Praktik yang Benar

 Praktik yang Benar

~ Ven. Ajahn Chah


Dhamma adalah sesuatu yang harus di praktikkan dan dibawa masuk ke dalam. Jika kita tidak berlatih, kita tidak akan mengetahuinya. Kita tidak akan mengetahuinya hanya dengan membaca atau mempelajarinya. Atau jika kita mengetahuinya, pengetahuan kita masih tidak sempurna (cacat).

⋆ ⋆ ⋆


Vihara dipuncak gunung yang asri tentu sangat damai, tetapi ini tidak ada artinya jika pikiran kita tidak tenang. Semua tempat damai. Beberapa mungkin tampak mengganggu dikarenakan pikiran kita. Namun, tempat yang sunyi dapat membantu untuk menjadi tenang, dengan memberikan seseorang kesempatan untuk berlatih dan dengan demikian selaras dengan ketenangannya. 


Kita semua harus ingat bahwa latihan ini sulit. Melatih hal-hal lain tidaklah begitu sulit, itu mudah, tetapi pikiran manusia sulit untuk dilatih. Sang Buddha melatih pikirannya. Pikiran adalah hal yang penting. Segala sesuatu dalam sistem tubuh ini menyatu dalam pikiran. Mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh semuanya menerima sensasi dan mengirimkannya ke dalam pikiran, yang merupakan pengawas dari semua organ indera lainnya. Karena itu penting untuk melatih pikiran. Jika pikiran terlatih dengan baik, semua masalah berakhir. Jika masih ada masalah, itu dikarenakan pikiran masih ragu, dia tidak tahu yang sesuai dengan kebenaran. Itulah sebabnya ada masalah. 


Jadi ketahuilah bahwa kita semua telah sepenuhnya siap untuk berlatih Dhamma. Apakah berdiri, berjalan, duduk atau berbaring, alat yang kita butuhkan untuk berlatih disediakan dengan baik, di mana pun kita berada. Mereka ada di sana, sama seperti Dhamma. Dhamma adalah sesuatu yang berlimpah di mana-mana. Di sini, di darat atau di air, di mana saja. Dhamma selalu ada. Dhamma sempurna dan lengkap, tetapi latihan kitalah yang belum lengkap.

Bhagavā, Sang Buddha yang Tercerahkan Penuh mengajarkan suatu sarana yang dengannya kita semua dapat berlatih dan mengetahui Dhamma ini. Itu bukan hal besar, hanya hal kecil, tapi itu benar.  Misalnya, perhatikan rambut. Jika kita tahu satu helai rambut, maka kita tahu setiap helai rambut, baik helai kita maupun helai rambut orang lain. Kita tahu bahwa mereka semua hanyalah "rambut". Dengan mengetahui satu helai rambut, kita tahu semuanya. 


Atau pertimbangkanlah orang. Jika kita melihat sifat sebenarnya dari kondisi di dalam diri kita sendiri, maka kita mengenal semua orang lain di dunia juga, karena semua orang adalah sama. Dhamma seperti ini. Dia merupakan hal yang kecil namun besar. Artinya, untuk melihat kebenaran dari satu kondisi adalah dengan melihat kebenaran dari mereka semua. Ketika kita mengetahui kebenaran seperti adanya, semua masalah akan berakhir. Namun demikian, pelatihan ini sulit.  Mengapa ini sulit? Ini sulit karena keinginan, tanha. Jika kita tidak 'ingin' maka kita tidak berlatih. Tetapi jika kita berlatih karena keinginan, kita tidak akan melihat dhamma. Mari kita semua, pikirkanlah itu. 


Jika kita tidak ingin berlatih, kita tidak bisa berlatih. Kita harus terlebih dulu ingin berlatih agar benar benar melakukan latihan. Apakah melangkah maju atau mundur, kita bertemu dengan keinginan. Inilah sebabnya mengapa para pelatih diri (cultivators) di masa lalu mengatakan bahwa latihan ini adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan.


Kita tidak melihat Dhamma karena keinginan. Terkadang keinginan sangat kuat, kita ingin melihat Dhamma dengan segera, tetapi Dhamma bukanlah pikiran kita, pikiran kita belum menjadi Dhamma. Dhamma adalah satu hal dan pikiran adalah hal lain. Ini bukannya berarti apa pun yang kita sukai adalah Dhamma dan apa pun yang tidak kita sukai bukan Dhamma. Bukan begitu caranya.

Sebenarnya pikiran kita ini hanyalah kondisi alam, seperti pohon di hutan. Jika kita ingin papan atau balok, dia harus berasal dari pohon, tetapi pohon itu tetaplah hanya sebatang pohon. Dia belum (berupa) balok atau papan. Sebelum benar-benar bermanfaat bagi kita, kita harus mengambil pohon itu dan memotongnya menjadi balok atau papan. Itu adalah pohon yang sama tetapi dia telah diubah menjadi sesuatu yang lain. Pada dasarnya dia hanyalah sebuah pohon, suatu kondisi dari alam. Tetapi dalam keadaan mentah, dia belum banyak berguna bagi mereka yang membutuhkan kayu. 


Pikiran kita seperti ini. Dia adalah sebuah kondisi alam. Karena dia merasakan pikiran, dia membeda-bedakan menjadi indah dan jelek dan sebagainya. Pikiran kita ini haruslah dilatih lebih lanjut. Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ini adalah sebuah kondisi alam, latihlah dia untuk menyadari bahwa dia adalah suatu kondisi alam. Perbaikilah alam sehingga sesuai dengan kebutuhan kita, yaitu Dhamma. Dhamma adalah sesuatu yang harus dipraktekkan dan dibawa masuk kedalam. 


Jika kita tidak berlatih, kita tidak akan mengetahuinya. Kita tidak akan tahu Dhamma hanya dengan membaca atau mempelajarinya. Atau jika kita mengetahuinya, pengetahuan kita masih cacat. Misalnya, tempolong (tempat meludah). Semua orang tahu itu adalah tempat menampung ludah tetapi mereka tidak sepenuhnya tahu tempolong itu. Mengapa mereka tidak sepenuhnya mengetahuinya? Jika ada yang menyebut tempolong ini sebuah panci, apa yang akan kita katakan? Misalkan setiap kali ada yang memintanya dan berkata, ''Tolong bawa panci itu ke sini", itu akan membingungkan kita. Kenapa begitu? Karena kita tidak sepenuhnya tahu tempolong. Jika kita mengetahuinya, tidak akan ada masalah. Kita cukup mengambil benda itu dan menyerahkannya, karena sebenarnya tidak ada tempolong. Apakah mengerti? Itu adalah tempat meludah karena konvensi. Konvensi ini diterima di seluruh negeri, jadi ini adalah tempolong. 


Tapi sebenarnya, tidak ada ''tempolong''. Jika seseorang ingin menyebutnya panci, dia bisa menjadi panci. Bisa jadi apa pun namanya. Ini disebut ''konsep.'' Jika kita sepenuhnya tahu tempolong, bahkan jika seseorang menyebutnya panci, tidak akan ada masalah. Bagaimana pun yang orang lain menyebutnya, kita tidak terganggu karena kita tidak buta dengan sifat aslinya. Ini adalah orang yang tahu Dhamma.


Sekarang mari kita kembali ke diri kita sendiri. Misalkan seseorang berkata, ''Kamu gila!'' Atau, ''Kamu bodoh,'' misalnya. Meskipun itu mungkin tidak benar, kita tidak akan merasa begitu baik. Semuanya menjadi sulit karena ambisi kita untuk memiliki dan mencapai. Karena keinginan untuk mendapatkan dan menjadi, kita tidak mengetahuinya berdasarkan kebenaran, kita tidak memiliki rasa kepuasan. Jika kita mengetahui Dhamma, tercerahkan pada Dhamma, keserakahan, kebencian dan delusi akan hilang. Ketika kita memahami bagaimana adanya keadaan seluruh hal, tidak ada yang bisa diandalkan dari mereka.

Mengapa latihan diri itu begitu sulit dan berat? Karena adanya nafsu keinginan. Begitu kita duduk bermeditasi, kita ingin menjadi damai. Jika kita tidak ingin menemukan kedamaian, kita tidak akan duduk, kita tidak akan berlatih. Segera setelah kita duduk, kita ingin kedamaian berada di sana, tetapi menginginkan pikiran menjadi tenang membuat kebingungan, dan kita merasa gelisah. Begitulah yang terjadi. 


Jadi Sang Buddha berkata, ''Jangan berbicara dikarenakan oleh nafsu keinginan, jangan duduk karena nafsu keinginan, jangan bertindak (berdasarkan) nafsu keinginan. Apa pun yang Anda lakukan, jangan lakukan itu dengan nafsu keinginan." Nafsu keinginan berarti menginginkan sesuatu penuh lekatan. Jika kita tidak melekati keinginan dalam melakukan sesuatu, kita akan melakukannya dengan benar. Jika latihan kita mencapai titik ini, kita bisa menjadi sangat baik.


Bagaimanakah kita bisa berlatih? Begitu kita duduk, ada nafsu keinginan didalam pikiran. Karena inilah tubuh dan pikiran sulit untuk diamati. Jika mereka bukan diri atau milik diri maka milik siapakah mereka? Sulit untuk memecahkan hal-hal ini, kita harus mengandalkan kebijaksanaan. Sang Buddha berkata kita harus berlatih dengan ''melepaskan,'' bukan? Jika kita melepaskan, kita tidak akan melakukan praktek, bukan? Karena kita telah melepaskannya. 


Misalkan kita pergi membeli kelapa di pasar, dan ketika kita membawanya kembali, seseorang bertanya:

 ''Untuk apa anda membeli kelapa itu?''

 ''Saya membeli mereka untuk dimakan.''

 ''Apakah anda akan memakan tempurungnya juga?''

 ''Tidak.''

 ''Saya tidak percaya. Jika anda tidak akan memakan tempurungnya, maka mengapa Anda membelinya juga?''

Apakah yang akan anda katakan? Bagaimana Anda akan menjawab pertanyaan mereka?

Kita melakukan praktik dengan keinginan. Jika kita tidak memiliki keinginan kita tidak akan berlatih. Berlatih dengan nafsu keinginan adalah tanha. Merenungkan dengan cara ini dapat memunculkan kebijaksanaan, kita tahu. Misalnya, kelapa itu: Apakah Anda akan memakan batok / tempurungnya juga? Tentu saja tidak. Lalu mengapa Anda mengambilnya?  Karena waktunya belum tiba bagi kita untuk membuang mereka. Mereka berguna untuk membungkus kelapa. Jika, setelah memakan kelapa, kita membuang tempurungnya, tidak ada masalah. Latihan kita seperti ini. 


Sang Buddha berkata, '' .'' Berdiri, berjalan, duduk atau berbaring, apapun, jangan lakukan itu dengan nafsu keinginan. Ini berarti melakukannya dengan pelepasan (detachment). 


Ini seperti halnya membeli kelapa dari pasar. Kita tidak akan memakan tempurungnya tetapi ini belum waktunya untuk membuangnya. Kita menyimpannya terlebih dahulu. Beginilah praktiknya. Konsep dan transendensi saling mengisi, seperti kelapa. Daging, kulit dan tempurungnya, semuanya menyatu. Ketika kita membelinya, kita membeli seluruhnya Jika seseorang ingin menuduh kita makan batok kelapa itu urusan mereka, kita tahu apa yang kita lakukan

Kebijaksanaan adalah sesuatu yang masing-masing dari kita temukan untuk diri kita sendiri. Untuk melihatnya, kita tidak harus bergerak cepat atau lambat. Apakah yang harus kita lakukan? Pergilah ke tempat yang tidak ada cepat atau lambat. Melaju dengan cepat atau melambat bukanlah jalannya.


Tapi kita semua tidak sabar, kita sedang terburu-buru. Begitu kita memulai, kita ingin bergegas sampai ke akhir, kita tidak ingin tertinggal di belakang. Kita ingin sukses. Ketika tiba untuk memperbaiki pikiran mereka untuk bermeditasi, beberapa orang melangkah terlalu jauh.


Mereka menyalakan dupa, bersujud dan bersumpah, ''Selama dupa ini belum sepenuhnya terbakar, saya tidak akan bangkit dari duduk saya, bahkan jika saya pingsan atau mati, tidak peduli apapun, saya akan mati bermeditasi duduk.'' 


Setelah membuat sumpah mereka, mereka mulai bermeditasi duduk. Segera setelah mereka mulai duduk, gerombolan Māra (godaan) datang bergegas ke arah mereka dari semua sisi. Mereka hanya duduk sesaat dan mereka pikir dupa harusnya sudah habis. Mereka membuka mata mereka untuk mengintip. ''Oh, masih ada banyak yang tersisa!'' Mereka menggertakkan gigi dan duduk lebih lama, merasa panas, gugup, gelisah dan bingung. Saat mencapai titik puncaknya, mereka berpikir, ''Itu harusnya sudah selesai sekarang'' Coba mengintip lagi. ''Oh, tidak! Ini bahkan belum setengah jalan!'' Dua atau tiga kali dan itu masih belum selesai juga, jadi mereka menyerah, berkemas dan duduk di sana, membenci diri mereka sendiri. ''Saya sangat bodoh, saya sangat tidak berguna!'' Mereka duduk dan membenci diri mereka sendiri, merasa seperti tanpa harapan. 


Ini hanya menimbulkan frustrasi dan rintangan. Ini disebut rintangan dari niat buruk.  Mereka tidak bisa menyalahkan orang lain sehingga mereka menyalahkan diri sendiri. Dan mengapa begini? Itu semua dikarenakan oleh naafsu keinginan. 


Sebenarnya tidak perlu melalui semua itu. Berkonsentrasi berarti berkonsentrasi dengan pelepasan, tidak memusatkan diri pada ikatan - ikatan. Tetapi mungkin kita membaca tulisan suci, tentang kehidupan Buddha, bagaimana dia duduk di bawah pohon Bodhi dan bertekad untuk dirinya sendiri, ''Selama saya masih belum mencapai Pencerahan Tertinggi, saya tidak akan bangkit dari tempat ini, bahkan jika darah saya mengering.'' Membaca ini di buku-buku, kita mungkin berpikir untuk mencobanya sendiri. Kita akan melakukannya seperti Buddha. Tetapi kita belum memikirkan bahwa kendaraan kita (mobil) hanyalah kendaraan yang kecil. Kendaraan Sang Buddha adalah kendaraan yang sangat besar, dia dapat mengambil semuanya dengan sekaligus. Dengan hanya mobil mungil kita, bagaimana bisa mengambil semuanya dengan sekaligus? Ini cerita yang berbeda sama sekali. Kenapa kita berpikir seperti itu? Karena kita terlalu ekstrim. Terkadang kita pergi terlalu rendah, terkadang kita pergi terlalu tinggi. Titik keseimbangan sangatlah sulit untuk ditemukan.

Sekarang mari kita berbicara dari pengalaman. Di masa lalu latihan kita seperti ini, berlatih untuk melampaui keinginan, jika kita tidak ada keinginan, bisakah kita berlatih? Kita terjebak di sini. Tetapi berlatih dengan keinginan adalah penderitaan. Kita tidak tahu harus berbuat apa, kita bingung. 


Kemudian kita menyadari bahwa latihan yang mantap / terus menerus (steady) adalah hal yang penting. Seseorang harus berlatih secara konsisten. Mereka menyebut ini praktik yang ''konsisten dalam semua postur.'' Terus perbaiki praktik, jangan biarkan dia menjadi 'jalan buntu'. Latihan adalah satu hal, bencana adalah yang hal lain. 


Kebanyakan orang biasanya menciptakan 'kebuntuan'. Ketika mereka merasa malas, mereka tidak mau repot-repot berlatih, mereka hanya berlatih ketika mereka merasa bersemangat. Inilah yang cenderung yang kita lakukan. Kita semua bertanya pada diri sendiri sekarang, apakah ini benar? Untuk berlatih ketika kita merasa menyukainya, bukan ketika kita tidak menyukainya: apakah itu sesuai dengan Dhamma? Apakah ini sebenarnya? Apakah itu sesuai dengan ajarannya? Inilah yang membuat praktik tidak konsisten.


Apakah disaat kita merasa suka atau tidak suka, kita harus sama saja tetap berlatih, beginilah cara Sang Buddha mengajar. Kebanyakan orang menunggu sampai ada  mood (suasana hati) sebelum berlatih, ketika mereka merasa tidak suka, mereka tidak peduli. Seperti inilah yang terjadi. Ini disebut 'kebuntuan', bukan praktik.

Dalam latihan yang benar, apakah di saat itu kita bahagia atau tertekan, kita tetap berlatih. Apakah di saat mudah atau sulit, kita tetap berlatih. Apakah saat itu panas atau dingin, kita tetap berlatih. Latihan yang benar sebenarnya seperti ini. Dalam latihan yang sebenarnya, apakah berdiri, berjalan, duduk atau berbaring kita harus memiliki niat untuk melanjutkan latihan dengan mantap, membuat 'sati' (kesadaran penuh) kita konsisten dalam segala postur. Awalnya kita berpikir seolah-olah kita harus berdiri selama kita berjalan, berjalan selama kita duduk, duduk selama kita berbaring, kita sudah mencobanya tetapi kita tidak bisa melakukannya. 


Jika seorang meditator melakukan posisi berdiri, berjalan, duduk, dan berbaring sama banyaknya, berapa hari dia bisa mempertahankannya? Berdiri selama lima menit, duduk selama lima menit, berbaring selama lima menit, kita tidak bisa melakukannya terlalu lama. Jadi kita duduk dan memikirkannya lagi. ''Apakah artinya semua itu? Orang-orang di dunia ini tidak bisa berlatih seperti ini!'' Kemudian kita menyadari ''Oh, itu tidak benar, itu tidak mungkin benar karena tidak mungkin dilakukan. Berdiri, berjalan, duduk, berbaring, membuat semuanya konsisten". 


Untuk membuat postur yang konsisten seperti yang mereka jelaskan di buku tidak mungkin dilakukan. Tetapi ini mungkin untuk dilakukan: Pikiran, pertimbangkan saja pikiran. Untuk memiliki sati, perenungan, sampajanna, kesadaran diri, dan panna, kebijaksanaan menyeluruh, inilah yang dapat kita lakukan. Ini adalah sesuatu yang sebenarnya sangat berharga untuk dilakukan. 


Ini berarti bahwa saat berdiri kita memiliki sati, saat duduk kita memiliki sati, dan saat berbaring kita memiliki sati, secara konsisten. Ini mungkin. Kita menempatkan kesadaran pada posisi berdiri, berjalan, duduk, berbaring — dalam semua postur. Ketika pikiran telah dilatih seperti ini, kita akan terus mengingat Buddho, Buddho, Buddho, yang tercerahkan sempurna. Mengetahui apa? Mengetahui apa yang benar  dan apa yang salah di setiap saat. Ya, ini mungkin. Ini adalah praktik nyata. Artinya, apakah berdiri, berjalan, duduk atau berbaring di sana ada sati yang terus menerus. Maka kita harus memahami kondisi kondisi mana yang harus dilepaskan dan mana yang arus dikembangkan. Kita tahu kebahagiaan, kita tahu ketidak bahagiaan. Ketika kita mengetahui kebahagiaan dan ketidak bahagiaan, pikiran kita akan menetap pada titik yang bebas dari kebahagiaan dan ketidak bahagiaan.

Kebahagiaan adalah jalan yang lepas (bebas), kāmasukallikānuyogo. Ketidakbahagiaan adalah jalan yang ketat, attakilamathānuyogo. Jika kita tahu dua hal ekstrim ini, kita menariknya kembali. Kita tahu ketika pikiran cenderung menuju kebahagiaan atau ketidak bahagiaan dan kita menariknya kembali, kita tidak membiarkan untuk mengandalkannya. Kita memiliki kesadaran semacam ini, kita berpegang pada satu jalan, yaitu Dhamma. Kita berpegang pada kesadaran, tidak membiarkan pikiran mengikuti kecendrungannya. Tetapi dalam latihan kita, dia tidak cenderung seperti itu, bukan? 


Kita mengikuti kecendrungan kita. Jika kita mengikuti kecenderungan itu mudah, bukan? Tetapi ini adalah kemudahan yang menyebabkan penderitaan, seperti seseorang yang tidak dipusingkan untuk bekerja. Dia menganggap enteng (mudah), tetapi ketika saatnya tiba untuk makan, dia tidak memiliki apa-apa. Beginilah caranya. Jadi kita perlu mengkoreksi (membantah) beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha di masa lalu, tetapi kita benar-benar tidak bisa mengalahkannya. Saat ini kita mesti menerimanya. Kita menerima bahwa banyak dari ajaran Sang Buddha adalah benar, jadi kita telah mengambil ajaran itu, menggunakannya untuk melatih diri dan orang lain.

Baik atau jahat harus dilihat di dalam diri kita sendiri. Bagaimanapun pandangan orang lain, itu urusan mereka. Jangan berpikir, ''Oh, hari ini terlalu panas,'' atau, ''Hari ini terlalu dingin,'' atau, ''Hari ini....'' Apapun hari itu kelihatannya, seperti itulah adanya. Sebenarnya kita menyalahkan cuaca demi kemalasan kita sendiri. Kita harus melihat Dhamma di dalam diri kita sendiri.


Praktik yang penting adalah patipadā, apakah itu? Itu adalah berbagai aktivitas kita, berdiri, berjalan, duduk, berbaring, dan yang lainnya. Ini adalah patipada tubuh. Sekarang patipada dari pikiran: berapa kali selama latihan hari ini kita merasa lemah (tidak bersemangat)? Berapa kali kita merasa bersemangat? Apakah ada perasaan yang disadari? Kita harus mengenal diri kita sendiri seperti ini. 


Setelah melihat perasaan perasaan itu, bisakah kita melepaskannya? Apa pun yang belum bisa kita lepaskan, kita harus bekerja dengannya. Ketika kita melihat bahwa kita belum bisa melepaskan perasaan tertentu, kita harus mengambilnya dan memeriksanya dengan kebijaksanaan. Cari tahu dan bekerjalah dengannya. Inilah praktik. Misalnya, ketika kita merasa bersemangat, berlatihlah, dan kemudian ketika kita merasa malas, cobalah untuk melanjutkan latihan. Jika kita tidak dapat melanjutkannya dengan 'kecepatan penuh' maka setidaknya, lakukanlah setengahnya. Jangan hanya menyia-nyiakan hari dengan menjadi malas dan tidak berlatih. Dengan melakukan itu, akan menyebabkan penderitaan, itu bukan cara seorang kultivator. Pernahkah mendengar beberapa orang berkata, ''Oh, tahun ini saya benar-benar buruk.''

''Bagaimana bisa?''

''Saya sakit sepanjang tahun. Saya tidak bisa berlatih sama sekali.''


Jika mereka tidak berlatih ketika kematian mendekat, kapankah mereka akan berlatih? Jika mereka merasa baik, apakah kita pikir mereka akan berlatih? Tidak, mereka hanya tersesat dalam kebahagiaan. Jika mereka menderita, mereka masih juga tidak berlatih, mereka tersesat dalam hal itu.


Kita tidak tahu kapankah orang berpikir mereka akan berlatih! Mereka hanya bisa melihat bahwa mereka sakit, kesakitan, hampir mati karena demam, benar, ayo lakukanlah, di situlah tempat praktiknya. Ketika orang-orang merasa bahagia, itu hanya ada di kepala mereka dan mereka menjadi angkuh dan sombong. Kita harus menumbuhkan praktik kita.


Artinya adalah apakah kita bahagia atau tidak bahagia, kita harus sama saja tetap berlatih. Jika kita merasa baik, kita harus berlatih, dan jika kita merasa sakit, kita juga harus berlatih. Mereka yang berpikir, ''Tahun ini saya tidak bisa berlatih sama sekali, saya sakit sepanjang waktu''... jika orang-orang ini merasa baik, mereka hanya berjalan-jalan menyanyikan lagu-lagu. Ini adalah pemikiran yang salah, bukan pemikiran yang benar. Inilah sebabnya mengapa para kultivator masa lalu semuanya mempertahankan pelatihan hati yang mantap. Jika ada sesuatu yang salah, biarkan saja mereka bersama dengan tubuh, bukan bersama dalam pikiran.

Sekarang mari kita usahakan untuk berlatih, mengertilah bahwa apakah kita merasa itu sulit atau mudah untuk mengembangkan samādhi, semuanya sepenuhnya terserah kita, bukan pada samadhi itu sendiri. Jika (terasa) sulit, itu dikarenakan kita salah berlatih. Dalam praktik kita, kita harus memiliki 'pandangan benar' (sammā-ditthi). Jika pandangan kita benar, maka segalanya benar: 


-pandangan benar, -pikiran benar, -ucapan benar, -tindakan benar, -mata pencaharian benar, -upaya benar, -perhatian benar, -konsentrasi benar — jalan mulia berunsur delapan. 


Ketika ada pandangan benar, semua faktor akan mengikutinya. Apa pun yang terjadi, jangan biarkan pikiran kita menyimpang dari jalurnya. Lihatlah kedalam diri kita dan kita akan melihat dengan jelas. Untuk praktik terbaik, tidak perlu membaca banyak buku. Ambillah semua buku dan kuncilah. Baca saja pikiran kita sendiri. Kita semua telah menguburkan diri kita dalam buku-buku, semenjak kita masuk sekolah. Sekarang kita memiliki kesempatan ini dan mempunyai waktu, ambillah buku-buku itu, letakkan mereka di lemari dan kuncilah pintunya. Bacalah saja pikiran kita. 


Kapanpun sesuatu muncul didalam pikiran, apakah kita suka atau tidak, entah itu kelihatan benar atau salah, potong saja dengan: ''ini bukan hal yang pasti.'' Apa pun yang muncul, potong saja: ''tidak pasti, tidaklah pasti." Hanya dengan sebuah kapak ini, kita bisa memotong semuanya. Itu semua ''tidak pasti.'' Ketika durasi kita akan tinggal berlatih di biara cukup lama, kita harus membuat banyak kemajuan. Kita akan melihat kebenaran. Ini ''tidaklah pasti'' benar-benar merupakan hal yang penting. Dia mengembangkan kebijaksanaan. Semakin banyak kita memperhatikan, semakin banyak kita akan melihat ''ketidak pastian''. Setelah kita memotong sesuatu dengan ''tidak pasti'' dia mungkin akan berputar dan muncul lagi. Ya, ini benar-benar ''tidak pasti.'' Apapun yang muncul, tempelkan saja label yang satu ini pada semuanya: 'tidak pasti', dan tidak lama kemudian, ketika dia kembali lagi, dia muncul lagi "Ah, tidak pasti." "Galilah disini! Tidak pasti".  


Kita akan melihat orang tua yang sama yang telah membodohi kita, bulan demi bulan, tahun demi tahun, sejak kita dilahirkan. Hanya ada satu ini yang telah membodohi kita selama ini. Lihatlah ini dan sadari apa adanya. Ketika latihan kita mencapai titik ini, kita tidak akan melekat pada sensasi, karena semuanya tidak pasti. Pernahkah kita memperhatikannya? 


Mungkin kita melihat sebuah jam dan berpikir, ''Oh, ini bagus.'' Beli dan lihatlah... dalam beberapa hari kita sudah bosan dengannya. ''Pena ini benar-benar indah,'' sehingga kita bersusah payah untuk membelinya. Dalam beberapa bulan kita bosan lagi. Begitulah adanya. Dimanakah adanya kepastian? Jika kita melihat semua hal ini sebagai tidak pasti, maka, nilainya menghilang. Semua hal menjadi tidak berarti. Mengapa kita harus berpegang pada hal hal yang tidak memiliki nilai? Kita menyimpannya seperti kita mungkin hanya menyimpan sebuah kain lap tua untuk menyeka kaki. Kita melihat semua sensasi sama nilainya, karena mereka semua memiliki sifat yang sama. 


Ketika kita memahami sensasi, kita memahami dunia. Dunia adalah sensasi dan sensasi adalah dunia. Jika kita tidak tertipu oleh sensasi, kita tidak tertipu oleh dunia. Jika kita tidak tertipu oleh dunia, kita tidak tertipu oleh sensasi. Pikiran yang melihat ini akan memiliki landasan kebijaksanaan yang kuat. Pikiran seperti itu tidak akan memiliki banyak permasalahan. Setiap masalah yang ada dapat diselesaikan. Ketika tidak ada lagi masalah, tidak ada lagi keraguan. Kedamaian muncul menggantikan mereka. Ini disebut ''praktik.'' Jika kita benar-benar berlatih, dia pasti seperti ini.

Comments

Popular posts from this blog

HO’OPONOPONO

Antologi Memilih Bertahan

MANGALA SUTTA, Sutra Tentang Berkah Utama (3)