Filsafat agama buddha tentang kesedihan
FILSAFAT AGAMA BUDDHA TENTANG KESEDIHAN
~ Ven. Dr. K Sri Dhammananda
Para orang suci yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi tidak meratapi meninggalnya sanak kerabat mereka, karena mereka telah mengikis habis semua emosi manusiawinya. Yang Ariya Arahat Anuruddha tidak menangis ketika Sang Buddha Gotama wafat, namun Yang Ariya Ananda yang ketika itu baru mencapai tingkat kesucian Sotapanna atau Yang Masih Belajar, telah menunjukkan kesedihannya. Bhikkhu Ananda yang bersedih tersebut masih harus diingatkan mengenai pandangan Sang Buddha terhadap kematian melalui kata-kata sebagai berikut:
“Ananda, bukankah Sang Buddha pernah mengatakan pada kita bahwa segala sesuatu yang dilahirkan, yang muncul, yang terbentuk, akan lenyap kembali? Ini merupakan sifat dari semua bentuk yang bersyarat, yakni muncul dan akan lenyap kembali. Dengan menyadari bahwa semua itu akan lenyap kembali, maka muncullah kedamaian dan kemuliaan”.
Kata-kata ini menguraikan suatu dasar yang di atasnya dibangun bangunan Filsafat Agama Buddha.
Sebab dari kesedihan dan penderitaan kita ialah kemelekatan (Tanha) dalam segala bentuknya. Jika kita ingin menghentikan kesedihan, maka kita harus membuang kemelekatan, baik kemelekatan terhadap manusia maupun terhadap harta benda. Hal ini merupakan pelajaran kebenaran tentang kematian, karena kematian akan menyerang dan mengisi hidup kita dengan kengerian, kecuali bila kita telah dapat memahaminya. Kenyataan ini dengan indah telah dibabarkan oleh Sang Buddha melalui sabda berikut ini: “Penderitaan akan menyeret manusia yang melekat pada keluarga dan harta bendanya, bagaikan banjir besar menyeret desa yang tertidur”.
Dalam peribahasa tersebut tersirat makna bahwa bila desa itu terjaga dengan waspada, maka kerugian yang ditimbulkan oleh banjir tersebut akan dapat berkurang jauh.
Comments
Post a Comment