Eternalisme dan Nihilisme
Eternalisme dan Nihilisme
~ Ven. Dr. Sri Dhammananda
Sang Buddha menolak kedua ekstrim dari eternalisme dan nihilisme. Untuk mengembangkan Pandangan Benar atau Pandangan Sempurna, pertama-tama kita harus menyadari dua pandangan yang dianggap tidak sempurna atau salah.
Pandangan pertama adalah eternalisme. Doktrin atau kepercayaan ini berkaitan dengan kehidupan kekal atau dengan hal-hal yang kekal. Sebelum zaman Sang Buddha, telah diajarkan bahwa ada entitas yang kekal yang dapat hidup selamanya, dan bahwa manusia dapat menjalani kehidupan yang kekal dengan memelihara jiwa yang kekal agar menyatu dengan Yang Mahatinggi. Dalam Buddhisme, ajaran ini disebut sassata ditthi - pandangan kaum eternalis. Pandangan seperti itu masih ada bahkan di dunia modern karena keinginan manusia akan keabadian.
Mengapa Sang Buddha menyangkal ajaran keabadian? Karena ketika kita memahami hal-hal di dunia ini sebagaimana adanya, kita tidak dapat menemukan apa pun yang kekal atau yang ada selamanya. Hal-hal berubah dan terus melakukannya sesuai dengan kondisi yang berubah di mana mereka bergantung. Ketika kita menganalisis hal-hal ke dalam unsur-unsurnya atau ke dalam kenyataan, kita tidak dapat menemukan entitas yang kekal maupun hal yang kekal. Inilah mengapa pandangan eternalis dianggap salah atau palsu.
Pandangan salah kedua adalah nihilisme atau pandangan nihilis yang mengklaim bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian. Pandangan ini milik filsafat materialistis yang menolak untuk menerima pengetahuan tentang kondisi mental. Berlangganan pada filosofi materialisme berarti memahami kehidupan hanya sebagian. Nihilisme mengabaikan sisi kehidupan yang berkaitan dengan persyaratan mental. Jika seseorang menyatakan bahwa setelah meninggalnya atau lenyapnya suatu kehidupan, ia tidak muncul lagi, kesinambungan kondisi-kondisi mental disangkal.
Untuk memahami kehidupan, kita harus mempertimbangkan semua kondisi, baik mental maupun material. Ketika kita memahami kondisi mental dan materi, kita tidak dapat mengatakan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian dan tidak ada lagi keberadaan setelah kematian. Pandangan nihilis tentang keberadaan dianggap salah karena didasarkan pada pemahaman realitas yang tidak lengkap. Itulah sebabnya nihilisme juga ditolak oleh Sang Buddha. Ajaran kamma cukup untuk membuktikan bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan pemusnahan setelah kematian; Ajaran Buddha menerima 'kelangsungan hidup' bukan dalam artian jiwa yang abadi, tetapi dalam artian menjadi yang diperbarui.
Selama Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para pengikut-Nya dalam jangka waktu yang lama, Beliau secara aktif mencegah argumen-argumen spekulatif. Selama abad ke-5 SM India benar-benar merupakan sarang aktivitas intelektual di mana para sarjana, yogi, filsuf, raja, dan bahkan perumah tangga biasa terus-menerus terlibat dalam argumen filosofis yang berkaitan dengan keberadaan manusia. Beberapa di antaranya sangat sepele atau sama sekali tidak relevan. Beberapa orang menyia nyiakan waktu yang berharga untuk berdebat panjang lebar tentang segala macam subjek. Mereka jauh lebih peduli untuk membuktikan kekuatan mereka dalam senam mental daripada mencari solusi sejati untuk masalah yang menimpa umat manusia.
Sang Buddha juga menolak untuk terlibat dalam spekulasi mengenai alam semesta. Dia menyatakan dengan sangat jelas bahwa masalah yang dihadapi umat manusia bukanlah di masa lalunya atau masa depannya, tetapi di masa sekarang. Pengetahuan tentang Keabadian atau Nihilisme sama sekali tidak dapat membantu manusia untuk mematahkan belenggu saat ini yang mengikatnya pada eksistensi dan yang merupakan sumber dari semua perasaan ketidakpuasannya yang muncul dari ketidakmampuannya untuk sepenuhnya memuaskan hasratnya.
Sang Buddha menyatakan bahwa sebelum seseorang dapat mulai menapaki jalan menuju Nibbana, seseorang harus memiliki Pandangan Benar. Hanya ketika seseorang mengetahui dengan jelas apa yang ia cari, barulah ia dapat mencapainya.
Comments
Post a Comment