untuk baik baik saja. Aku tahu kau lelah batin karena menampungnya sendiri. Aku
tahu kau pun sedang mengkhawatirkan kewarasanmu saat ini. Karena hidupnya hanya memliki program "harus
mengerti, harus mengerti, dan harus
mengerti," "Ini Kewajibanmu, ini kewajibanmu, dan ini kewajibanmu."
Mengingatkanku pada sebuah film berjudul "Its Okay Not to be Okay" di mana seoarang laki-laki harus mengurus kakaknya yang memiliki gangguan mental dan memiliki pasangan mengindap gangguan mental juga akibat trauma pola asuh orang tuanya.
Poinnya bukan pada siapa yang diurus tetapi siapa yang mengurus, "caregiver" adalah orang yang mendampingi pasien yang memiliki masalah pada mental. Bagaimana keadaannya ? Apakah dia baik-baik saja? Karena ia tidak
memiliki gangguan seperti kakaknya atau pasangannya? Apa sehebat itu sampai tak ada yang memedulikan perasaanya dan kelelahannya? Tetap saja, hidup memang tidak seindah drama yang memiliki akhir yang indah. Ada batin yang lelah, ingin dimengerti, dan ingin istirahat. Tidak, kamu pun sedang tidak baik baik saja
Ketika menangis kamu tak ingin diberi iba, tak juga pelukan untuk meredakan tangismu. Karena dunia memang sekejam itu. kamu hanya butuh meluapkan kelelahanmu yang terpendam harus menjadi kuat sekian lama.
"Biarkan aku menangis, sesekali menangis. Jika kau muak melihat kelemahaanku menjauhlah sebentar, aku hanya ingin meluapkan kelelahanku saat ini," katamu.
Aku tahu kau lelah dengan drama-drama manipulatif di sekitarmu. Kamu hanya bisa diam dan menyelesaikan segala kerusakan yang mereka buat.
Tidak mudah hidup di lingkungan manusia-manusia yang memiliki EQ setipis tisu dan manipulatif yang terus memanfaatkanmu tanpa ampun . Hanya karena kamu tidak bisa menolak untuk memenuhi semua yang mereka mau. Letupan emosi yang menjadi makanan yang biasa kamu telan dan dirimu harus menjadi pihak yang selalu dipersalahkan
karena kekacauan yang mereka buat sendiri dan harus tetap tenang. Kamu bukan patung, hatimu bukan batu, bagaimana dirimu bisa baik-baik saja?
Dan ia didiagnosis bipolar, psikosomatik, anakostik & serangan panik. Jadi kelelahanmu bukanlah kegilaan yang kamu buat-buat. Jika lingkungan pun membuatmu lelah, itu pun bukanlah kegilaan yang kamu lebih-lebihkan. Itu mata rantai yang mengakar dan merusak jiwa-jiwa di sekitarnya. Kamu sudah bertahan cukup lama. Terima kasih untukmu yang sudah bertahan sampai detik ini.
"Entahlah, aku sendiri tak tahu kenapa memilih untuk bertahan, sebegitu pengecutnyakah aku?" katamu.
Jika aku tanyakan mengapa kamu bertahan, "Aku lakukan untuk Allah, aku hanya berharap ujian ini memberi akhir yang baik. Aku teringat hadis Nabi yang mengatakan, ‘Dan aku diperlihatkan neraka. Saya tidak pernah melihat pemandangan seperti yang kusaksikan hari ini. Dan saya melihat kebanyakan penghuninya adalah para perempuan. Mereka bertanya, mengapa wahai Rasulallah? Beliau bersabda, dikarenakan kekufuran mereka. Lalu ada yang berkata, apakah mereka kufur kepada Allah? Beliau menjawab, kufur terhadap pasangannya dan kebaikan-kebaikan pasangannya itu. Jika
engkamu berbuat baik kepada salah seorang perempuan sepanjang tahun, kemudian dia melihatmu melakukan (sedikit) kejelekan, maka dia akan mengatakan, saya tidak melihat sedikit pun kebaikan darimu.’ (HR. al-Bukhari dan Muslim)
"Aku takut aku jadi salah satu di antaranya. Karena surgaku ada di ridanya. Ia mencintai kami dengan segala kekurangannya, bertanggung jawab terhadap kami dengan segala kekurangannya. Dan ia mau untuk mengakui dirinya juga sedang tidak baik-baik saja serta betikhtiar untuk menyembuhkan lukannya.
"Entahlah, memamg kewarasan kupertaruhkan di lingkungani penuh drama ini, tapi nyatanya kami masih punya mimpi yang sama untuk berjuang mewujudkannya. Meninggalkan demi kebaikan kami, memulai lagi dan memperbaiki semuanya hanya dengan keluarga kecil kami. La hawla wala quata Illah billaah," katamu
Puk puk puk ...
Ingin kumenepuk bahumu setiap kamu butuhkan. Jangan lupa untuk mencintai dirimu sendiri, ya. Beri batasan. Jika kamu rasa tidak mampu, tutup pintu, tutup telinga, lalu nikmati kopimu sejenak. Perjalananmu masih panjang menyembuhkan luka batinmu sendiri dan menyembuhkan luka
orang-orang yang kamu cintai yang terdampak oleh kegilaan- kegialaan lingkungan yang tidak bisa kamu kontrol.
Dariku,
Yang selalu
ada di bagian hidupmu.
“Jadilah wanita mandiri, jangan menggantungkan kebahagiaanmu pada laki- laki.”
Anggi Noviani
Penulis kelahiran Bandung 35 tahun lalu. Saat ini bekerja sebagai guru TK. Juga fokus sebagai MC dan dunia seni peran di beberapa film pendek dan saluran YouTube.
Bandung, 2 april 2024.
Dear,
Suamiku Sayang.
Maaf sebelumnya jika nanti kau baca tulisanku ini kuharap kau menerimanya dengan hati yang terbuka. Anggaplah ini sebagai unek-unek yang aku keluarkan untuk lebih melegakan hati. Dan semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita, semoga mengandung hikmah yang berarti.
Jujur saat ini aku sedang lelah
menghadapi kehidupan yang
begini-begini saja. Ada rasa kuat untuk menyerah tapi ada rasa takut tak mampu melaluinya sendiri.
Ada rasa sangat ingin lepas darimu karena hidup yang kurasa telah hampa. Bagai gurun
di padang pasir, hatiku mungkin
sudah kering, membutuhkan banyak siraman cinta dan kasih
sayang darimu, pasanganku.
Tapi aku merasa tak mengerti apa yang kau pikirkan tentangku. Saat ini aku merasa sedang berjuang sendiri menjalani semuanya, menghadapi hidupku, luka di dalam hatiku, menyembuhkan luka yang telah kau beri dan luka-luka lain yang aku terima dengan suka rela tapi sungguh membuat sesak hati dan pikiranku.
Kamu tahu rasanya tidak dicintai? kamu tahu rasanya dibutuhkan tapi tak diinginkan?
Aku tak bisa pergi, tapi sikapmu membuatku ingin lari. Dan entah kenapa berulang kali aku coba pergi, tapi rasanya aku tak bisa lepas darimu. Tapi hatiku bimbang seolah semua yang aku pertahankan ini sia-sia.
Terkadang aku sadar betapa bodohnya terlalu
menggantungkan kebahagiaan pada orang yang mungkin masih berjuang untuk membahagiakan diri sendiri. Aku berharap dibahagiakan oleh orang yang sedang sibuk
membahagiakan diri sendiri.
Terkadang aku merasa sangat bersyukur, tapi terkadang aku merasa bodoh
mencintai begitu dalam orang
yang mungkin setengah
hati mencintaiku.
Berulang kali aku minta Tuhan untuk menunjukan jalan terbaik, tapi hingga saat ini hanya bimbang yang ada dalam hatiku.
Sayang, bolehkah aku dipanggil “sayang”? Bolehkah kau sedikit mengapresiasi semua yang telah aku usahakan untuk keluarga kita, Sayang?!
Maaf, bisakah sekali saja maaf yang lirih dan penuh ketulusan keluar dari mulutmu atas semua luka dan kekecewaan yang telah kau beri, atas air mata yang
dikeluarkan karena berbagai ulah dan kebodohanmu, Sayang?! Pernahkah kau memikirkan perasaanku? Atau benarkah kau mencintai aku?
Diabaikan ketika menangis, ketika bersedih, kamu balik marah ketika aku marah, disalahkan ketika ada kegagalan, apakah begitu caramu mencintaiku, Sayang?
Aku bertahan saat ini, aku memilih bertahan, Sayang. Aku akan lihat lagi sejauh mana kau akan berubah, sejauh mana kehidupanku berubah, dan untuk anak-anak yang mungkin butuh ayahnya.
Ya, Sayang, aku memilih bertahan saat ini. Namun, aku tidak tahu sampai kapan. Akan kubiarkan jalan ini mengalir entah sampai mana hilirnya , tapi aku yakin Allah pasti memberi jalan terbaik di ujung nya dan perubahan hidup yang baik untuk kita.
Tolong jangan kecewakan aku lagi, jangan beri aku luka lagi, karena begitu berat trauma ini dan begitu sulit menyembuhkan luka ini, Sayang.
Semoga Allah menjawab doa-doa yang selalu aku lantunkan, memberi jalan terbaik untuk keluargaku, mengganti luka dan kekecewaan ini dengan berjuta kebahagian,
memberikan takdir baik setelah semua yang kualami dan atas pilihanku untuk bertahan mengarungi bahtera lagi bersamamu.
Salam sayang dariku untukmu,
Istrimu.
"Bila aku masih bertahan sampai saat nanti, semua itu bukan karenamu.
Melainkan,
karena takdir Allah yang kujalani
demi kebahagian hakiki
di surga nanti."
Reena
Penulis adalah seorang ibu dari dua anak yang berprofesi sebagai penjual kue. Baginya menulis adalah cara untuk melepas beban di dada yang selalu menggelayuti.
Jombang, 21 April 2024.
Untukmu, Suamiku.
Jujur saja saat ini adalah saat terberat dalam hidupku. Berulang kali engkau lalukan kesalahan yang sama dan selama itu pula aku selalu memaafkanmu.
Entah apa yang terjadi pada diriku. Karena banyak orang berkata betapa bodohnya aku karena bertahan denganmu. Mereka saja lelah mendengar keluh kesahku, bagaimana dengan aku.
Jujur saja bertahan denganmu adalah ujian terberat untukku. Banyak yang harus aku ikhlaskan demi bertahan denganmu. Sejujurnya aku sangat takut memilih jalan ini, karena aku tahu dalam hatimu bukan hanya ada aku. Aku yang tak pernah jadi prioritasmu, tak pernah engkau pedulikan, dan hanya jadi status sosialmu.
Betapa aku sangat cemburu dengan dia yang selalu dalam hatimu, yang tak pernah hilang dari hidupmu, sungguh menyesakkan hati mengetahui semua itu.
Aku tak ingin egoku berakhir penderitaan bagi anak- anak kita. Mereka masih membutuhkan sosok ayah,walaupun engkau tak pernah sepenuhnya hadir dalam hidup kami.
Namun, aku pun juga terlalu takut untuk hidup sendiri tanpamu. Biarlah luka ini akan kupendam hingga mati, biarlah luka ini kupeluk dalam sendiriku. Karena engkau tahu betapa aku sangat mencintaimu yang rela kau sakiti demi untuk bersamamu.
Dariku,
Istri yang selalu mencintaimu.
“Saat dirimu memilih untuk bertahan di keadaan yang tidak diinginkan, carilah akar masalah dalam dirimu untuk menyelesaikan.”
Ang Diah Vega A (Fei-Fei)
Penulis adalah seorang Apoteker kelahiran Surabaya 1988. Suka mencoba hal baru dan menantang. Hobi melakukan perjalanan dan pamer foto di instagram @veveadh. Menyukai dunia baking serta saat ini sedang tertarik mempelajari pikiran dan perasaan manusia.
Surabaya, 21 April 2024.
Buat,
Teman baikku
Z.
Kamu hebat karena sudah bisa bertahan sampai sejauh ini dalam rumah tangga yang tidak kamu inginkan. Saya sangat menghargai keputusanmu untuk bertahan. Bila jadi kamu, belum tentu saya dapat bertahan sejauh yang kamu lakukan.
Namun, bila memang sudah tidak kuat, kamu boleh meminta bantuan orang lain untuk menjadi wadah buat menumpahkan keluh kesahmu, kok. Kamu juga boleh berhenti tidak ada yang salah dengan itu.
Saya tahu alasanmu bertahan adalah karena anak dan ekonomi orang tuamu, sehingga dirimu terus bersama pasangan yang kaya tetapi suka main tangan.
Saran saya sebagai sahabat, sebaiknya mulailah untuk mengenali dirimu apa yang menjadi kelebihan dan kekuranganmu dahulu, serta menambah skill baru. Agar kamu dapat bertahan hidup dan menghidupi anakmu meski tanpa dia.
Untuk menguatkanmu dalam bertahan dalam situasi ini agar tidak terjebak dalam situasi yang sama di kemudian hari kamu juga perlu mengetahui mengapa kamu bisa menarik
situasi tersebut. Mengapa kamu begitu mencintainya? Apa yang dahulu telah dia lakukan untuk mendapatkanmu?
Bila masih ingin bertahan, bertahanlah sehari demi sehari hingga hari berganti menjadi minggu, minggu berganti menjadi tahun. Kamu pasti bisa bertahan sehari lagi.
Sebagai sahabat, saya mendukung apa pun keputusanmu. Saya akan mendukung bila kamu ingin bertahan ataupun berhenti. Kamu hebat kawan!
Dari sahabatmu yang terkasih,
Fei-Fei
Surabaya, 21 April 2024.
Untuk,
Diriku sendiri.
Terima kasih, Diriku.
Kau mampu bertahan hidup sampai sejauh ini. Aku tahu kita adalah wanita hebat dan kuat dalam setiap keadaan meski kadang berat. Tidak apa bila terkadang kita ingin keluar dari suatu situasi, tidak apa juga bila kita ingin berteriak dan menangis bahkan menyerah saat kita sudah tidak kuat. Itu normal, kok. Tidak masalah juga jika kita ingin tertawa bahagia dan tertawa riang. Saya menerima semua emosi yang ada pada diri ini.
Saat kita berada pada situasi sulit. Kita sering kali menyalahkan keadaan, menyalahkan orang-orang di sekitar kita, bahkan ada keadaan ketika kita ingin mengulang ataupun mengakhiri kehidupan ini. Namun, kita dapat bertahan karena Tuhan tidak mungkin iseng menciptakan kita atau bisa juga kita masih takut ketidakjelasan apa yang akan terjadi setelah kematian?
Ada keadaan yang melihat kehidupan orang lain lebih hebat. Namun, sepertinya hidup ini dalam masalah bisa jadi
karena saya sendiri yang menarik masalah tersebut karena itu sebaiknya kita harus berkaca Fei.
Pikiran apakah yang pernah muncul hingga kita menarik hal yang membuat kita tidak nyaman. Bagaimana cara menerima situasi yang membuat kita tidak nyaman, belief dan emosi apa yang ada di balik keadaan tidak nyaman tersebut. Atau jangan-jangan perasaan tidak nyaman tersebut hanya tercipta karena kita ingin mencari perhatian saja, ingin dikasihani. Kita harus memikirkan cara tersebut agar ke depannya jangan sampai terjebak lagi dalam masalah yang sama lagi, Fei.
Dengan segala kemampuan dan kecerdasan yang diberikan oleh Tuhan serta Alam Semesta, kita pasti menjadi orang yang berguna. Tidak mungkinkan Tuhan menciptakan kita karena iseng?
Dari diriku sendiri,
Fei-Fei
Surabaya, 22 April 2024.
Teruntuk, Rekan kerjaku.
Terima kasih untuk semua rekan kerjaku yang dapat bertahan bekerja sama dengan diriku. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, kita saling melengkapi untuk bersama-sama mencapai tujuan masing-masing.
Tidak
masalah seandainya alasan kita untuk tetap bertahan
dalam perusahaan ini berbeda, entah alasanmu untuk mendapat perekonomian keluarga lebih
baik ataupun sebagai loyalitas
karena telah mendapatkan gaji dari perusahaan sehingga ingin memberikan yang terbaik untuk memajukan
perusahaan. Bahkan bila alasannya karena tidak
mempunyai skill lain atau
tidak mendapatkan pekerjaan lain. Atau bahkan alasan kalian bertahan karena bingung mau mengerjakan
apa daripada menganggur di rumah. Hal itu tidak masalah dan wajar saja.
Tidak masalah juga kalian bekerja sepenuh hati atau hanya mengerjakan dengan setengah hati dan sambil ngedumel. Apa pun alasan kalian, saya tetap menghargai perbedaan kita. Saya Harap kalian juga dapat menghargai
perbedaan di antara kita dan tetap bekerjasama serta saling membantu menurut porsi pekerjaan masing-masing.
Terima kasih sudah bertahan dan saling mendukung selama ini. Meskipun ada kalanya kita beradu argumen dan saling berdebat. Namun, kalian telah mewarnai hariku dalam bekerja di perusahaan ini. Kalian jugalah salah satu alasan yang membuatku tetap bertahan dalam perusahaan ini.
Mari kita bersama
saling mendukung untuk dapat bertahan dalam perusahaan ini sehari demi
sehari, hingga hari berganti minggu,
minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun.
Meskipun tidak masalah juga bila kalian merasa harus berhenti dari pekerjaan ini dengan alasan apa pun, kalian tetap temanku
dengan berada ataupun
tidak berada dalam satu lingkungan kerja yang sama. Dan aku harap
kalian juga masih menganggap aku teman walau kita sudah berbeda tempat kerja.
Dari rekan kerjamu,
Fei-Fei
“Keberanian terbesar dalam hidup adalah memutuskan untuk tetap bertahan di saat pergi menjadi pilihan.”
Dian Shinta Fitriyanti
25
Penulis kelahiran Banjarmasin 1987. Sedang
berusaha menjalankan multi peran
sebagai seorang istri, ibu, anak, kakak,
sahabat, dokter, dan juga abdi negara. Berdomisili di Bekasi.
25 |
Bekasi, 21 April 2024.
Untuk Anakku, Daffa.
Hari ini, hari pertama Bubu (seharusnya)
ada di salah satu momen bersejarah
dalam hidupmu. Hari ini adalah hari lahirmu.
Kita punya banyak sekali rencana untuk hari ini. Bubu buatkan nasi biru yang kamu minta, dicetak bentuk bintang, dibawa ke sekolah supaya bisa dimakan
bersama teman-teman dan juga ibu
guru. Kita juga berencana memesan cake dengan
banyak hiasan karakter Mario Bros kesukaanmu. Ini harusnya jadi ulang tahunmu yang pertama tanpa
meniup lilin. Makan bersama sebagai
wujud syukur dan berbagi nikmat yang sudah Allah berikan.
Qadarullah, Nak, seperti yang Daffa tahu, Ayah sakit. Allah sayang sekali dengan keluarga kita. Setelah kamu DBD hanya sehari setelah pernikahan Ayah dan Bubu, lalu kita kehilangan calon adikmu, setelah itu banjir yang membuat kita semua kelelahan dan belajar merelakan materi yang terkikis bersama musibah itu, dan sekarang Ayah harus terbaring di RS berjuang melawan sakitnya.
Maafkan Ayah dan Bubu ya, Nak.
Kami tidak bisa melakukan apa-apa hari ini untukmu seperti rencana kita itu. Hanya doa yang bisa kami kirimkan untukmu saat ini. Semoga Allah kabulkan doa kami, menjadikan putra pertama kami ini tumbuh menjadi anak yang saleh dan bermanfaat bagi banyak makhluk-Nya. Semoga Allah berkenan pula menjaga dan melimpahkan kasih sayang-Nya untuk keluarga kita ya, Nak.
Sesungguhnya Bubu merasa berat, di saat Bubu masih harus meraba-raba dua peran baru dalam hidup, Allah seperti bertubi-tubi menunjukkan kasih sayangnya pada Bubu. Tahukah Nak kenapa Bubu bertahan? Karena Allah sedang mengajari kita bahwa sebaik- baiknya manusia menuliskan rencananya, selanjutnya serahkan pensil dan penghapusnya pada Allah. Biar Allah yang hapus dan perbaiki bagian yang tidak pas pada rencana kita. Allah tahu yang terbaik untuk kita. Allah pasti pilihkan yang terbaik untuk kita.
Percayalah pada pilihan Allah atas hidup kita ya, Nak. Apa yang menurut kita buruk belum tentu benar buruk menurut Allah. Begitu pula sebaliknya, yang kita yakini baik belum tentu benar-benar baik untuk kita menurut Allah. Selalu
ada hikmah dan kebaikan yang Allah berikan setelah semua yang kita sebut cobaan, musibah, atau ujian.
Semoga Allah masih memberikan kesempatan kepada Bubu untuk melakukan sesuatu yang membahagiakanmu di hari lahirmu tahun-tahun kemudian.
Baik-baik dengan Umi dan Abi ya, Nak. Insyaallah Bubu akan secepatnya menjemput Daffa lagi seperti yang kamu minta kemarin malam saat Bubu mengantarkanmu.
Nanti
kita pulang dan main sama-sama
lagi, bertiga dengan
Ayah, di rumah dalam keadaan
sehat dan bahagia.
Amin Ya Rabbal’alamin.
Dari Bubu,
Yang orang-orang bilang
“Ibu Sambungmu”.
"Jika bersamamu menyakitkan, lebih baik sendiri untuk mencari kebahagiaan."
Rika Puspita Dewi
Penulis kelahiran 1992. Single mom dari satu anak laki- laki. Bekerja sebagai karyawan swasta dan memiliki usaha kerajinan rajut tangan. Menyukai hal-hal baru.
Tasikmalaya, 21 April 2024.
Teruntuk,
Kekasihku nan jauh di sana.
Hai, Kekasihku. Bagaimana kabarmu?
Aku harap, kamu dalam keadaan sehat saat membaca surat ini.
Tak terasa sudah tiga tahun lamanya kita saling mengenal karakter, kepribadian, dan kebiasaan masing- masing, ya.
Namun tahukah, Kasih?
Akhir-akhir ini hatiku merasa gelisah, setelah mendapat pesan darimu. Keringat dingin bercucuran, kepalaku terasa pening, rasanya hampir mau pingsan. Ini karena kabar terakhir darimu membuat komunikasi kita merenggang.
”MAAFKAN AKU YANG SELALU MENYAKITIMU, AKU HANYA
BISA DIAM SAAT OTAK INI TERJEBAK. BERAT RASANYA MEMBAYANGKAN PUNYA ISTRI DIMUSUHI ORANG TUA, DICACI MAKI.
AKU TIDAK SEKUAT ITU.”
Kira-kira itu pesan yang kamu sampaikan dan masih aku ingat sampai saat ini. Aku tahu, kita dihadapkan pada masalah yang rumit. Aku yang berstatus sebagai janda anak satu dan orang tuamu tidak mengharapkan itu. Kita tidak tahu,
seperti apa Allah menakdirkan jalan kita. Mungkinkah di ujung jalan sana, kita bisa menemukan jalan yang terang dan keluar dari badai ini. Semoga saja.
Kasih, aku yakin, apa yang kita doakan bersama akan terwujud dengan indah. Dan aku mengharapakan dirimu untuk memiliki keyakinan yang sama denganku, karena aku memilih bertahan demi kita.
Dariku yang masih menunggumu,
Rika Puspita Dewi.
“Seumur hidup dengan orang yang salah itu terlalu lama. Maka cukup sepuluh tahun aku memilih bertahan denganmu!”
Nata L.
Penulis,
yang juga single mom dengan dua putra. Sangat
gemar membaca. Kesehariannya sibuk juga
sebagai karyawan swasta serta sedang
coba menjadi freelancer.
Bogor, 21 April 2024.
Untukmu,
Ayah dari anak-anakku.
Masih ingatkah dengan pertengkaran-pertengkaran selama sepuluh tahun kita menikah? Memuakkan! Namun, entah mengapa aku pilih bertahan dengan pernikahan kita.
Ingatkah kamu sore itu sekitar pukul 17.00 WIB, aku baru pulang kerja dari sebuah mall di kota Bogor melihat si sulung yang berusia delapan tahun sedang bermain bersama teman-teman sebayanya. Bukankah seharusnya di jam segitu dia sedang belajar mengaji di sebuah madrasah yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kita?
Dengan tubuh yang lelah, perasaan yang juga kesal karena mengetahui dirimu tidak mau mengantar anak kita untuk pergi mengaji. Seolah semua urusan termasuk perihal anak, harus aku yang menangani. Seolah anak-anak adalah tanggung jawabku sendiri. Sementara kamu seperti menutup mata tidak mau tahu dan peduli, sibuk dengan aktivitasmu sendiri.
Lebih jengkel lagi ketika dirimu menjawab sambil melotot dan marah kepadaku, “Kalau ngurus anaknya mau sama-sama, berarti uang hasil kerja juga harus sama-sama!”
“O, ya udah. Kalau gitu bawa sini uang hasil kerjamu!” Jawabku yang kala itu sudah mulai terpancing emosi. Selalu begitu, apa pun persoalannya selalu berujung pada pertengkaran masalah uang.
“Uangmu yang kau kasih ke aku! Istri kerja karena izin suami, jadi hasil kerja istri itu hak suami!” jawabmu dengan suara semakin tinggi, “lagian enak banget kamu, aku yang capek-capek kerja kamu yang dapat uangnya!” Lanjutmu dengan sinis.
Aku sungguh terkejut dengan jawabanmu. Banyak yang ingin kuungkapkan, tapi aku lebih memilih diam karena merasa percuma meneruskan pertengkaran yang tidak pernah ada akhirnya.
Selalu seperti itu. Pertengkaran kita selalu berujung pada masalah uang. Bukan, bukan karena kamu tidak punya uang, tapi karena kamu sangat sulit untuk mengeluarkannya dan karena kamu juga menganggap bahwa aku adalah beban untukmu.
Sebagai istri, bukannya aku tidak membantu perekonomian rumah tangga kita. Semua kebutuhanku dan sebagian besar kebutuhan anak-anak aku penuhi sepenuhnya dari gajiku sebagai seorang SPG. Tapi itu tidak cukup bagimu.
Karena yang kamu mau, semua gajiku harus kuserahkan utuh padamu, lalu kamu mengatur semua keuangan keluarga ini termasuk kebutuhanku.
Aku punya alasan tersendiri mengapa tidak mau menyerahkan hasil kerjaku padamu. Selain karena kamu memang sangat pelit, dirimu juga tidak mau mengeluarkan uang untuk sesuatu yang kamu anggap tidak penting. Saat anak sakit dan butuh berobat pun, menurutmu itu tidak penting. Dan lagi-lagi kita sering bertengkar saat anak-anak sakit.
Saat baru memiliki satu anak, aku masih bergantung banyak hal padamu. Termasuk saat harus bawa anak berobat saat sakit. Namun, lama-lama aku mulai jengah. Akhirnya aku belajar untuk tidak bergantung dalam hal apa pun padamu.
Semua hal yang masih bisa aku kerjakan sendiri, pasti aku kerjakan sendiri. Seandainya pun aku butuh bantuan, aku lebih memilih untuk meminta bantuan saudara-saudaraku daripada minta tolong padamu. Bukan aku tidak menghargaimu sebagai kepala keluarga, tapi aku malas bertengkar.
Suatu hari kamu pernah berkata, “Terserah kamu mau melakukan apa saja, yang penting tidak pakai uangku. Jangan jadi bebanku, percuma bekerja kalau tetap jadi bebanku.”
Aku hanya menjawab, “oke!”, dan mengartikan kata- katamu bahwa aku tidak perlu meminta izin atau harus memberitahumu tentang ke mana aku pergi dan apa yang aku lakukan selagi aku tidak pakai uangmu dan selagi aku selalu membawa anak-anak bersamaku.
Aku lakukan itu. Pergi ke mana pun tanpa izin dan tanpa memberitahumu. Untuk apa? Toh aku pakai uangku sendiri. Toh aku tidak membebanimu. Sejak saat itu, kita benar-benar menjadi dua orang asing yang tinggal satu atap. Aku berusaha nyaman dengan keadaan itu, toh aku hanya menuruti kemauanmu.
Tapi tidak denganmu. Kamu merasa aku tidak menghargaimu, telah menginjak harga dirimu sebagai suami, kepala keluarga, dan sebagai laki laki. Salahku di mana?! Bukankah aku hanya menuruti kemauanmu untuk tidak membebanimu dalam hal apa pun?!
Lama-lama aku mati rasa padamu. Berulang kali aku kabur dari rumah itu, tapi lagi-lagi aku kembali karena luluh pada permintaan maaf dan juga janjimu yang akan berubah jadi lebih baik lagi.
Ya, kamu memang menepati janjimu, kamu memang berubah, tapi hanya satu bulan. Setelah itu kamu kembali pada
sifat aslimu, pelit! Dengan alasan aku terlalu boros, tidak bisa mengatur keuangan, tidak bisa dipercaya.
Aku menyesal kembali padamu?? Tentu saja! Untuk apa aku punya suami kalau semua kebutuhan aku tanggung sendiri?? Untuk apa aku punya suami kalau banyak hal harus aku kerjakan sendiri seolah tidak bersuami??
Aku bukan istri yang pengertian, bukan istri yang bisa menyejukan mata dan hati suami, begitu menurutmu. Entahlah, aku tidak pengertian dalam hal apa. jujur aku tidak paham.setiap kali aku minta kamu untuk menjelaskan bagian mana dariku yang menurutmu tidak pengertian, kamu tidak bisa menjawabnya.
Saat kamu minta jatah seratus ribu setiap bulan dari hasil kerjaku, aku kasih. Kurang apa aku jadi istri? Apa biaya hidupmu harus aku yang tanggung juga agar aku dianggap istri yang pengertian??
Aku lelah menjalani rumah tangga denganmu. Namun, entah mengapa aku pilih bertahan sampai sepuluh tahun lamanya bersamamu.
Dariku,
Istrimu.
"Aku bertahan karena Tuhan, serta tidak memandang ini sebagai penderitaan. Semua agar kemuliaan-Nya dinyatakan untuk mencapai satu tujuan."
Mantik Cinderara
Penulis adalah mantan atlet taekwondo, mantan penyanyi, mantan karyawan yang memutuskan untuk fokus menjadi ibu rumah tangga. Berusia 38 tahun, suka olahraga, serta tertarik pada dunia kesehatan dan kecantikan. Selalu antusias mengikuti perkembangan dua anaknya yang hebat.
Bandar Lampung, 21 April 2024.
Teruntuk, Diriku tercinta.
Hei, Perempuan baik. Apa kabarmu hari ini?
Kamu pasti baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Kamu selalu ingat akan momen pernikahanmu, kamu selalu ingat akan janji suci pernikahan di depan altar itu. Janji sehidup semati dalam suka dan duka, dalam untung dan malang. Janji yang sangat sakral yang melibatkan kamu, pasanganmu, dan juga Tuhan. Setelah menikah, tanpa keraguan kamu memutuskan untuk resign dari pekerjaan, dan ikut serta suamimu merantau, bahkan ikut berpindah-pindah dari satu provinsi ke provinsi lain.
Hei, Perempuan kuat. Perjuanganmu begitu mulia. Dalam dua kali masa kehamilan, kamu selalu berusaha berpikir positif, makan makanan yang bergizi, istirahat yang cukup, dan juga lebih tekun berdoa, agar kehamilanmu baik-baik saja, agar janin di dalam rahimmu tumbuh dan berkembang dengan baik tentunya. Dua kali persalinanmu yang normal mengisyaratkan bahwa kamu sudah melatih fisikmu dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk menyambut momen persalinan
itu. Momen mempertaruhkan nyawamu untuk menghadirkan nyawa baru di dunia.
Hei, Perempuan tangguh. Kamu sangatlah tegar. Walau aku tahu, hatimu sangat hancur dan berantakan saat itu, saat di mana kamu mengetahui pengkhianatan yang dilakukan orang yang paling dekat dan paling kamu percaya di dunia ini. Penghianatan yang terkuak saat anak keduamu berumur sepuluh bulan. Ya, saat itu kamu masih sangatlah lelah, sibuk, dan sangat butuh pendampingan, dan juga butuh bantuan dari suamimu untuk mengurus kedua anakmu. Tetapi suamimu selalu pulang malam dengan alasan lembur, bahkan di hari Sabtu-Minggu pun suamimu tidak memiliki waktu luang dengan alasan bekerja ke luar kota. Ya, hal ini di luar nalar memang. Kamu sudah bersusah payah mencurahkan tenaga, perhatian, kasih sayangmu untuk seisi rumah, tapi apa balasannya?
Suamimu dengan mudahnya menyalahkanmu atas segala pengkhianatannya, bahkan suamimu bekerja sama dengan selingkuhannya membodohimu. Mereka bersandiwara menyatakan khilaf, itu kekeliruan yang tidak seharusnya terjadi. Namun setelah kamu ampuni, mereka terus melanjutkan pengkhianatan itu bahkan ketahuan berulang kali.
Kamu hancur, ya kamu sangatlah hancur. Segala emosi negatif, amarah, kesedihan, luka batin yang kamu rasakan, secara tak sengaja mengalir melalui air susu yang setiap hari diminum oleh bayimu. Kamu dan bayimu depresi berat saat itu, dan anak pertamamu begitu terpukul. Berat badanmu turun 10 kg, kamu menggunduli rambutmu karena putus asa. Tetapi suamimu dan selingkuhannya tidak peduli. Tidak ada rasa iba dan belas kasihan atas penderitaan yang kamu dan anak-anakmu alami. Padahal selingkuhan suamimu adalah istri orang lain. Tetapi mereka terus-menerus berselingkuh, dari satu hotel ke hotel yang lainnya berulang kali.
Kamu mengalami 2 tahun yang sangat berat kala itu, sangat mengerikan, tidak ada seorang pun yang datang membantu. Kamu berjuang bersama kedua anakmu sendirian. Dan selamat, kamu berhasil. Kamu dan kedua anakmu berhasil mengalahkan keadaan. Semua tangis dan kepedihan yang kamu serukan pada Tuhan tiap malam, mendatangkan mukzizat kesembuhan luka batin. Anak pertamamu pun berhasil mendapatkan peringkat di kelasnya dan terpilih mengikuti bina prestasi di sekolah. Kamu sadar ini titik balik hidupmu. Dan skarang kamu berani menatap ke depan tanpa takut sedikit pun.
Kamu memilih bertahan, dalam kehidupan yg tenang dan damai, bersama dengan anak-anakmu yang hebat dan suamimu yang entah kapan bertobat.
Istrimu,
Vero
“Ketika kata tak lagi bermakna, maka hanya doa yang dapat membuatku bertahan."
Maria A. Tri Mardikowati, S.Pd.
Penulis kelahiran Jakarta 36 tahun silam dan pernah menjadi guru. Memilih untuk tidak menjadi guru lagi agar bisa fokus pada keluarga terlebih pada pendidikan anak.
Seorang ibu dari
tiga anak. Berdomisili di Bekasi dan menjadi wanita
tangguh karena keadaan.
Bekasi, 21 April 2024.
Teruntuk,
Kedua orang tuaku.
Apa kabar, Bapak dan Ibu?
Semoga selalu sehat dan dalam lindungan-Nya.
Pak, Bu, aku tak pandai berkata secara langsung menyampaikan semua isi hatiku. Karena aku takut melukai perasaan kalian melalui lisanku.
Aku tahu mungkin menurut kalian, keputusanku salah dalam mempertahankan pernikahan ini. Namun aku tidak mungkin melakukan kesalahan lagi dengan memilih untuk mengakhiri semua, karena aku telah berucap janji di depan Altar untuk setia menemani dalam suka duka sakit dan senang bersama suamiku saat ini.
Buatku pernikahan adalah sesuatu hal yang harus dipertanggungjawabkan langsung kepada-Nya. Dan aku memilih untuk tetap bertahan di sini hingga waktu menghentikanku. Bukan karena anak-anak, bukan karena keegoisanku, atau bukan karena hal lain yang tidak dapat terucap dan terlihat, tetapi semua karena aku telah berucap di depan altar yang bagiku itu adalah janjiku langsung kepada Tuhan. Apakah mungkin aku mengingkari itu dan berbuat
kesalahan lagi? Kurasa aku tidak mungkin memilih jalan yang salah lagi.
Aku tahu ini jalan yang tak mudah, tapi ketika masih kecil kalian selalu mengajarkan kepadaku untuk terus berdoa dan berusaha. Kalianlah sumber kekuatanku.
Jujur aku merindukan pelukan hangat kalian ketika aku pulang. Namun, aku tahu ketika aku memeluk tubuh kalian, kalian merasakan perasaanku. Dan aku tidak mau kalian merasakan apa yang aku simpan. Karena di usia senja kalian, aku tidak ingin membebani dengan apa yang aku rasakan. Walau aku tahu kalian hanya bisa memanjatkan doa untukku. Pak, Bu, terima kasih telah menjadikan aku sebagai anak kalian. Begitu banyak pembelajaran yang aku dapat dan dapat aku lakukan di saat ini.
Dari lubuk hatiku, aku minta maaf sedalam-dalamnya atas semua tindakanku dan suamiku. Restui semua langkah kami hingga aku punya kekuatan untuk tetap setia dalam bahtera rumah tangga ini. Berat, tapi aku yakin akan ada pelangi setelah ini dan mungkin pelangi itu akan hadir ketika waktuku pun telah usai.
Bapak, Ibu, sekali lagi aku minta maaf atas pilihanku mempertahankan pernikahan ini. Kiranya hanya ini yang dapat
aku sampaikan melalui sepucuk surat usang ini. Semoga Bapak dan Ibu selalu diberikan kesehatan.
Peluk hangat penuh cinta,
Maria Alexa Phoenix
"It's okay, Kamu kuat, Kamu mampu!"
Vissia Chichi
Penulis
kelahiran Solo 41 tahun lalu yang jatuh cinta pada kesenian. Bekerja sebagai karyawan swasta yang juga sok sibuk di dunia kesenian bersama suami dan
anak gadisnya.
Suatu tempat, 21 April 2024.
Dear, Diriku.
Hai, apa kabar?
Apakah kamu baik baik saja?
Mungkin semua itu hanya kalimat sederhana, namun aku tahu kalimat itu adalah kalimat yang sangat ingin didengar oleh hati kecilku.
Maaf, ya, karena tidak pernah menanyakan hal itu. Maaf karena selalu berkata, “it's okay, kamu kuat, kamu mampu!" Maaf karena terus memaksa untuk tetap baik-baik saja.
Ya, rasanya seperti terjatuh di dasar lembah. Gelap, pengap, sendiri, dan aku sadar bertahan dalam kondisi seperti itu tidak mudah. Ada luka yang harus aku sembuhkan sendiri. Luka karena orang-orang yang sangat ingin aku jaga hatinya.
Mungkin aku terlalu keras terhadap diriku sendiri, hingga terkadang aku lupa bagaimana caranya menangis. Aku yang selalu memilih untuk bertahan dalam kondisi yang sangat aku benci ini, demi malaikat kecilku, demi orang-orang tersayangku, meski sebenarnya aku ingin pergi.
Kali ini aku sungguh ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena sudah sampai pada titik ini, meski jalannya tidak selalu rata. Terima kasih untuk tetap bertahan meskipun sebenarnya hatiku patah atau mungkin hancur.
Terima kasih sekali lagi ya, Diriku. Aku tahu ini tidak mudah dan yang bisa akau andalkan hanyalah Tuhan. Tolong bertahanlah sedikit lagi sampai bahagia itu menghampiri.
Dari aku,
Si Perempuan Hamburger
"Kau tak sendiri untuk memilih bertahan. Syukuri, beri, hargai."
Nurlayla Sari
Penulis kelahiran Jakarta 36 tahun lalu. Saat ini sedang berkarya untuk generasi bangsa.
Suatu tempat, 21 April 2024.
Untuk, Diriku.
Assalamualaikum diriku, Nurlaila Sari.
Di kesempatan ini saya tuliskan teruntuk dan terkhusus diri dan jiwamu. Hanya kata Maaf untuk semua hal yang menyakitkan yang telah dan akan kau lewati. Hanya kata Terima kasih untuk hari-hari yang membahagiakan dan membanggakan.
Semangat untuk jiwa dan ragamu kuatlah doa dan usahamu. Yakini Tuhan bersama jiwa yang tenang dan semoga dirimu menjadi bagian jiwa yang tenang. Amin.
Dariku,
Nurlaila Sari
"Aku bertahan bukan karena masih mencintaimu!"
Dessy Desnawati
Penulis kelahiran Sukabumi 1987. Sibuk membaca dan belajar di keseharian. Sangat antusias belajar spiritualitas.
Berdomisili di Bekasi.
Bekasi, 21 April 2024.
Teruntuk,
Suamiku yang kini hanya tinggal status
saja.
Dua tahun lamanya aku diam tanpa berani mengungkapkan perasaanku yang sejujurnya. Di sini aku berani mengatakannya dengan lantang bahwa aku sudah tidak lagi mencintaimu!
Bukan tanpa alasan, dirimulah yang membentukku menjadi aku yang sekarang ini. Semenjak kau berani menikah lagi di belakangku dengan perempuan muda nan cantik itu, seketika itu pula aku sudah tidak lagi mencintaimu. Mati rasaku padamu, padam sudah.
Aku tak mengerti mengapa kau menghadirkan dia di tengah-tengah kebahagiaan kita? Kurang apa diriku? Oh, apa karena dia lebih muda? Lebih cantik?? Tapi aku rasa itu menurut pandanganmu saja, mata keranjang!
Ketika pertama kali aku tahu kau menikah lagi, seketika itu pula ingin rasanya aku meninggalkanmu, tapi apalah daya, aku masih bergantung kepadamu secara financial. Aku rela bertahan dan mengabaikan semua perasaan kecewa dan sedihku.
Tuan yang kaya raya, dengan hartamu kau mampu menikahi wanita manapun yang kau mau. Namun, ingat Tuan, mereka belum tentu tulus mencintaimu. Bukan berarti cintakulah yang lebih besar, aku tidak se-PD itu mengakuinya.
Sikap dinginku kau balas sama, kau tidak pernah mau membahas apa pun denganku, kau hanya balik mendiamkanku. Kau pun tahu cinta di antara kita sudah memudar, tapi kenapa sampai saat ini kau tidak kunjung memberikanku kepastian?
Kau justru menggantungkanku, kau tak melepaskanku dan tidak pula memperbaiki hubungan denganku. kau mengabaikanku dan anakmu.
Aku bertahan bukan karena aku masih mencintaimu, tapi kau pun juga tahu kenapa sampai sekarang aku masih bertahan pada situasi rumit seperti ini. Aku selalu meyakinkan diriku, bahwa takdir dari Tuhan adalah yang terbaik buatku.
Dariku,
Istrimu yang tinggal
status saja.
"Dulu kukira yang paling sulit adalah menentukan pilihan. Namun, ternyata ada yang lebih sulit yakni bertahan dengan satu pilihan."
Tiva
Penulis kelahiran Bandung ini merupakan pegawai swasta dan pemilik online shop. Kini sedang fokus untuk melahirkan karya-kara buku baru.
Kamar kita, 21 April 2024.
Dear,
My Lovely Husband.
Menjalani sebuah biduk rumah tangga itu ternyata tak semudah apa yg kita bayangkan, namun apalah daya biduk rumah tangga kita saat ini sedang di ambang kehancuran.
Kita bagaikan terombang-ambing di lautan tanpa arah. Aku bagaikan kapal tanpa nakhoda yg tak tahu arah. Entah dirimu merasakan hal yg sama kehilangan arah kosong dalam kehampaan ataukah sebaliknya, kamu menikmati momen bebas tanpa aturan tanpa ada yg mengingatkanmu ini dan itu agar tak melewati batas yang tak sesuai norma dan hukum yang berlaku? Hanya dirimu dan Tuhan yang tahu itu.
Suamiku sayang. Panggilan itu entah masih pantaskah aku ucapkan untukmu yang telah menodai ikatan suci yang pernah menggetarkan arasy? Entah berapa banyak kebohongan yang kamu ciptakan, berapa banyak wanita yang telah kamu silakan bertandang ke dalam indahnya pernikahan kita?
Kehidupan pernikahan kita bagaikan roller coaster Pahit manis telah kita lalui bersama. Ujian demi ujian hadir mewarnai biduk rumah tangga aku dan kamu. Dari mulai
masalah ekonomi, permasalahan yang datang dari keluarga baik aku dan kamu silih berganti, keturunan yang sampai saat ini pun belum kunjung hadir mengisi kebahagiaan kita.
Kita memang berasal dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda, dengan cara didikan yang berbeda, lingkungan dan pergaulan. Namun bagiku itu bukanlah sebuah permasalahan karena pernikahan itu bagaimana kita menyatukan perbedaan yang ada, demi satu tujuan bersama yaitu sehidup sesurga. Dan bukan kesetaraan tetapi yang mau sama-sama tumbuh berusaha berjuang menjadi baik dalam segala hal, kemauan untuk hijrah bersama. itulah prinsip yang selalu aku pegang.
Aku yang sedang berbahagia karena menikah dengan seseorang yang aku cinta dan dia mencintaiku, pernikahan impian yang terwujud, pemahamanku tentang kehidupan pernikahan memang tak banyak tapi aku tahu kejujuran, keterbukaan, serta rasa saling percaya merupakan bagian dari fondasi rumah tangga.
Aku memberikanmu kepercayaan sepenuhnya. Kita pernah berdiskusi tentang aturan yang ada dan kita terapkan itu. Aku memberikanmu kepercayaan itu dan aku menjaga kepercayaan yang kamu berikan. Bebas namun terbatas.
Namun ternyata aku salah. Hanya aku yang menjaganya sedangkan kamu tidak. Rumah Tangga kita yang saat ini sedang tak baik-baik saja membuatku bingung tak tahu harus melangkah bagaikan kehilangan arah.
Perdebatan yang terjadi selalu tentang kesalahan yang sama. Iya wanita, selalu wanita. Entah apa yang ada dalam pikiranmu, aku tak tahu apa maksud dan tujuan dirimu.
Tanpa pernah aku cari, tahu Allah menunjukannya. Bahkan saat pernikahan kita masih hangat-hangatnya sebagai pengantin baru kamu sudah mencoreng mukamu sendiri dengan chat bersama wanita lain tak mengakui diriku adalah istrimu, bahkan keluargamu sendiri yang tak kamu akui keberadaannya.
Aku marah. Namun, aku memaklumi bahwa saat itu kita masih beradaptasi menjadi suami istri walaupun tindakanmu itu salah.
Tahun demi tahun berganti tetapi pertengkaran terus terjadi di antara kita tak lain karena wanita ketiga. Aku marah, kecewa, sedih, terluka, tetapi entah mengapa aku masih bisa memaafkanmu kembali dan malah menjadikan hal tersebut sebagai bahan introspeksi diri.
Aku berusaha menjadi wanita yang kamu mau, walaupun kadang bertentangan dengan hati nuraniku. Aku mencoba mencari tahu tipe wanita seperti apa yang kamu mau, tetapi tak pernah menemukan jawabannya karena wanita yang kamu dekati itu random.
Sifatmu yang abusive kalau ketahuan cheating dengan wanita lain juga membuat hatiku sakit. Aku muak dengan semua itu, lelah, mentalku benar-benar dibuat hancur.
Semua aku pendam sendiri tak berani cerita pada siapa pun aku hampir gila dan berniat mengakhiri hidupku sendiri, sampai aku harus bolak-balik konsul psikolog demi memperbaiki kewarasanku.
Entah berapa kali janji yang kau ucap untuk berhenti dari kenakalanmu. Namun, hasilnya selalu nihil bahkan kau lebih mementingkan teman-temanmu daripada istrimu. Sehingga tak jarang aku merasa kesepian walaupun aku adalah wanita bersuami.
Cintaku tak pernah goyah padamu bahkan saat Allah menguji kita dengan keturunan yang tak kunjung hadir dan ketidaksempurnaanmu sebagai laki-laki. Menerima semua kekuranganmu adalah sebuah bukti besar dan tulusnya
sayangku untukmu. Walaupun kita harus mengubur dalam- dalam harapan untuk memiliki buah cinta dari rahimku sendiri.
No problem, selagi kita bersama, kita bisa melewati itu semua. Aku sudah legowo akan hal tersebut, kekuranganmu adalah sumber kekuatanku untuk mendampingimu sampai akhir hayatku. Bahkan saat Allah mengujiku dengan menghadirkan orang yang lebih baik darimu, tak sedikit pun aku berpaling. Yang kuingat hanya kamu, namamu.
Ujian demi ujian telah aku lewati saat bersamamu, tetapi aku masih tetap ada di sampingmu menemanimu berbakti dan mengabdi pada pria yang telah menjabat tangan ayahku untuk pertama kalinya. Mengikrarkan ijab qabul yang disaksikan banyak pasang mata.
Aku tak akan pernah lupa kejadian demi kejadian yang telah kualami, walaupun aku telah memaafkannya tetapi bukan berarti lantas menghilang dari ingatanku. Dengan harapan suatu saat nanti kau akan berubah menjadi imam yang baik untukku.
Namun apalah daya harapan hanyalah tinggal harapan, semua janji-janjimu hanya omong kosong belaka. Kejadian itu terulang kembali, kau berkhianat lagi. Hatiku sudah mulai goyah, ingin rasanya kumenyerah, mungkin dengan
bersamanya kau akan jauh lebih bahagia, maka pada saat itu aku izinkan kamu untuk berpoligami.
Namun, ternyata aku salah. Bukan hal itu yang kamu mau. Nafsu, ego validasi, kesombongan, circle temanmu yang tak baik malah lebih menjerumuskanmu dalam jurang kemaksiatan.
Bersama wanita yang baru dikenal, kamu
melakukan hal yang semestinya kau
lakukan bersamaku. Tiga bulan sudah aku
menunggu hari itu, bahkan aku bagaikan anak kecil yang merengek, meminta hak aku sebagai istri, nafkah batin yang seharusnya aku dapatkan dari suamiku.
Namun, malah orang lain yang mendapatkannya.
Sakit, kecewa, marah, sedih, depresi, semua kurasakan. Hanya dengan alasan iseng dan khilaf kamu melakukan hal yang sebegitu menjijikan. Semua tindakanmu tak hanya menyakitiku, tapi juga melukai perasaan orang tuaku. Kau yang kuanggap rumah ternyata adalah bagian terbesar yang menyakitiku.
Kesalahan fatal itu menghancurkan indahnya pernikahan kita. Kapal yang hampir karam membuatku tak tahu arah, haruskah aku bertahan ataukah melepaskan?
Dua-duanya memang terasa berat di saat orang-orang berkata, "Lepaskan, ikhlaskan orang yang tak pernah bersyukur memilikimu!" Namun, entah mengapa jauh di lubuk hatiku yang terdalam, rasa sayang ini masih ada.
Seperti masih ada secercah kata maaf, harapan itu masih ada. Entah apa yang ada di dalam hatiku. Begitu bodohkah diriku untuk memperbaiki apa yang telah hancur? Atau terlalu naïf? Atau ini yang disebut ketulusan?
Dulu kukira yang paling sulit adalah menentukan pilihan, ternyata yang lebih sulit itu bertahan pada satu pilihan.
Aku tidak sedang mempertahankan suamiku, tapi aku mempertahankan rumah tanggaku, harga diriku. Aku bertahan bukan karena anak, maupun suami, namun aku bertahan
karena janji yang telah kuucap saat pernikahan.
Aku sadar bahwa suamikulah yang kupilih untuk menjadi nakhoda kapal rumah tangga ini. Jika dikatakan ikhlas, aku bukan manusia berhati malaikat, tapi aku berusaha untuk terus bersyukur dan memperbaiki diri karena Allah masih banyak memberiku kebaikan.
Aku terus setia dan selalu berusaha menjadi yang terbaik sambil menunggu takdir Tuhan bahwa apa yang telah
kulakukan pantas mendapatkan ganjaran. Entah itu di dunia maupun di akhirat.
Your wife,
Bidadari Surgamu.
"Dia hanya seorang perempuan yang bertahan mati-matian demi sebuah keutuhan. Hal yang belum pernah dia dapatkan di kehidupan sebelumnya."
Sophie Bayu
Penulis kelahiran sembilan Februari dan berasal dari sebuah kecamatan kecil di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seorang istri, ibu, dan anak semata wayang yang sejak kecil menyukai hujan dan mendengar cerita. Sedikit pelupa serta aktif membuat kue bolu mocca kacang dan kerajinan tangan.
Suatu tempat, 22 April 2024.
Untuk, Diriku.
Aku ingin berterima kasih sudah sejauh ini berjalan, dan selalu bersamaku. Iya, aku dan diriku.
Banyak malam yang kulalui denganku, terkadang ketakutan dan begitu menyeramkan.
Hampir
tiga ratus malam aku hanya bercerita dan meluapkan
rasa denganku. Aku pernah hampir putus asa saat orang-orang yang padanya aku menaruh harapan besar atas bahagia, dengan angkuh menorehkan luka yang sampai detik ini masih kurasakan, menganga lebar tanpa aku tahu kapan pulihnya.
Dan selama itu pula aku harus menjadi
badut, menangis di balik topeng
warna-warniku.
Bagaimana ceritanya dia yang menikamku, kututup dengan tangan kiriku sedangkan tangan kananku harus kuulurkan untuk membantunya berdiri. Sungguh mengerikan. Tidak ada dokter, tidak ada obat, tidak ada rawat inap. Hanya ada aku dan diriku, memulihkan satu sama lain.
Sekarang, hari ini, hari ke tiga ratus sekian. Aku tidak kehilangan diriku, aku tetap bersamaku, tetap menguatkan.
Kepada aku, ingatlah satu hal. Tetaplah saling berpegangan semakin hari semakin kuat, jangan pernah saling meninggalkan. Bertahanlah, sedikit lagi kita sampai pada tujuan. Terseok, tertatih, perlahan, tapi aku berjanji kita akan tetap hebat di episode ini. Bertahanlah bukan untuk sesiapa, tapi aku bertahan untuk diriku.
Dariku,
Aku
"Mukjizat dari Tuhan yang terjadi dalam kehidupan, belum tentu tentang apa yang kita inginkan.”
Angela Adelia F.
Penulis kelahiran bulan Juni 1983. Belum menikah dan kini berdomisili di Jakarta. Aktif bisnis fashion khusus wanita dan menerima pesanan boneka amigurumi (boneka rajut). Baginya merajut boneka memberi filosofis sendiri yakni memulai dan mengakhiri sesuatu dengan indah.
Jakarta, 22 April 2024.
Dear, Aku.
Gak sangka ternyata aku mengidap bipolar. Awalnya aku tidak menyadari ada yang perlu diobati dari diriku, hingga akhirnya seorang teman yang kebetulan berprofesi dokter menyadari bahwa ada yang aneh dalam sikapku, dia menyarakankan aku untuk berkonsultasi ke dokter spesialis kejiwaan.
Awalnya aku tidak terima karena saat itu aku berpikir jika aku berobat ke dokter jiwa artinya aku gila. Tapi akhirnya aku pun menyadari ada hal-hal yang akhirnya membuatku merasa tidak nyaman dan menurutku sedikit menghambat aktivitasku.
Sampai akhirnya aku rutin berobat dan minum obat. Awalnya aku berpikir apakah hubunganku dengan Tuhan tidak beres sehingga aku mengidap sakit kejiwaan.
Seiring berjalanya waktu dan konsultsi rutin, pikiranku semakin terbuka, mengakui bahwa aku membutuhkan bantuan ahli (dalam hal ini dokter) adalah bentuk keberanianku yang akhirnya aku merasa lebih baik dan nyaman. Dengan berobat, merupakan bentuk usahaku untuk menuju lebih baik.
Dokter bilang tidak ada kaitannya agama dengan penyakitku. Aku tahu, aku tidak perlu lagi memikirkan omongan orang, karena mereka tidak tahu apa saja yang telah kulalui dalam hidup ini.
Di usiaku yang tidak lagi muda, aku bersyukur masih bisa bertahan hingga sekarang. Banyak hal pahit yang terjadi dan ternyata aku bisa melaluinya, tidak mudah menjadi aku.
Semua bermula saat SMP, aku sangat senang saat itu karena bangga rasanya papahku sering datang ke sekolah dan memberiku uang jajan, sedangkan teman yang lain tidak mengalami hal serupa.
Aku senang karna bisa traktir teman makan di kantin, hingga akhirnya pada suatu ketika teman-teman satu geng-ku berkumpul dan memanggilku, dan sepertinya aku sedang disidang oleh teman-teman.
Mereka memberitahukan kalau papahku ternyata ada wanita lain dan anak? Salah satu ibu dari temanku menjadi tukang cuci di rumah perempuan itu. Aku merahasiakan hal itu dari mamah, kakak, dan adikku. Hingga suatu Ketika mereka tahu, dan tahu kalau aku tahu.
Untuk yang kedua kali aku disidang, tapi kali ini dengan keluargaku sendiri. Mereka menuduhku bersekongkol dengan
papahku dan menutupi dari mamahku. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku untuk membela diri, aku hanya terdiam karena aku shock dituduh seperti itu. Tidak terbayangkan rasa sakit yang kualami.
Setelah itu kejadian buruk demi kejadian buruk terjadi. Aku harus berpisah dengan keluargaku. Aku dan kakakku tinggal dengan tanteku, mamah dan adikku harus pulang ke Manado karena keluarga mamahku menganggap mamah dan papahku harus berpisah. Papahku sendiri akhirnya tinggal di rumah opung.
Tanpa kusadari saat itu aku berjanji tidak akan menikah karena aku tidak percaya dengan pernikahan. Banyak trauma masa kecil yang kualami yang ternyata membuat aku menjadi bipolar.
Seringkali kali aku merasa bahagia berlebih, bahkan atas hal sepele, sehingga aku tidak bisa mengendalikan kebahagiaan yang kurasakan, dan akhirnya pada satu titik aku lelah karena bahagia. Saat itulah semua rasanya berbalik menjadi kesedihan, depresi, yang tidak bisa kukendalikan. Yang belakangan baru aku tahu itu adalah fase manic.
Seringkali aku bersemangat ingin melakukan sesuatu, dan rasanya timbul ide dan tenaga untuk melakukannya, tapi
saat aku sedang mempersiapkan ide itu, tiba-tiba aku merasa malas dan sering juga aku malah benci pada diriku sendiri.
Seringkali aku sedang berkumpul bersama teman dan tertawa lepas, tapi tiba-tiba rasanya aku marah pada mereka, dan air mata keluar begitu saja tanpa bisa kutahan.
Banyak pria yang dekat denganku dan akhirnya menjauh dan memilih pergi dariku karena tidak kuat menghadapiku.
Ingin sekali aku katakan pada kalian, aku pun tidak mau begini. Aku mau bilang sama kalian, aku tidak bisa kendalikan. Temanku tidak banyak. Aku pun tidak dekat dengan keluarga besar.
Aku tidak pernah meminta keluarga atau teman untuk mengerti aku, karena aku tahu keanehanku. Aku juga bingung kalau mau curhat sama teman, apa yang harus kuceritakan, karena kupikir mereka tidak akan mengerti.
Hai, Aku.
Saat ini aku bersyukur sudah menjadi lebih baik. Aku telah banyak melewati cobaan dalam hidup. Ternyata aku kuat, aku harus mengakui tidak apa-apa mengakui pada orang lain kalau aku sedang dalam keadaan tidak baik.
Sekarang aku punya teman pria yang sudah satu tahun ini menemaniku, ternyata dengan dia menerimaku, membuatku semakin semangat berjuang untuk rutin minum obat dan sembuh.
Aku yakin, aku bisa sembuh. Aku sekarang sudah bisa mengendalikan jika ada satu trauma yang datang tiba-tiba dan menghantui. Aku tahu, aku hebat. Aku tidak perlu lagi minder, bahkan aku menyadari sebenarnya aku mudah bergaul.
Sekarang aku lebih dapat mengendalikan jika fase manic itu mulai dating. Karena sekarang aku sadar, jika manic akan datang, jangan terlalu banyak memikirkan perasaan orang lain.
Aku sekarang lebih menyayangi diriku sendiri dengan mengikuti apa yang sedang aku inginkan. Menulis, iya dengan menulis, aku bisa mengutarakan apa yang kurasa. Aku sadar perjuangan masih panjang, tapi aku akan tetap terus berjuang.
Dariku,
Aku.
"Aku bertahan karena yakin apa yang jadi takdirku adalah hadiah terindah dari Allah.”
Niar Rini
Penulis kelahiran Jayapura pada Juni 25 tahun lalu.
Menetap di Jayapura. Bekerja
di instansi pendidikan dan merangkap paruh
waktu di toko bunga serta sembako. Prinsip
hidupnya yakni belajar jalani sesuatu dengan
ikhlas dan tenang
yakin rejeki tidak akan kemana.
Berkomunikasi dengannya bisa melalui media sosial @niarrini.
Papua, 21 April 2024.
Dear, Aku.
Aku tahu hidup memang tidak mudah. Namun, bertahanlah. Bertahanlah untuk dirimu sendiri, bertahanlah karena Allah sudah menciptakan dirimu dengan keindahan, keelokan, serta keunikan.
Bertahanlah untuk masa depanmu, bertahanlah bisa jadi di hari esok semua impianmu terwujud. Bertahanlah untuk senyuman-senyuman indah yang akan kamu lihat setiap harinya.
Bertahanlah demi hajat duniamu. Bertahanlah agar kamu bisa menjadi alasan untuk orang lain hidup. Bertahanlah karena kamu harus yakin saat kamu bertahan maka karirmu, jodohmu, dan takdirmu semua berjalan dengan indah sesuai rida Allah. Bertahanlah untuk akhiratmu.
Dear, Aku.
Aku tahu tentang masa depan seolah semua terlihat semu. Namun, yakinlah saat kamu berbuat baik, memaafkan, dan mengikhlaskan. Semua akan berjalan dengan alurnya. Alur yang Allah ridai dan penuh dengan hikmat.
Mantra indah untuk aku yang memilih bertahan, "Aku punya Allah, aku punya doa, aku punya keyakinan. Aku punya kemauan, saat aku direndahkan maka Allah yang akan mengangkat derajatku. Saat aku lemah maka Allah yang akan menguatkanku. Dan di saat aku terluka maka Allah yang akan mengobatiku. Di saat dunia berusaha menghancurkanku, aku yakin Allah Mahabaik, maka bukan aku yang hancur tapi semua akan menjadi guru kehidupan yang akan aku lewati dengan tenang dan mendapatkan pelajaran hidup yang berharga. Saat aku memilih bertahan hari ini di saat hari yang akan datang, Allah yang akan mengabulkan hari yang indah untukku" Allahumma baarik. bahagia selalu jiwa ragaku.
Niarrini
"Bertahan adalah salah satu bentuk kecerdasan, kekuatan, dan kematangan jiwa."
Icha Haerani
Penulis kelahiran 41 tahun lalu di Kota Raja Tenggarong Kutai Kartanegara. Seorang Ibu dari 5 anak sekaligus abdi negara. Ingin jadi orang bermanfaat dan ibu yang lebih baik lagi.
Kota Raja Tenggarong, 22 April 2024.
Untukmu,
Yang terlihat
tangguh padahal rapuh.
Ada banyak hal yang sebenarnya bisa membuatmu tumbang, tapi karena kuatnya ragamu kau masih bisa dan tetap berdiri tegap.
Ada banyak kisah yang sebetulnya dapat membuatmu terpuruk dan tersungkur, tapi karena kuatnya hatimu kau masih bisa tetap tersenyum dan tegar mengadapi segalanya, tetap kau jalani meski kadang langkahmu terhenti hanya untuk mengumpulkan kekuatan untuk terus melanjutkan langkahmu.
Kau memilih untuk bertahan meski silih berganti segala ujian dan cobaan datang. Ya, terkadang aku, kamu, kita lebih memilih untuk bertahan hanya karena agar semuanya bisa baik-baik saja.
Aku, kamu, kita memilih untuk tetap bertahan hanya karena untuk terlihat tetap utuh dan berharap semakin tumbuh berkembang, berbunga dengan indahnya.
Memilih untuk bertahan bukanlah suatu kesalahan. Memilih untuk tetap bertahan bukanlah suatu kelemahan. Tapi memilih untuk tetap bertahan adalah suatu kekuatan yang tak semua jiwa bisa melakukannya.
Karena hidup telah membuktikan yang terkuat adalah dia yang memilih untuk tetap bertahan. Lalu, bagaimana denganmu?
Dan aku pilih untuk bertahan!
ChaHaerani
“Aku coba bertahan untuk mendapatkan alasan lain mengapa Allah memilihmu untukku.”
Adriana
Penulis berusia 43 tahun ini adalah seorang ibu dari enam anak. Sedang fokus mematangkan diri, menumbuhkan rasa besar di hati, dan melapangkan dada dengan tetap meyakinkan diri bahwa Allah Maha Baik.
Payakumbuh, 22 April 2024.
Untuk, Diriku.
Apa kabar, Diriku?
Diriku yang terlahir sebagai anak tunggal yang ditinggal mati ibunya. “Tenanglah, Ibu. Anakmu ini kuat walau kadang meleyot'.
Diriku yang ditinggal nikah lagi oleh bapaknya. “Pak, anakmu belum pernah merasakan kasih sayang dari seorang bapak, tapi aku sudah ikhlas karena bapak sudah disisi Allah.”
Diriku yang pernah dikhianati pasangan. “Suamiku, aku mengizinkanmu menduakanku, kau sibukkan dirimu dengan Tuhanmu atau kau sibukkan dirimu dengan ibumu tapi bukan nafsumu.”
Diriku yang hampir melabuhkan hati untuk laki-laki lain dan sampai saat ini masih berjuang untuk menetralkan hati. “Mas, bantu aku melepaskan rasa ini.”
Adrianna.
"Sampai kapan kau akan terus bertahan dengan rasa bersalahmu?”
Rima J.
Penulis kelahiran Jakarta 1984. Memiliki dua anak laki- laki. Aktif berkarier di perusahaan swasta.
Penyintas korban kekerasan seksual yang saat ini (masih) berjuang melawan trauma. Berdomisili di
Depok. Berbagi rasa dengannya bisa
melalui surel julitarima0@gmail.com.
Depok, 21 April 2024.
Untuk, Diriku.
Aku ingin mengajakmu mengingat kembali semua luka dan trauma kita, dan bagaimana kita bisa bertahan hingga hari ini.
Tahun 2023.
Waktu terus berjalan, ternyata rasa sakit kita tak hilang jua. Padahal sudah tiga puluh tahun berlalu, delapan tahun ketika itu, tetapi rasa sakit itu tidak bisa hilang.
Tahun 1993.
Kita rusak, hancur, benci, marah, sedih, jijik. Tangan kecil kita, kaki kecil kita saat itu, tak ada daya. Tidak bisa melawan bajingan yang memaksa melucuti kita.
"Buka, ya. Kalau enggak mau, saya tinggalkan ibu kamu!" Terkadang di lain waktu, "Ibumu juga begini ke om!"
Membayangkannya saja rasanya kita ingin mati. Bajingan itu mulai mengusap kepala kita, membelai wajah, dan kita cuma mematung.
Lalu bajingan itu menyodorkan kemaluannya, "Jilat!" sambil tangan kekarnya mendorong kepala belakang kita. Lalu kita menahan untuk tidak menuruti isntruksinya. Kita
menangis, tak bersuara, lalu bajingan itu mengeluarkan majalah bergambar orang-orang tanpa pakaian, berpose seperti yang bajingan itu instruksikan. Rasanya membuat kita mual dan mau muntah!
Ini awal semua petaka. Seperti kerbau, tanpa ada perlawanan kita biarkan dia merampas semua yang ada. Bajingan itu menarik tangan kita, membuka pakaian bagian bawah sambil mengancam, "Tutup mata, tutup pakai bantal, kalau tidak, gue matiin ibu lu!"
Dan akhirnya peristiwa itu terjadi. Pedih, sakit, hancur, marah, malu, benci. Tidak sampai di situ, semua berlangsung lagi dan lagi selama setahun. Dia semakin menjadi ketika mama melahirkan adik pertama, karena di rumah kontrakan hanya ada kita dan bajingan itu. Dia memang bangsat, dan kita selalu membiarkan hal itu terjadi. Goblok dan bodohnya aku.
Tubuh kita yang hitam, kurus, berbalut tulang masih tetap membuat dia bernafsu tanpa kecuali. Apa yang dia cari dari diri kita??
Tinggal tak tentu di mana tempatnya, di rumah nenek, di rumah uwa, di rumah tante, karena aku ketakutan untuk di kontrakan.
Masih di tahun yang sama. Tidak selesai dari bajingan itu, pembantu di rumah kakak mama (uwa Nina), bajingan kedua berkali-kali meraba tubuh kita ketika terlelap.
Tiba-tiba tubuh terasa beku, tidak bisa bergerak, menghadap dinding yang dingin, terisak, pelan, hanya air mata yang menetes.
Bangsat itu menggesekkan kemaluannya ke bokong kita. Bajingan, rasanya ingin kita teriak di tengah malam itu. Tapi tubuh kita hanya membeku dan menangis tanpa keluar suara. Lagi-lagi kita pengecut. Apa yang kalian cari dari kami??!
Kita mengutuk diri. Sampai akhirnya dia berhenti. Lalu kita tidak ingat apa pun setelahnya. Pagi tiba tanpa suara, kita hanya menganggap semua itu mimpi buruk, tapi sangat nyata.
Tidak berhenti di malam itu, ketika kita menaiki sepeda dan persis duduk di sadel depan, bajingan itu menggesekkan lagi kemaluannya sambil berkata, "Kayak si om, begini ke mama, ya."
Kita hanya bisa terdiam, tak bersuara, beku, berkeringat, tangan terasa dingin. Sesampai di rumah nenek, kita segera berlari ke ruangan menangis sendirian. Menyakitkan, perih!
Jauh sebelum perceraian mama dan papa, kita sempat bahagia melewati masa kecil dengan mama papa. Meski ternyata papa pun sama bajingannya, bangsat, pergi tanpa ingat bahwa kita adalah hasil dari spermanya.
Lalu tinggal dengan mama, kita pikir akan bahagia. Didikan keras, disiplin keras, kemandirian, kekerasan fisik, pukulan, jambakan, cubitan, tamparan, berulang kali masukkan kepala kita ke dalam bak air yang terisi penuh, asbak hampir mendarat di kepala, gagang sapu yang patah karena beradu dengan tubuh kita. Masih ingat, kan?
Kita marah! Bangsat! Bajingan! Berengsek! Apa-apaan ini, masa kecil kita seperti itu. kita hampir tidak bisa tersenyum dengan sesungguhnya senyuman.
Jadi, apa kabarmu hari ini , Mima kecil? Apakah belum kering air matamu?
Dariku,
Aku
“Aku akan bertahan, sampai batas waktu yang belum kutentukan!”
Via Atta
Penulis adalah seorang wanita yang gemar bersosialisasi. Aktif di dunia sosial dan saat ini sedang tertarik untuk mempelajari dunia digital terutama yang bisa dihubungkan dengan latar belakangnya yakni seputar pemasaran. Berdomisili di Jakarta.
Jakarta, 21 April 2024.
Untukmu.
Kebimbangan ini dimulai Januari 2024. Bagaimana Sang Maha Kuasa membuka semua kebohongan yang kau sembunykan dariku selama ini.
Ternyata selama ini kau berbagi dengan yang lain dengan dalil yang menyakitkan dan tidak masuk akal. Engkau seakan lupa perjuangan saat kita berdua tak bernilai apa pun. Engkau lupa bagaimana
kekuatan lain begitu sempurna
turut campur membuat
hidup kita bernilai di hadapan manusia dan hal itu
semua hilang tak berarti.
Hanya kata “maaf”, “Aku salah dan khilaf” sudah kau anggap sebagai kata-kata bernilai dan suci untuk membuatku melupakan semua yang kau perbuat.
Dengan sikap halus dan tutur sapamu yang santun kau pakai untuk memohon kepadaku
agar tetap bersamamu dengan dalih masih sayang.
Sebenarnya bukan pertama kali kau melakukan hal ini. Di buku kehidupaan lalumu bersama dia pun, kau pernah melakukannya.
Sepertinya kau tidak
menerima dampak apa pun atas penghianatan janji suci yang pernah kau ucapkan sehingga kau berani mengulanginya kembali
bersamaku dengan lebih kejam dan
dahsyat. Sehingga sepertinya kali ini alam semesta tidak tinggal diam. Selain membuka
kedok kejahatanmu, sekalian
kau juga diberi bonus sepuluh
sumbatan di jantungmu
mewakili kelakuanmu yang telah menyakiti
hati para wanita yang di titipkan alam semesta kepadamu.
Namun, apakah itu cukup buatku yang tersakiti ini?? Harus jujur kuakui, belum cukup!!
Rasanya masih ingin
melihat yang lebih dahsyat lagi. Sampai kau benar-benar merasakan terpuruk ke jurang yang terdalam dan kata-kata menyesal
yang keluar dari mulutmu benar-benar terasa di hatiku. Biar kau benar-benar merasakan
bahwa semua yang kau
lakukan itu ada bayarannya karena bukan hanya hati yang tersakiti tetapi keimanan pun hampir luntur.
Hingga hati ini menuntut jawaban
dari Sang Pencipta, apakah wanita paruh baya seperti
aku memang takdirnya
untuk menerima hal seperti ini. Di mana Tuhan yang aku andalkan? Kenapa
diizinkan untuk terjadi sehingga aku
merasakan sakitnya hati ini? Apakah aku
layak menerima hal seperti ini? Segudang pertanyaan berkecamuk di hatiku
yang terluka!
Apakah kami perempuan tidak boleh melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh laki-laki? Apakah laki-laki memang punya hak sulung untuk melakukan hal ini dan tidak dianggap berdosa? Lalu buat apa kami diciptakan kalau cuma buat disakiti? Kenapa wanita dititipkan sifat untuk rela menjadi nomor dua atau rela menyakiti sesama kaumnya??
Ya, pada akhirnya hati ini marah, sedih, kecewa kepada Sang Pencipta. Dan pada akhirnya,
pertanyaan ini turut muncul dalam berdebatan hatiku. Akankah aku bertahan? Haruskah
aku bertahan? Atau pergi
meninggalkanmu mencari kehidupan baru dengan makna lain?
Dan pada akhirnya
pula aku merenung,
terus merenung sambil menata hati, pikiran, dan menyusun kekuatan baru sambil melewati hari demi hari mohon ampun kepada-Nya atas keimananku yang
sempat goyah. Dan berharap pencerahan serta campur tangan dari Sang Pencipta
yang Maha Tahu.
Dari Aku yang mencoba bertahan
Comments
Post a Comment