Etika Buddhis

 Etika Buddhis

 ~ Ven. Dr. Sri Dhammananda


Hukum dan kebiasaan moral buatan manusia tidak membentuk Etika Buddhis.

 

Dunia saat ini dalam keadaan kacau; etika yang berharga sedang dijungkir balikkan.  Kekuatan skeptisisme materialistis telah membedah konsep tradisional tentang apa yang dianggap sebagai kualitas manusiawi. Namun, siapa pun yang memiliki kepedulian terhadap budaya dan peradaban akan menyibukkan dirinya dengan masalah-masalah praktis dan etis. Karena etika berkaitan dengan tingkah laku manusia. Itu berkaitan dengan hubungan kita dengan diri kita sendiri dan dengan sesama manusia.

 

Kebutuhan akan etika muncul dari fakta bahwa manusia pada dasarnya tidak sempurna; dia harus melatih dirinya untuk menjadi baik. Dengan demikian moralitas menjadi aspek kehidupan yang paling penting.

 

Etika Buddhis bukanlah standar sewenang wenang yang diciptakan oleh manusia untuk tujuan kegunaannya sendiri.  Mereka juga tidak dipaksakan secara sewenang-wenang dari luar. Hukum buatan manusia dan kebiasaan sosial tidak membentuk dasar etika Buddhis.  Misalnya, gaya berpakaian yang cocok untuk satu iklim, periode, atau peradaban dapat dianggap tidak senonoh di negara lain; tetapi ini sepenuhnya masalah kebiasaan sosial dan sama sekali tidak melibatkan pertimbangan etis. Namun kepalsuan konvensi sosial terus-menerus dibingungkan dengan prinsip-prinsip etis yang valid dan tidak berubah.

 

Etika Buddhis menemukan landasannya bukan pada kebiasaan sosial yang dapat berubah melainkan pada hukum alam yang tidak berubah. Nilai etika Buddhis secara intrinsik adalah bagian dari alam, dan hukum sebab akibat (kamma) yang tidak berubah. Fakta sederhana bahwa etika Buddhis berakar pada hukum alam membuat prinsip-prinsipnya berguna dan dapat diterima oleh dunia modern. Fakta bahwa kode etik Buddhis dirumuskan lebih dari 2.500 tahun yang lalu tidak mengurangi karakternya yang bertahan lama.

Moralitas dalam Buddhisme pada dasarnya bersifat praktis karena hanya merupakan sarana yang mengarah ke tujuan akhir kebahagiaan tertinggi. Di jalan Buddhis menuju Pembebasan, setiap individu dianggap bertanggung jawab atas keberuntungan dan kemalangannya sendiri. Setiap individu diharapkan untuk mengerjakan pembebasannya sendiri melalui pengertian dan usahanya.  Keselamatan Buddhis adalah hasil dari perkembangan moral seseorang dan tidak dapat dipaksakan atau diberikan kepada seseorang oleh suatu agen eksternal. 


Misi Sang Buddha adalah untuk mencerahkan manusia tentang sifat keberadaan dan menasihati mereka tentang cara terbaik untuk bertindak demi kebahagiaan mereka sendiri dan untuk kepentingan orang lain. Konsekuensinya, etika Buddhis tidak didasarkan pada perintah apa pun yang harus diikuti oleh manusia. Sang Buddha menasihati manusia tentang kondisi yang paling bermanfaat dan kondusif untuk manfaat jangka panjang bagi diri sendiri dan orang lain. Daripada berbicara kepada orang berdosa dengan kata-kata seperti 'memalukan', 'jahat', 'celaka', 'tidak layak', dan 'menghujat' Dia hanya akan berkata, 'Kamu tidak bijaksana dalam bertindak sedemikian rupa karena ini akan membawa kesedihan atas dirimu sendiri. dan lain-lain.'

 

Teori etika Buddhis menemukan ekspresi praktisnya dalam berbagai sila. Ajaran atau disiplin ini tidak lain adalah pedoman umum untuk menunjukkan arah yang harus dituju oleh seorang Buddhis dalam perjalanannya menuju keselamatan akhir. Meskipun banyak dari sila ini diungkapkan dalam bentuk negatif, kita tidak boleh berpikir bahwa moralitas Buddhis terdiri dari tidak melakukan kejahatan tanpa disertai dengan melakukan kebaikan.


Moralitas yang ditemukan dalam semua sila dapat diringkas dalam tiga prinsip sederhana? 'Untuk menghindari kejahatan; untuk berbuat baik, untuk memurnikan pikiran.' Ini adalah nasihat yang diberikan oleh semua Buddha. ----(Dhammapada, 183)

 

Dalam Buddhisme, perbedaan antara apa yang baik dan apa yang buruk sangatlah sederhana: semua tindakan yang berakar pada keserakahan, kebencian, dan delusi yang muncul dari keegoisan mendorong delusi kedirian yang berbahaya.  Perbuatan ini tidak baik atau tidak terampil atau buruk, disebut Akusala Kamma. Semua tindakan itu yang berakar pada kebajikan kemurahan hati, cinta kasih dan kebijaksanaan, adalah berjasa, disebut Kusala Kamma. Kriteria baik dan buruk berlaku apakah berupa pikiran, perkataan atau perbuatan.

Comments

Popular posts from this blog

HO’OPONOPONO

Antologi Memilih Bertahan

MANGALA SUTTA, Sutra Tentang Berkah Utama (3)