Buddha Dhamma Secara Bertahap
Buddha Dhamma Secara Bertahap (1)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Pernahkah anda memikirkan hal-hal seperti: “dari mana semua ini berasal?”, “bagaimana segala sesuatu berawal?”, dan “apakah sebenarnya tujuan hidup ini?”
Saya yakin hampir semua orang pernah memikirkan hal ini dan telah menetapkan hati pada jawaban yang dipilihnya. Ada banyak sekali versi jawaban atas pertanyaan di atas dari berbagai agama, kepercayaan, mitos dan budaya.
Lantas, dari sekian banyak jawaban
yang ada, manakah yang benar? Sebelum kita sampai pada pertanyaan terakhir, saya akan membahas hal-hal itu menurut sudut pandang Ajaran Buddha.
Secara ringkas, menurut Buddha, asal mula segala sesuatu adalah tanpa awal yang diketahui dan hal-hal itu tidak terpikirkan dan tidak layak untuk dipikirkan. “Dalam hal pandangan tentang asal mula segala sesuatu, Ajaran Buddha nampaknya memiliki kelemahan.”
Inilah yang terlintas di pikiran saya setelah mempelajari Ajaran Buddha lebih lanjut, tapi janganlah kita mengambil kesimpulan terlalu cepat.
Untuk mengerti akan sudut pandang Ajaran Buddha, kita harus mempelajari tujuan utama dalam Ajaran Buddha. Tujuan utama dalam Ajaran Buddha adalah mencapai Nibbāna. Nibbāna secara singkat adalah sinonim dari “lenyapnya dukkha” (dukkhanirodha). Setiap orang tentunya ingin bahagia, ingin terbebas dari penderitaan, terbebas dari dukkha, baik secara jasmani maupun secara batin. Jika kita ingin bahagia, kita harus berusaha memperolehnya dengan cara melenyapkan sumber dukkha.
Sementara itu, dalam pertanyaan pertanyaan seperti “dari mana semua ini berasal?” dan seterusnya adalah pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan kepastian, bahkan saya berani menjamin populasi manusia saat ini umumya hanya mendengar apa yang tertulis dalam kitab suci ataupun apa yang dikatakan oleh orang-orang di generasisebelumnya. Setelah mendengarnya, pasti berujung pada “meyakini” apa yang ia dengar. Setelah ia telah meyakini hal itu, menggenggam kuat, dan melekatinya, ia persis menggenggam penderitaan di sana tanpa ia sadari. Ketika ia bertemu dengan orang-orang lain yang memiliki pandangan berbeda, terjadilah perdebatan memperjuangkan apa yang dianggap sebagai kebenaran. Padahal sejatinya apa yang diperdebatkan itu belum dapat dibuktikan kebenarannya, itu hanyalah produk dari pengamatan tidak semestinya dan mendengar dari orang lain.
Dari hal ini berkembanglah pemikiran pemikiran ekstrim, pandangan pandangan yang meniadakan kehidupan suci (abrahmacārīyavāsā), perang mempertahankan pandangan, hingga pertumpahan darah terjadi
di sana-sini. Bayangkan berapa banyak dukkha, berapa banyak kerugian dan penderitaan yang muncul dari meyakini pandangan-pandangan spekulatif? Semua itu berawal dari pertanyaan pertanyaan yang tidak layak untuk dipikirkan.
Demikianlah yang telah Buddha katakan dalam MN 2, Sabbāsava Sutta:
“... Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang
biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan,
dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. ...”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (2)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Dalam SN 16.12 dijelaskan beberapa pandangan-pandangan spekulatif yang tidak dijelaskan oleh Buddha. Pada Sutta ini YA. Sāriputra bertanya kepada YA. Mahākassapa sehubungan apakah pandangan-pandangan spekulatif ini telah dinyatakan atau tidak oleh Sang Buddha dan YA. Mahākassapa menjawab hal-hal itu tidak dinyatakan oleh Buddha beserta alasannya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat potongan Suttanya:
... “Mengapakah Sang Bhagavā tidak menyatakan ini, sahabat?”
“Karena tidak bermanfaat, tidak ada hubungannya dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan tidak menuntun menuju kejijikan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Sang Bhagavā tidak menyatakan ini.”
“Dan apakah, sahabat, yang telah dinyatakan oleh Sang Bhagavā?”
“Sang Bhagavā, Sahabat, telah menyatakan:
- ini adalah penderitaan
- ini adalah asal-mula penderitaan
- ini adalah lenyapnya penderitaan
- ini adalah jalan menuju
lenyapnya penderitaan."
“Dan mengapakah, sahabat, Sang Bhagavā menyatakan ini?”
“Karena, sahabat, ini bermanfaat, berhubungan dengan dasar-dasar kehidupan suci, dan menuntun menuju kejijikan, menuju kebosanan, menuju lenyapnya, menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna. Oleh karena itu Sang Bhagavā menyatakan ini.”
Lalu apa yang sebaiknya dilakukan terhadap pandangan-pandangan spekulatif? Apa yang seharusnya diperhatikan? Apa yang sebaiknya dipikirkan oleh kita?
Yang harus kita lakukan adalah janganlah menghakimi pandangan-pandangan itu sebagai benar atau keliru, tinggalkan semua perhatian pada pandangan pandangan spekulatif itu. Dengan membiarkan semua pandangan pandangan spekulatif itu, arahkanlah perhatian kita, arahkan fokus pikiran kita terhadap Empat Kebenaran Mulia. Inilah yang seharusnya diperhatikan oleh kita semua:
“Ini dukkha, ini sumber dukkha, ini lenyapnya dukkha, ini jalan
menuju lenyapnya dukkha.”
Hanya pada hal-hal inilah kita harus mengarahkan perhatian dan pikiran kita, jadikan hal itu sebagai obsesi. Hal ini lebih baik daripada memperhatikan hal-hal yang mengarah kepada penderitaan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (3)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
DANA
Dāna adalah sebuah kata dalam bahasa Pali atau Sansekerta yang artinya adalah pemberian. Semua orang pasti pernah memberi kepada makhluk lain, baik berupa makanan, pengetahuan, atau bantuan. Ber-dāna adalah satu cara perbuatan bajik yang mudah dilakukan. Kita dapat memberi kepada siapapun seperti keluarga, teman, rekan, orang lain, bahkan makhluk lain seperti hewan. Bahkan ketika kita ingin membuang sisa cucian piring dengan pikiran agar ada makhluk hidup yang dapat bertahan hidup dengan ini, kita juga dikatakan telah ber-dāna.
Banyak motif seseorang ber-dāna, terlepas dari apakah perbuatannya berbuah atau tidak, satu hal yang pasti adalah dengan cara ber-dāna seseorang akan mendapatkan manfaatnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan adanya alasan itulah maka orang bijaksana setelah mengetahui manfaat dari ber-dāna, ia harus melakukannya. Berdasarkan yang Ia ketahui, Sang Buddha menegaskan manfaat dari memberi. Seperti yang tertulis dalam Itivuttaka 26:
“O para Bhikkhu, jika orang-orang mengetahui, seperti Aku mengetahui, akibat dari memberi dan berbagi, maka mereka tidak akan makan sebelum memberi, juga mereka tidak akan membiarkan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam batin mereka. Bahkan jika itu adalah makanan terakhir, suapan terakhir mereka, mereka tidak akan memakannya sebelum membaginya, jika ada orang lain untuk berbagi. Tetapi para Bhikkhu, karena orang-orang tidak mengetahui, seperti Aku mengetahui, akibat dari memberi
dan berbagi, maka mereka makan tanpa memberi, dan noda kekikiran menguasai mereka dan berakar dalam batin mereka.”
Berbicara mengenai dāna, rasanya tidak lengkap jika tidak membicarakan tentang kualitas-kualitas dāna. Kualitas-kualitas
dāna ini berpengaruh terhadap jasa kebajikan yang telah dihasilkan dari ber-dāna. Meskipun kita tidak dapat mengetahui secara pasti, seperti yang Buddha ketahui sehubungan dengan berapa banyak jasa kebajikan yang dihasilkan dari suatu perbuatan, kita dapat mengetahui jika kita melakukan dāna yang berkualitas tentunya akan lebih baik daripada ber-dāna dengan kualitas yang rendah.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (4)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Ditinjau berdasarkan jenisnya, dāna yang terbaik adalah dāna Dhamma. Dengan ber-dāna Dhamma seseorang telah men-dāna-kan padanya “jalan” untuk ia melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Jasa kebajikan dari ber-dāna Dhamma adalah sangat besar jika Dhamma itu mampu mengubah ia yang tanpa keyakinan, menjadi berkeyakinan dan berlindung kepada Tiratana. Bahkan Sang Buddha bersabda, sungguh sulit membalas jasa kebajikan dari Dhamma dāna ini, besarnya kebajikan dāna ini bahkan dapat membalas jasa kedua orangtua yang sulit dibalas.
Bila ditinjau dari segi waktu, ber-dāna sebaiknya dilakukan pada waktu yang tepat. Dalam AN 5.36, dikatakan ada lima saat yang tepat yaitu:
(1) Seseorang memberikan
pemberian kepada seorang
tamu.
(2) Seseorang memberikan
pemberian kepada seseorang
yang melakukan perjalanan.
(3) Seseorang memberikan
pemberian kepada pasien.
(4) Seseorang memberikan
pemberian pada masa
bencana kelaparan.
(5) Seseorang mempersembahkan
panen dan buah pertama
kepada para mulia.
Dari segi motifnya ber-dāna juga menentukan kualitas dāna yang diberikan. Jika ia ber-dāna dengan pengharapan, tentu hasilnya akan berbeda dengan ia yang ber-dāna tanpa pengharapan, dengan pikiran bahwa itu adalah suatu hiasan pikiran.
Yang terakhir adalah dari segi kualitas pemberi dan penerimanya itu sendiri. Bila ingin kualitas dāna yang dihasilkan maksimal, pemberi derma hendaknya bermoral, lalu ia harus bergembira sebelum ber-dāna, pikirannya harus tentram dan penuh keyakinan ketika ber-dāna, dan ia harus bersukacita setelah ber-dāna.
Sementara dari sisi penerima, hendaknya penerima dāna bermoral dan telah/sedang berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian dan delusi.
Itulah secara ringkas beberapa hal yang mempengaruhi kualitas dāna. Jika seseorang ingin dāna yang diberikan berkualitas, hendaknya ia memperhatikan hal-hal tersebut. Nampak jelas, persembahan terbaik adalah diberikan kepada orang-orang yang telah/sedang berlatih untuk melenyapkan keserakahan, kebencian, dan delusi. Dalam hal ini orang-orang yang menjalankan kehidupan suci seperti Bhikkhu dan Bhikkhuni. Akan tetapi, ketika ber-dāna kepada Bhikkhu, sangat sulit bagi perumah tangga untuk
membedakan apakah benar Bhikkhu itu adalah seorang yang serius dalam berlatih atau bukan.
Oleh sebab itulah Buddha menyarankan kepada seseorang untuk mempersembahkan dāna
kepada Saṅgha, seperti yang Buddha sabdakan dalam AN 6.59:
“Marilah, perumah tangga, berikanlah pemberian kepada Saṅgha. Ketika engkau memberikan pemberian kepada Saṅgha, maka pikiranmu akan menjadi yakin. Ketika pikiranmu yakin, maka dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, engkau akan terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam surga.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (5)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
SILA
Kata “Sīla” berasal dari bahasa Pali yang dapat diartikan sebagai “Moralitas”. Moralitas ini tentunya memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Fungsi dasar moralitas sendiri adalah menjaga kehidupan manusia menjadi damai, bermoral, dan beradab. Jika kita mencari tahu dalam kanon-kanon Buddhis, maka kita akan mendapati bahwa moralitas itu berasal dari rasa “Malu dan Takut” terhadap perbuatan buruk, atau yang sering disebut “Hiri dan Ottappa”. Rasa malu dan takut inilah yang menjadi pelindung dunia.
Tanpa kedua hal ini, dunia akan menjadi seperti tempat yang tidak beradab, seperti yang tertulis dalam AN 2.9:
“Para bhikkhu, dua kualitas terang ini melindungi dunia. Apakah dua ini? Rasa malu dan rasa takut. Jika kedua kualitas terang ini tidak melindungi dunia, maka tidak akan terlihat di sini pengendalian apapun sehubungan dengan ibu dan bibi seseorang, atau para istri dari para gurunya dan orang-orang lainnya yang dihormati.
Dunia akan menjadi tempat perilaku seksual yang tidak pandang bulu, seperti kambing dan domba, ayam dan babi, anjing dan serigala.
Tetapi karena kedua kualitas terang ini melindungi dunia, maka di sini terlihat pengendalian sehubungan dengan ibu dan bibi seseorang, atau para istri dari para gurunya, dan orang-orang lainnya yang dihormati.”
Saat manusia telah menyadari betapa pentingnya rasa malu
dan takut, maka mereka akan memahami bahwa perbuatan buruk, baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah hal yang buruk, yang membawa penderitaan bagi kedua pihak baik pelaku dan korban.
Setelah mengetahui bahwa perbuatan buruk memberikan akibat yang buruk, maka mereka yang mengetahui dengan benar menganggap bahwa seseorang yang melakukan perbuatan buruk, baik melalui jasmani, ucapan, dan pikiran adalah orang bodoh/dungu.
Mereka yang menyadari hal ini akan menyatakan bahwa orang bodoh membawa bencana, orang bodoh membawa bahaya, orang bodoh membawa kemalangan baik bagi
dirinya sendiri maupun orang lain, seperti yang dikatakan Sang Buddha dalam AN 3.1:
“Para bhikkhu, bahaya apapun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Bencana apapun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. Kemalangan apapun yang muncul semuanya muncul dari si dungu, bukan dari orang bijaksana. ... (1) Demikianlah, para bhikkhu, si dungu membawa bahaya, orang bijaksana tidak membawa bahaya; (2) si dungu membawa bencana, orang bijaksana tidak membawa bencana; (3) si dungu membawa kemalangan, orang bijaksana tidak membawa kemalangan. Tidak ada bahaya dari orang bijaksana; tidak ada bencana dari orang bijaksana; tidak ada kemalangan dari orang bijaksana.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (6)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Perbuatan buruk juga membawa hal-hal buruk seperti rasa penyesalan, celaan dari orang-orang, reputasi buruk, kegelisahan menjelang kematian, dan alam tujuan yang buruk.
Oleh sebab itulah, kita semua hendaknya meninggalkan perbuatan buruk dan melatih sīla kita. Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana caranya menilai suatu perbuatan itu baik atau buruk.
Sang Buddha dalam MN 60 mengajarkan kepada anaknya sendiri cara untuk merefleksikan suatu perbuatan. Ketika ingin melakukan perbuatan ia harus merefleksikan, apakah perbuatan ini mengarah kepada penderitaan diri sendiri dan makhluk lain? Jika tindakan itu mengarah kepada penderitaan bagi diri sendiri dan makhluk lain, maka hendaknya ia tidak melakukannya.
Ketika ia sedang melakukan suatu perbuatan ia harus melakukan refleksi yang sama, apabila tindakannya terasa merugikan, hendaknya ia menahan diri. Juga setelah melakukan perbuatan ia harus mengevaluasi perbuatannya, apakah perbuatannya mengarah pada penderitaan bagi diri sendiri dan makhluk lain? Jika ternyata perbuatannya malah menuju pada penderitaan bagi diri sendiri dan makhluk lain, itu adalah suatu perbuatan buruk dan ia harus berupaya untuk memperbaikinya. Inilah cara untuk menilai suatu perbuatan baik atau buruk.
Umat awam Buddhis pada umumnya melatih lima sīla, yaitu menghindari pembunuhan makhluk hidup, pengambilan barang yang tidak diberikan, perbuatan asusila, ucapan bohong, dan meminum minuman yang melemahkan kesadaran. Selain berfungsi untuk menjaga moralitas, sīla juga berfungsi sebagai alat bantu untuk melatih diri dengan cara memiliki pengendalian diri. Umat Buddhis pada saat hari Uposatha (imlek tgl 1, 8, 15, 23 dan 30) pun berlatih pengendalian diri dengan menjalankan delapan sīla.
Terdapat sedikit penambahan sīla dari hari biasa dan terdapat perbedaan makna pada sīla ke-tiga. Sīla yang ditambahkan ketika Uposatha adalah menghindari makan setelah tengah hari, menghindari bernyanyi, menari, bermain musik, melihat pertunjukan, memakai perhiasan dan kosmetik dengan tujuan untuk memperindah diri, dan menghindari duduk dan tidur di tempat yang tinggi atau besar (mewah).
Sementara mengenai sīla ke-tiga, ketika Uposatha bunyinya menjadi “menghindari perbuatan tidak suci”. Perbuatan tidak suci di sini artinya adalah hidup selibat, prakteknya memang menghindari perbuatan asusila yang juga menghindari sentuhan-sentuhan yang merangsang, bermain-main dengan lawan jenis, menghindari menatap mata secara langsung, menguping lawan jenis,
mengingat-ingat ketika sedang bermain dengan lawan jenis, melihat orang lain menikmati kenikmatan indra, dan menjalankan sīla demi terlahir di alam dewa tertentu.
Bagi para Bhikkhu sendiri, sīla
digunakan sebagai alat bantu untuk
mengendalikan diri dan memurnikan pikiran mereka. Saat ini para Bhikkhu menjalankan 227 sīla sedangkan para Bhikkhuni menjalankan 311 sīla dan dapat ditambah 9 Dhutanga sīla.
Meskipun sīla dapat menjadi alat bantu bagi melatih diri dan memurnikan pikiran, namun terkadang sīla malah menimbulkan dampak yang buruk bagi kemajuan spritual. Beberapa yang memiliki sīla yang lebih banyak menganggap diri mereka lebih baik, kemudian hal-hal yang tidak baik tumbuh. Latihan sīla seperti ini adalah tidak bermanfaat. Ketika kualitas-kualitas buruk berkembang, sedangkan kualitas-kualitas baik berkurang, seseorang hendaknya meninjau kembali latihan sīla-nya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (7)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
ALAM SURGAWI
Setiap orang ingin bahagia, itulah sebabnya banyak orang berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Setelah kematian tiba, kebanyakan dari kita menginginkan agar terlahir di alam surga. Dalam ajaran agama-agama termasuk Buddhisme, terdapat penggambaran tentang surga. Surga pada umumnya digambarkan sebagai tempat yang indah dengan banyak kenikmatan indra di mana orang-orang yang semasa hidupnya banyak melakukan perbuatan bajik terlahir kembali di sana.
Dalam Buddhisme sendiri, terdapat banyak sekali alam kelahiran. Secara ringkas alam kelahiran, terbagi menjadi dua yaitu alam bahagia dan alam menderita. Alam bahagia adalah alam di mana para makhluk yang terlahir di sana pada umumnya merasakan lebih banyak kebahagiaan daripada penderitaan, sedangkan alam menderita adalah alam di mana para makhluk yang terlahir di sana pada umumnya merasakan lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Yang termasuk alam bahagia adalah alam manusia, Dewa, Asura dan makhluk semi Dewa lain seperti Yakkha, Nāga, Gandhabba, serta Brahma, baik yang memiliki bentuk
maupun tidak memiliki bentuk. Sedangkan yang termasuk alam menderita adalah alam neraka, binatang dan hantu.
Saya akan sedikit menggambarkan keindahan alam surgawi di dalam Buddhisme. Secara ringkas di alam surgawi memiliki banyak harta baik emas dan permata. Alam surgawi memiliki keindahan dan kenikmatan yang ditawarkan seperti di Surga Tavatimsa. Terdapat sebuah pohon milik para deva Tavatimsa bernama Pāricchattaka. Pohon ini menghasilkan bunga yang sangat indah, di mana dikatakan ketika bunga itu telah mekar sempurna, para dewa akan menikmati lima utas kenikmatan indria selama 4 bulan surgawi lamanya.
Di alam surgawi juga terdapat bidadari yang berparas sangat cantik. Dalam Udana 3.2, Buddha membawa Bhikkhu Nanda ke surga Tavatimsa dan pada saat itu terdapat lima ratus bidadari berkaki merpati sedang melayani dewa Sakka, raja para dewa. Bhikkhu Nanda menyatakan keindahan bidadari surgawi ini jauh melampaui gadis yang paling cantik di seluruh negeri. Ia menyatakan gadis Sakya yang paling cantik bagaikan seekor monyet cacat jika dibandingkan dengan bidadari surgawi.
Selanjutnya kebahagiaan duniawi digambarkan tidak sebanding
dengan seper-enam-belas kebahagiaan surgawi. Usia makhluk makhluk surgawi juga terbilang sangat panjang. Alam dewa yang paling rendah yakni Catumahārājika memiliki usia hidup hingga lima ratus tahun surgawi. Satu hari di sana setara dengan lima puluh tahun manusia.
Rasanya sudah cukup penggambaran alam surgawi dalam ajaran Buddha. Dengan semua keuntungan yang ditawarkan dalam alam surgawi tentu banyak yang ingin terlahir di dalamnya. Buddha bersabda bahwa alam surgawi, dengan segala kekayaan dan kebahagiaannya tidak dapat diperoleh dengan doa-doa atau aspirasi. Doa-doa dan aspirasi tidak dapat membawa seseorang untuk terlahir ke alam surga. Yang dapat membawa seseorang untuk terlahir kembali di alam surga adalah tindakan dan kualitas orang itu sendiri. Seseorang harus mempraktekkan jalan untuk terlahir di alam surgawi.
Apa sajakah itu? Dalam AN 6.25
terdapat lima kualitas yang dimiliki para makhluk sehingga setelah mereka meninggal dunia mereka terlahir di alam dewa. Kelima kualitas itu adalah keyakinan, perilaku moralitas, kedermawanan, pembelajaran, dan kebijaksanaan. Keyakinan pada umumnya digambarkan sebagai memiliki keyakinan terhadap Sang Buddha, Dhamma Sejati dan Ariya Sangha. Lantas apakah yang tidak memiliki keyakinan terhadap Tiratana tidak akan masuk surga? Jawabannya adalah tidak. Keyakinan dalam hal ini adalah keyakinan terhadap efektivitas perbuatan bermoral dan tindakan. Jika seseorang memiliki pandangan bahwa setiap tindakan tidak memiliki hasil, maka tidak akan ada alasan baginya untuk berbuat baik, dan ia tidak perlu repot-repot berupaya untuk memperoleh kebahagiaan surgawi.
Karena itulah alam surgawi tidak akan dapat dicapai oleh ia yang tidak meyakini doktrin efektivitas perbuatan bermoral dalam tindakan. Perilaku bermoral dalam hal ini tentu orang yang menjaga moralitasnya, menjaga silanya. Kedermawanan adalah sifat yang dermawan, murah hatinya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (8)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Pembelajaran dalam hal ini adalah pengetahuan tentang Dhamma,
dan kebijaksanaan di sini diperoleh dengan pembelajaran dan praktek Dhamma itu sendiri. Inilah kelima jalan yang harus dipraktekkan untuk memperoleh kelahiran di alam surgawi. Bagi seseorang yang mempraktekkannya, maka kelahiran di alam surgawi dapat tercapai.
Tapi beberapa dari kita mungkin berpikir demikian:
“Kehidupan setelah kematian itu belum dapat dibuktikan keberadaannya, mungkin saja surga itu tidak ada. Jika kehidupan setelah kematian tidak ada, maka sia-sia upayaku dalam melatih kualitas-kualitas bermanfaat ini.”
Saya yakin anda akan merasa kahwatir, tapi janganlah demikian.
Dalam Kālama Sutta (AN 3.65) Buddha bersabda bagi seseorang yang melatih kualitas baik akan memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini. Berikut kutipannya:
“Siswa mulia ini, para penduduk Kālāma, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor dan murni, telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini.
“Jaminan pertama yang ia menangkan adalah sebagai berikut:
‘Jika ada dunia lain, dan jika ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, maka adalah mungkin bahwa dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, aku akan muncul di alam tujuan yang baik, di alam surga.’
“Jaminan ke dua yang ia menangkan adalah sebagai berikut:
‘Jika tidak ada dunia lain, dan jika tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk, tetap saja di sini, dalam kehidupan ini, aku hidup dalam kebahagiaan, tanpa permusuhan, tanpa niat buruk, bebas dari kesulitan.’
“Jaminan ke tiga yang ia menangkan adalah sebagai berikut:
‘Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan. Maka, karena aku tidak bermaksud jahat terhadap siapa pun, bagaimana mungkin penderitaan menimpaku, karena aku tidak melakukan perbuatan jahat?’
“Jaminan ke empat yang ia menangkan adalah sebagai berikut: ‘Seandainya kejahatan tidak menimpa si pelaku kejahatan. Maka di sini aku akan melihat diriku dimurnikan dalam kedua hal.’
“Siswa mulia ini, yang pikirannya tanpa permusuhan seperti ini, tanpa niat buruk, tidak kotor dan murni, telah memenangkan empat jaminan ini dalam kehidupan ini.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (9)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
BAHAYA DAN KEBURUKAN DARI KENIKMATAN INDRA.
Kita akan mempelajari sehubungan dengan kenikmatan indra dan bahayanya. Mari kita mulai dari definisi kenikmatan indra. Definisi kenikmatan indra adalah objek-objek indra yang dikenali oleh indra dan menyenangkan bagi indra itu sendiri, misalnya mata. Dalam Sutta, terdapat pola penjelasan sehubungan dengan kenikmatan indra seperti di Sutta SN 35.98:
“Ada, para Bhikkhu, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indra, menggoda.”
Inilah definisi kenikmatan indra. Terdapat enam jenis kenikmatan indra. Enam itu adalah bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, suara-suara yang dikenali oleh telinga, bau-bauan yang dikenali oleh hidung, rasa kecapan yang dikenali oleh lidah, sentuhan-sentuhan yang dikenali oleh tubuh dan pikiran beserta objek objek pikiran. Semua jenis objek yang diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indra dan menggoda.
Enam jenis kenikmatan indra memiliki sifat yang sangat menyenangkan ketika seseorang memperolehnya. Beberapa kenikmatan indra bahkan memiliki sifat candu, sebut saja salah satunya seks. Di mana ketika seseorang memperolehnya orang itu tidak akan pernah puas ataupun merasa cukup. Ini adalah salah satu bahaya kenikmatan indra, yaitu adalah ketidakcukupan, anda akan terus merasa kurang.
Ketika seseorang terlalu sering menikmati seks, seseorang akan menganggap tubuh lawan jenisnya indah menawan. Padahal hakikatnya, tubuh itu tidak indah. Pada tubuh terdapat sembilan jalur pada tubuh yang mengeluarkan kotoran setiap saat. Pada saat ini, kehidupan manusia adalah sangat singkat, bahkan Guru Agung kita telah memperhitungkan berapa banyak musim yang akan dilewati, berapa bulan yang akan dilalui, hingga berapa kali manusia makan.
Di dalam kehidupan yang singkat ini, sangat terlihat dengan jelas
karakteristik keterkondisian yaitu, kemunculan, perubahan, dan kelenyapan. Ketidak-kekalan dan perubahan, ini adalah bahaya dari kenikmatan indra. Lalu, selama kehidupan yang begitu singkat ini, delapan kondisi terus menerus berputar silih berganti, seperti yang Buddha sabdakan dalam AN 8.5:
“Para bhikkhu, delapan kondisi duniawi ini berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling delapan kondisi duniawi ini. Apakah delapan ini? Untung dan rugi, kehinaan dan kemasyhuran, celaan dan pujian, kenikmatan dan kesakitan. Kedelapan kondisi duniawi ini berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (9)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
BAHAYA DAN KEBURUKAN DARI KENIKMATAN INDRA.
Kita akan mempelajari sehubungan dengan kenikmatan indra dan bahayanya. Mari kita mulai dari definisi kenikmatan indra. Definisi kenikmatan indra adalah objek-objek indra yang dikenali oleh indra dan menyenangkan bagi indra itu sendiri, misalnya mata. Dalam Sutta, terdapat pola penjelasan sehubungan dengan kenikmatan indra seperti di Sutta SN 35.98:
“Ada, para Bhikkhu, bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indra, menggoda.”
Inilah definisi kenikmatan indra. Terdapat enam jenis kenikmatan indra. Enam itu adalah bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, suara-suara yang dikenali oleh telinga, bau-bauan yang dikenali oleh hidung, rasa kecapan yang dikenali oleh lidah, sentuhan-sentuhan yang dikenali oleh tubuh dan pikiran beserta objek objek pikiran. Semua jenis objek yang diinginkan, disukai, menyenangkan, terhubung dengan kenikmatan indra dan menggoda.
Enam jenis kenikmatan indra memiliki sifat yang sangat menyenangkan ketika seseorang memperolehnya. Beberapa kenikmatan indra bahkan memiliki sifat candu, sebut saja salah satunya seks. Di mana ketika seseorang memperolehnya orang itu tidak akan pernah puas ataupun merasa cukup. Ini adalah salah satu bahaya kenikmatan indra, yaitu adalah ketidakcukupan, anda akan terus merasa kurang.
Ketika seseorang terlalu sering menikmati seks, seseorang akan menganggap tubuh lawan jenisnya indah menawan. Padahal hakikatnya, tubuh itu tidak indah. Pada tubuh terdapat sembilan jalur pada tubuh yang mengeluarkan kotoran setiap saat. Pada saat ini, kehidupan manusia adalah sangat singkat, bahkan Guru Agung kita telah memperhitungkan berapa banyak musim yang akan dilewati, berapa bulan yang akan dilalui, hingga berapa kali manusia makan.
Di dalam kehidupan yang singkat ini, sangat terlihat dengan jelas
karakteristik keterkondisian yaitu, kemunculan, perubahan, dan kelenyapan. Ketidak-kekalan dan perubahan, ini adalah bahaya dari kenikmatan indra. Lalu, selama kehidupan yang begitu singkat ini, delapan kondisi terus menerus berputar silih berganti, seperti yang Buddha sabdakan dalam AN 8.5:
“Para bhikkhu, delapan kondisi duniawi ini berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling delapan kondisi duniawi ini. Apakah delapan ini? Untung dan rugi, kehinaan dan kemasyhuran, celaan dan pujian, kenikmatan dan kesakitan. Kedelapan kondisi duniawi ini berputar di sekeliling dunia, dan dunia berputar di sekeliling kedelapan kondisi duniawi ini.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (10)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Ada kalanya kita bahagia karena keuntungan, kemasyhuran, pujian dan memperoleh kenikmatan indra. Tapi akan ada saatnya juga kita mengalami kerugian, kehinaan, celaan, dan kesakitan indra. Perubahan nasib ini juga adalah bahaya yang terlihat dari kenikmatan indra. Selanjutnya, Buddha juga mempertegas status dari nafsu indra sebagai bahaya, penderitaan, penyakit, dst. Nafsu indrawi selain memberikan bahaya yang terlihat pada kehidupan saat ini, juga memberikan bahaya di kehidupan mendatang. Hal tersebut dikarenakan nafsu yang menjadi landasan kelahiran
kembali, bahkan mengarahkan pada kelahiran kembali di alam rendah.
Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk memiliki hal-hal yang bermanfaat yang mengarahkan pada keluhuran. Hal-hal itu adalah keyakinan, rasa malu, rasa takut, kegigihan, dan kebijaksanaan dalam melatih kualitas-kualitas bermanfaat. Ketika seseorang tidak memilikinya, dikatakan “miskin”, “melarat”, “papa” dalam disiplin mulia ini. Karena “miskin”, maka hal lainnya menunggu hingga “penjara” di alam menderita.
Muncul pertanyaan apakah mungkin kita terbebas dari kenikmatan indra? Jawabannya adalah ya. Selanjutnya mari kita membahas mengenai kepuasan, bahaya, dan jalan membebaskan diri dari kepuasan di dunia. Apakah kepuasan? Apakah bahaya? Apakah jalan membebaskan diri dari kepuasan di dunia? Buddha bersabda dalam AN 3.103:
“Kenikmatan dan kegembiraan yang muncul dengan bergantung pada dunia: ini adalah kepuasan di dunia. Bahwa dunia adalah tidak kekal, penderitaan, dan tunduk pada perubahan: ini adalah bahaya di dalam dunia. Dilenyapkannya
dan ditinggalkannya keinginan dan nafsu pada dunia: ini adalah jalan membebaskan diri dari dunia.”
Di dalam Sutta ini juga, Buddha menjelaskan bahwa ia mengetahui sebagaimana adanya kepuasan di dunia sebagai kepuasan, bahaya sebagai bahaya, dan jalan membebaskan diri sebagai jalan membebaskan diri. Itu artinya, kita semua dapat terbebas dari kenikmatan indra beserta dengan bahayanya. Lebih jauh Buddha mengatakan dalam AN 3.105, jika tidak ada kepuasan dalam dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan terpikat padanya. Jika tidak ada bahaya di dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan kecewa padanya. Jika tidak ada jalan membebaskan diri dari dunia ini, maka makhluk-makhluk tidak akan dapat terbebas darinya, tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena yang terjadi sebaliknya, para makhluk belum terbebaskan dari dunia ini, dan poin terakhir juga menegaskan bahwa kita dapat terbebas dari kenikmatan dunia.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (11)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
MANFAAT PELEPASAN KEDUNIAWIAN
Definisi pelepasan keduniawian adalah jalan yang dipilih oleh orang-orang yang telah menyadari bahaya dari nafsu indra dan ingin leluasa untuk mempraktekkan kehidupan suci dengan lengkap sebagai solusi untuk terbebas dari bahaya kenikmatan indra, mencari keamanan tertinggi dari penderitaan. Definisi ini berlandaskan pada sebuah bait yang sering terdapat di dalam beberapa Sutta, seperti dalam DN 2:
“Kehidupan rumah tangga adalah tertutup dan kotor, kehidupan tanpa rumah adalah bebas bagaikan udara. Tidaklah mudah, sambil menjalani kehidupan rumah tangga, untuk menjalani kehidupan suci yang sempurna, murni dan mengkilap bagaikan kulit kerang. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku, mengenakan jubah dan pergi dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah!”
Ketika seseorang telah melepaskan keduniawian dan menjalani kehidupan suci, maka ia memiliki banyak waktu untuk berlatih menjinakkan dirinya sendiri. Pelepasan keduniawian itu
bukanlah hal yang dilakukan oleh orang malas. Sama seperti pembuat anak panah yang membentuk anak panah atau tukang kayu membentuk kayu, seseorang yang meninggalkan keduniawian berusaha untuk membentuk diri mereka, menjinakkan diri mereka.
Bagaimana caranya menjinakkan diri? Caranya adalah dengan melatih pikiran. Ketika pikiran terlatih, ia akan memberikan manfaat yang besar. Salah satu manfaat melatih pikiran yang jelas terlihat terdapat pada AN 3.53, yaitu ketika seseorang berupaya melenyapkan
nafsu, kebencian, dan delusi, ia bertindak demi kesejahteraan sendiri dan juga orang lain. Hal inilah yang disebut Dhamma terlihat secara langsung.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (12)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Ketika anda berlatih untuk melenyapkan nafsu, kebencian dan delusi, anda adalah seorang yang baik. Dalam AN 8.38
dijelaskan ketika orang baik terlahir, itu adalah demi kebaikan dan kesejahteraan banyak pihak. Walaupun definisi orang baik (Sappurisa) tidak selalu identik dengan orang-orang yang telah meninggalkan keduniawian, tetapi dapat dikatakan bahwa orang baik adalah orang-orang “yang berusaha/telah melenyapkan nafsu, kebencian, dan delusi”. Ketika seseorang berlatih lebih lanjut, maka ia harus melepaskan belenggu keduniawian dan menjadi seseorang yang telah melepaskan keduniawian. Secara tidak langsung, hal ini juga salah satu manfaat pelepasan
keduniawian.
Tidaklah lengkap membahas manfaat pelepasan keduniawian tanpa membahas Samannaphala Sutta. Sutta ke-dua dalam Dīgha Nikaya ini mengungkapkan cukup banyak manfaat pelepasan keduniawian. Manfaat yang paling mudah terlihat adalah ketika anda meninggalkan keduniawian kemudian anda bersungguh-sungguh dalam berlatih mengendalikan jasmani, ucapan dan pikiran. Puas dengan sedikit makanan dan minuman, juga bahagia dalam kesendirian, tidak peduli anda berasal dari kaum rendah ataupun bangsawan, anda akan dihormati. Inilah satu manfaat dari meninggalkan keduniawian.
Seorang yang meninggalkan keduniawian dan bersungguh-sungguh dalam melatih moralitas hingga ia sempurna dalam moralitas, ia tidak melihat bahaya dari sisi manapun karena ia terkendali dalam moralitas. Ini juga adalah satu manfaat dari meninggalkan keduniawian. Setelah melatih moralitasnya, ia melatih perhatian dan penuh kesadaran dalam tindakannya. Dengan latihan ini, akan membantunya dalam menghalau kualitas-kualitas buruk yang akan
menyerangnya jika ia tidak terkendali. Ini juga adalah satu manfaat dalam meninggalkan keduniawian.
Orang-orang yang meninggalkan keduniawian akan mudah puas terhadap apa yang sedikit, bagai burung yang bebas terbang tanpa beban. Ini juga adalah manfaat meninggalkan keduniawian. Ketika mereka telah melatih perhatian dan kesadaran penuh dalam tindakannya, mereka akan mencari tempat yang sepi dan bermeditasi dengan menegakkan perhatian mereka.
Secara perlahan kelima rintangan akan ia lenyapkan. Ketika kelima rintangan telah ia lenyapkan, seolah-olah ia terbebas dari hutang, dari penyakit, dari belenggu, bahaya dan perbudakan. Padanya akan muncul kebahagiaan, dari kebahagiaan muncul kegembiraan, karena gembira jasmaninya menjadi tenang, dengan jasmaninya yang tenang ia merasakan kenikmatan, dan dengan merasakan kenikmatan itulah pikirannya terkonsentrasi. Setelah pikirannya terkonsentrasi, dengan terasing dari kenikmatan indra dan kondisi-kondisi buruk, ia masuk dan berdiam dalam Jhana pertama yang memiliki pengarahan dan mempertahankan perhatian dipenuhi dengan kegiuran dan kebahagiaan yang muncul dari pelepasan. Kegiuran dan kebahagiaan itu meliputi seluruh tubuhnya tanpa ada satupun
yang tidak tersentuh. Ini adalah manfaat lainnya dalam meninggalkan keduniawian.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (13)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Selanjutnya dengan meninggalkan pengarahan dan mempertahankan pikiran, ia masuk dan berdiam
dalam Jhana ke-dua. Di sini pikirannya telah terkonsentrasi dan ia merasakan kegiuran dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi pikiran meliputi seluruh tubuhnya. Ini adalah manfaat yang lebih luhur dari Jhana pertama. Dengan hilangnya kegiuran, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, ia masuk dan berdiam dalam Jhana ke-tiga, di sini ia mengalami dalam dirinya kebahagiaan yang oleh Para Mulia dikatakan: “bahagia, ia yang berdiam dalam keseimbangan & perhatian“
Dengan kebahagiaan yang hampa dari kegiuran, ia meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh. Ini adalah manfaat yang lebih luhur dari Jhana ke-dua. Setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, ia masuk dan berdiam dalam Jhana ke-empat yang melampaui kenikmatan dan kesakitan,
dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian. Ia duduk meliputi seluruh tubuhnya dengan kemurnian pikiran dan kejernihan. Di sini ia mencapai tingkatan Jhana tertinggi. Pada keadaan ini, ia dapat mengarahkan pikirannya pada berbagai hal.
Dengan pikirannya yang murni, ia dapat mengarahkan pikirannya ke arah mengetahui dan melihat pada jasmani dan kesadaran yang melekat pada jasmani. Ini adalah manfaat yang lebih luhur dari Jhana ke-tiga. Dengan pikirannya yang murni, ia dapat menciptakan tubuh ciptaan pikiran, ia juga dapat memiliki berbagai macam kekuatan seperti dari satu, ia menjadi banyak—dari banyak, ia menjadi satu; ia muncul dan lenyap; ia menembus tembok, dinding dan gunung-gunung tanpa rintangan seolah-olah di ruang terbuka; ia masuk ke dalam tanah dan keluar dari tanah seolah-olah di air; ia berjalan di atas air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; duduk bersila ia terbang di angkasa bagaikan burung dengan sayapnya, dan sebagainya. Ia juga dapat memiliki pendengaran layaknya seorang dewa, dapat membaca pikiran makhluk lain, ia dapat mengingat kehidupan di masa lalu, dan ia dapat memiliki mata dewa yang mampu melihat
kematian dan kelahiran makhluk makhluk. Ini adalah manfaat dari meninggalkan keduniawian.
Manfaat yang terbesar adalah dengan pikirannya yang murni, ia mengarahkan pikirannya pada pengetahuan hancurnya kekotoran. Ia memahami empat kebenaran mulia, dan dengan pengetahuan itu ia terbebaskan, mencapai Nibbana, akhir segala penderitaan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (14)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawa
DUKKHA
Kebanyakan orang mengenal dukkha sebagai “penderitaan”. Secara garis besar dukkha adalah suatu kondisi yang tidak memuaskan, suatu kondisi yang menyakitkan baik secara fisik maupun batin. Di dalam beberapa Sutta, Buddha menggambarkan lahir, tua, sakit, mati, kesedihan, ratapan, dan seterusnya hingga kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada penderitaan adalah dukkha, misalnya yang tertulis dalam AN 6.63: Kelahiran adalah penderitaan; penuaan adalah penderitaan; penyakit adalah penderitaan; kematian adalah penderitaan; dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan dan siksaan batin adalah penderitaan; Tidak mendapatkan apa yang diinginkan adalah penderitaan; singkatnya, kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan adalah penderitaan.
Mengapa kelahiran adalah dukkha? Dalam AN 3.61 dibahas secara lebih rinci. Secara singkat ketika kelahiran terjadi maka makhluk hidup akan mengalami berbagai jenis perasaan yang selalu berubah dan itu adalah penderitaan.
Alasan kenapa keinginan yang dilekati indria disebut penderitaan karena seseorang yang terikat oleh nafsu indrawi tidak akan terbebas dari penderitaan di masa ini dan masa depan. Oleh sebab itulah keinginan indra dapat disebut sebagai penderitaan.
Penyakit juga dapat dikatakan sebagai dukkha. Penyakit terbagi menjadi dua, yaitu penyakit jasmani dan penyakit batin. Kita semua pasti pernah mengalami kedua penyakit ini. Kita mungkin saja sehat secara jasmani, tapi selain Arahant yang noda-nodanya telah dihancurkan, tidak ada yang dikatakan sehat secara batin. Hal ini Buddha nyatakan dalam AN 4.157:
“Orang-orang dapat mengaku menikmati kesehatan jasmani selama satu, dua, tiga, empat dan lima tahun; selama sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, dan lima puluh tahun; dan bahkan seratus tahun atau lebih. Tetapi selain daripada mereka yang noda-nodanya telah dihancurkan, adalah sulit untuk menemukan orang-orang di dunia yang dapat mengaku menikmati kesehatan batin bahkan untuk sesaat.”
Lebih jauh lagi, Sang Buddha menyatakan segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha. Pernyataan ini bukanlah dinyatakan secara sepihak, melainkan Sang Buddha menyatakan sebuah hukum alam yang berlaku, baik jika terdapat para Buddha di dunia ini ataupun tidak. Hukum alam itu tetap berlaku, bahwa segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (15)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawa
Mengapa segala sesuatu yang berkondisi adalah dukkha? karena segala sesuatu yang berkondisi tidaklah kekal, selalu muncul - berlangsung - lenyap tanpa dapat dicegah ataupun dikendalikan. Ketidak-kekalan pada segala sesuatu yang berkondisi itu adalah dukkha. Seperti halnya tubuh yang muncul karena bergantung pada beberapa faktor, terdiri dari berbagai macam bagian, yang tetap berlangsung dengan dibangun oleh makanan dan air, pada saatnya akan hancur seperti sebuah kendi yang pecah.
Hakikatnya pun tubuh tidak layak disebut sebagai “aku” dan “milikku”. Tubuh ini hanyalah kumpulan kondisi yang bersatu, 8ketika ada kondisi pembentuknya. Dalam SN 23.2 Buddha menjelaskan kepada Bhikkhu Rādha apakah makhluk itu. Menurut Buddha, makhluk adalah seseorang yang terjerat erat, dalam
keinginan, nafsu, kesenangan, dan ketagihan pada lima kelompok kehidupan. Secara sederhana definisi makhluk menurut Buddha hanyalah sesosok yang terjerat oleh nafsu.
Suatu hari Mara datang berkata kepada Bhikkhuni Vajira:
“Oleh siapakah makhluk ini diciptakan?
Di manakah pencipta makhluk ini?
Di manakah makhluk ini muncul?
Di manakah makhluk ini lenyap?”
Kemudian Bhikkhuni Vajira menjawabnya:
“Mengapa sekarang engkau menganggap ada ‘makhluk’?
Māra, apakah itu adalah pandangan spekulatifmu? Ini bukan lain hanyalah timbunan bentukan-bentukan: Tidak ada makhluk di sini.
“Bagaikan, dengan merangkai bagian demi bagian, Kata ‘kereta’ digunakan, Demikian pula, ketika kelompok kelompok unsur kehidupan muncul, Ada konvensi ‘makhluk’.
“Itu hanyalah penderitaan yang menjelma, Penderitaan yang berlangsung dan lenyap. Bukan lain hanyalah penderitaan yang muncul, Bukan lain hanyalah penderitaan yang lenyap.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (16)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawa
SUMBER DUKKHA
Mungkin kita semua bertanya-tanya, darimana semua kumpulan Dukkha ini berasal? Jika kita mencari tahu
berdasarkan apa yang Buddha ajarkan, maka kita akan menemukan pertama kali di Dhammacakkapavattana Sutta. Di dalamnya, Buddha berkhotbah:
“Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia asal-mula penderitaan: adalah ketagihan yang menuntun menuju penjelmaan baru, disertai dengan kesenangan dan nafsu, mencari kenikmatan di sana-sini; ketagihan pada kenikmatan indria, ketagihan pada penjelmaan.”
Dalam hal ini memang ketagihan atau dalam bahasa Palinya adalah Tanha, penyebabnya. Namun ketagihan juga memiliki penyebab! Jika kita menelusuri lebih jauh dalam Paticcasamuppadā, maka kita akan melihat semua akarnya adalah ketidak-tahuan. Tapi bagaimana bisa ketidak-tahuan menjadi akar penyebab keseluruhan dukkha ini? Kita dapat menemukan jawabannya dalam Paticcasamupaddā. Buddha mengatakan seorang yang melihat Paticcasamupaddā melihat Dhamma. Oleh karena itu, Paticcasamupaddā sangatlah penting untuk dipelajari.
Paticcasamupaddā itu sendiri adalah dua belas sebab musabab yang saling bergantungan. Secara ringkas, Paticcasamupaddā dapat dipahami sebagai ‘Jika ini ada, maka muncul itu; dengan munculnya ini, maka muncul pula itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak muncul; dengan lenyapnya ini, maka
lenyap pula itu.’ Dua belas sebab musabab dalam Paticcasamupaddā adalah: Avijjā (ketidak-tahuan), Sankhāra (bentukan-bentukan), Viññāna (kesadaran), Nāmarūpa (batin dan jasmani), Salayatana (enam bidang), Phassa (kontak), Vedana (perasaan), Tanha (nafsu), Upādāna (kemelekatan), Bhava (kemen-jadi-an), Jāti (kelahiran), Jarāmaraṇa (penuaan dan kematian).
Buddha Dhamma Secara Bertahap (17)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawa
Interpretasi Paticcasamupaddā secara tradisional biasanya terbagi menjadi tiga fase yaitu masa lalu, saat ini, dan masa depan. Berikut adalah skemanya:
- Masa lalu Avijja; Sankhara.
- Saat ini Vinnana; Nama-Rupa, Salayatana, Phassa, Vedana, Tanha, Upadana.
- Masa depan Bhava; Jati, Jara-Marana.
Interpretasi tiga masa dari Paticcasamupaddā kadang-kadang dikatakan sebagai rekaan komentar karena Sutta-sutta sendiri tidak membaginya dalam masa kehidupan yang berbeda. Walaupun demikian, ketika kita memeriksa secara seksama pada formula standar yang terdapat pada Sutta-Sutta memberikan dukungan kuat terhadap interpretasi tiga masa.
Seperti dalam SN 12.19, di mana dikatakan jasmani ini berasal dari
ketidak-tahuan dan nafsu, karena belum mengatasi ketidak-tahuan dan nafsu, maka menuju jasmani lainnya (setelah meninggal). Hal ini sudah cukup untuk mendukung skema interpretasi secara tiga masa. Berikut adalah kutipan SN 12.19:
... “Para bhikkhu, bagi si dungu, yang terhalang oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh ketagihan, jasmani ini berasal-mula demikian. Bagi si dungu, ketidak-tahuan itu belum dilepaskan dan ketagihan itu belum dihancurkan sepenuhnya. Karena alasan apakah? Karena si dungu belum menjalani kehidupan suci untuk sepenuhnya menghancurkan penderitaan. Oleh karena itu, dengan hancurnya jasmani, si dungu mengembara menuju jasmani [lainnya]. Dengan mengembara menuju jasmani [lainnya], ia belum terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian; belum terbebas dari kesedihan, ratapan, kesakitan, ketidak-senangan dan keputus asaan; belum terbebas dari penderitaan, Aku katakan.” ...
Untuk lebih jelasnya, mari kita membahas poinnya satu per satu:
I. AVIJJA
Dalam bahasa Indonesianya adalah
ketidak-tahuan. Ketidak-tahuan yang dimaksud di sini adalah ketidak-tahuan dalam hal empat kebenaran mulia, seperti yang tertulis dalam SN 12.2:
... “Dan apakah, para bhikkhu, ketidak-tahuan? Tidak mengetahui penderitaan, tidak mengetahui asal-mula penderitaan, tidak mengetahui lenyapnya penderitaan, tidak
mengetahui jalan menuju lenyapnya penderitaan. Ini disebut ketidak-tahuan.”...
Dalam interpretasi tradisional Avijjā ditempatkan pada bagian masa lampau. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam memahami Paticcasamupaddā. Karena kita belum melenyapkan sepenuhnya ketidak-tahuan dan belum menembus sepenuhnya empat kebenaran mulia di masa lalu, maka kita masih terlahir kembali lagi dan lagi hingga sekarang.
Pada saat ini pun kita masih diliputi Avijjā karena kita belum menembus sepenuhnya empat kebenaran mulia. Jadi, walaupun pada penjelasan tradisional Avijjā ditempatkan di masa lalu, bukan berarti pada masa sekarang kita tidak diliputi Avijjā. Avijjā akan dilenyapkan sepenuhnya ketika kita telah memiliki tiga pengetahuan dan menembus empat kebenaran mulia sepenuhnya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (18)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
II. SANKHARA
Dalam Paticcasamupaddā, sankhara lebih tepat disebut sebagai bentukan-bentukan kehendak adalah suatu kehendak dari jasmani, ucapan, dan pikiran. Seperti yang tertulis dalam SN 12.2:
... “Dan apakah, para bhikkhu, bentukan-bentukan kehendak?
Ada tiga jenis bentukan kehendak: bentukan kehendak jasmani, bentukan kehendak ucapan, bentukan kehendak pikiran. Ini disebut bentukan kehendak.” ..
Sankhāra dalam pendekatan tradisional digolongkan ke dalam masa lalu. Ketika seseorang berkehendak, ia menciptakan
kamma baru. Hal ini dinyatakan oleh Buddha dalam AN 6.63:
... “Adalah kehendak, para bhikkhu, yang Kusebut kamma. Karena setelah berkehendak, seseorang bertindak melalui jasmani, ucapan, atau pikiran.” ...
Sankhāra secara mudah dapat diartikan sebagai kumpulan bentukan tindakan di masa lalu yang terpengaruh oleh keserakahan, kebencian dan delusi yang mengakibatkan kamma. Kamma ini
yang kemudian menjadi salah satu landasan para makhluk terlahir kembali. Menurut AN 3.76, bagi seseorang yang terhalangi oleh ketidak-tahuan dan terbelenggu oleh nafsu, maka kamma adalah lahannya, kesadaran adalah benihnya, dan nafsu adalah kelembaban bagi kesadaran mereka untuk tumbuh di satu alam. SN 12.38 juga menegaskan bahwa apapun yang dikehendaki, direncanakan, dan dicenderungi adalah dasar bagi pemeliharaan kesadaran. Ketika ada dasar maka ada penyokong bagi terbentuknya kesadaran. Ketika kesadaran terbentuk dan telah berkembang, maka ada produksi penjelmaan kembali di masa depan.
III. Viññāna
Viññāna atau kesadaran adalah pertemuan antara indra dan objek. Ketika indra melihat objek maka muncul kesadaran indra, saat ketiga hal ini bertemu (indra, objek, kesadaran indra) itu adalah sebuah kontak. Dalam SN 12.2 disebutkan definisi Viññāna:
... “Dan apakah, para bhikkhu, kesadaran? Ada enam kelompok kesadaran: kesadaran-mata, kesadaran-telinga, kesadaran-hidung, kesadaran-lidah, kesadaran-badan, kesadaran-pikiran. Ini disebut kesadaran.” ...
Dalam pendekatan Paticcasamupaddā secara tradisional, Viññāna dikategorikan ke dalam saat ini dan digambarkan sebagai proses kelahiran kembali suatu makhluk hidup. Hal ini terbukti dari gambar Bhavacakka atau yang lebih dikenal sebagai gambar roda Paticcasamupaddā di mana Viññāna digambarkan sebagai seekor monyet yang berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain. Hal ini sesuai dengan Sutta-sutta yang menjelaskan tentang bagaimana terbentuknya kesadaran di masa depan di antaranya seperti SN 12.38. Dalam penjelasan tradisional dengan penggunakan gambar monyet sebenarnya tidaklah tepat. Monyet yang berpindah menggambarkan seakan-akan adanya inti diri yang berpindah dari satu jasmani ke tubuh lainnya, padahal proses kelahiran kembali dalam Buddhis adalah tanpa melibatkan satu inti diri yang berpindah. Lalu bagaimanakah kelahiran kembali terjadi menurut Buddhisme?
Untuk lebih memahami kelahiran kembali dalam Buddhisme maka kita perlu mempelajari cara terjadinya kelahiran kembali. Tapi sebelum itu, kita harus mengenal secara ringkas tentang lima gugus kehidupan. Makhluk hidup dapat memiliki hingga lima gugus kehidupan. Kelimanya adalah badan jasmani (rupa), perasaan (vedana), persepsi (sanna), bentukan-bentukan kehendak (sankhāra), dan kesadaran (viññāna). Dari kelima ini, manakah yang terlahir kembali? Kebanyakan pasti mengatakan kesadaran, padahal sebenarnya bukan. Tidak ada satupun gugus dari batin-jasmani lama yang berpindah ke dalam batin-jasmani baru.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (19)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Dalam MN 38 terdapat seorang Bhikkhu bernama Bhikkhu Sati yang memiliki pandangan salah sebagai berikut :
“Seperti Dhamma yang kupahami yang diajarkan oleh Sang Bhagavā, adalah kesadaran yang sama ini yang berlanjut dan mengembara di sepanjang lingkaran kelahiran, bukan yang lain.” Kemudian para Bhikkhu lain mendebatnya, setelah para Bhikkhu tidak mampu meyakinkan Bhikkhu Sati, akhirnya ia dibawa ke hadapan Sang Buddha. Singkat cerita Sang Buddha kemudian bertanya kepada Bhikkhu Sati, “apakah kesadaran itu?” Kemudian Bhikkhu Sati menjawab: “Yang Mulia, itu adalah apa yang berbicara, merasakan dan mengalami di sana-sini akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk.”
Kemudian Buddha memberitahukan Bhikkhu Sati dengan sebutan “orang berpandangan salah” karena telah salah memahami ajaranNya.
Buddha kemudian menekankan di dalam banyak khotbahNya Ia telah menyebutkan bahwa kesadaran muncul bergantungan, jika tanpa suatu kondisi, maka tidak ada asal-mula kesadaran. Contohnya adalah ketika kesadaran muncul dengan bergantung pada mata dan bentuk bentuk, maka dikenal sebagai kesadaran-mata, begitupun untuk indra yang lainnya.Jadi, kesadaran tidaklah terlahir kembali. Semua semata-mata hanyalah kondisi yang bergantungan. Beberapa Sutta juga memperkuat pernyataan ini di antaranya adalah AN 7.55 dan AN 3.76.
Dalam AN 7.55 menjelaskan tentang perumpamaan percikan api, ketika seseorang telah melenyapkan nafsu dan ketidak-tahuan, maka ia seperti percikan api yang padam, tidak akan dapat menyalakan api pada tumpukan jerami. Dalam hal ini dapat disimpulkan percikan yang melontar adalah kesadaran
terakhir, nyala percikan api adalah nafsu, tumpukan jerami adalah batin-jasmani baru.
Sementara dalam AN 3.76 terdapat perumpamaan tanaman di mana kamma adalah lahan, kesadaran terakhir adalah benih, dan nafsu adalah kelembaban (pupuk) bagi kesadaran itu untuk tumbuh.
Dari dua perumpamaan ini dapat kita simpulkan bahwa proses kelahiran kembali dapat terjadi tanpa adanya satu 'roh' yang terlahir kembali ke batin dan jasmani baru. Itu hanyalah perpaduan kondisi yang menyebabkan terlahirnya kembali satu makhluk, yaitu kamma, kesadaran terakhir dan nafsu.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (20)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
IV. Nāmarūpa
Nāmarūpa dalam bahasa Pali berarti batin dan jasmani. Dalam gambar Paticcasamupaddā digambarkan dengan dua orang yang mendayung satu perahu, melambangkan dua hal, yaitu batin
dan jasmani yang saling bekerja secara bersama-sama. Dalam SN 12.2 dijelaskan:
... “Dan apakah, para bhikkhu, batin-dan-jasmani? Itu adalah Perasaan (vedana), persepsi (sanna), kehendak (cetanā), kontak (phassa), perhatian (manasikāra): ini disebut batin.
Empat unsur utama dan bentuk yang diturunkan dari empat unsur utama: ini disebut jasmani. Demikianlah batin ini dan jasmani ini bersama-sama disebut batin dan jasmani.” ...
Dalam Sutta ini terlihat agak asing tentang definisi Nāmarūpa. Definisi Nāmarūpa pada umumnya mengacu pada panca khanda/lima kelompok gugus kehidupan, tapi sebenarnya keduanya adalah sama. Kehendak (cetanā) di sini dapat dikategorikan kedalam bentuk bentuk kehendak (sankhāra), sedangkan kontak (phassa) dan perhatian (manasikāra) dapat dikategorikan sebagai kesadaran (viññāna). Alasannya karena syarat kemunculannya kesadaran adalah adanya kontak antara indra dengan objek juga harus disertai dengan perhatian. Pembahasan mengenai definisi gugus-gugus kehidupan secara rinci dapat dilihat dalam SN 22.79:
“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya bentuk? ‘Bentuk itu rusak,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut bentuk. Rusak oleh apakah? Rusak oleh dingin, rusak oleh panas, rusak oleh lapar, rusak oleh haus, rusak oleh kontak dengan lalat, nyamuk, angin, matahari, dan ular. Bentuk itu rusak, para bhikkhu, oleh karena itu disebut bentuk".
“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya perasaan? ‘Karena ia merasakan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut perasaan. Dan apakah yang dirasakan? Ia merasakan kesenangan, ia merasakan kesakitan, ia merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenanganIa merasakan, para bhikkhu, oleh karena itu disebut perasaan".
“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya persepsi? ‘Ia mempersepsikan, para bhikkhu, oleh karena itu disebut persepsi'. Dan apakah yang dipersepsikan? Ia mempersepsikan biru, ia mempersepsikan kuning,
ia mempersepsikan merah,
ia mempersepsikan putih.
Ia mempersepsikan, para bhikkhu, oleh karena itu disebut persepsi".
“Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya bentukan-bentukan kehendak? Ia membangun kondisi, para bhikkhu, oleh karena itu ia disebut bentukan-bentukan kehendak. Dan kondisi apakah yang dibangun? Ia membangun bentuk terkondisi sebagai bentuk; ia membangun perasaan terkondisi sebagai perasaan; ia membangun persepsi terkondisi sebagai persepsi; ia membangun bentukan bentukan kehendak terkondisi sebagai bentukan-bentukan kehendak; ia membangun kesadaran terkondisi sebagai kesadaran. ‘Ia membangun
kondisi,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut bentukan-bentukan kehendak".
"Dan mengapakah, para bhikkhu, engkau menyebutnya kesadaran? ‘Ia mengenali,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran. Dan apakah yang ia kenali? Ia mengenali rasa asam, ia mengenali rasa pahit, ia mengenali rasa pedas, ia mengenali rasa manis, ia mengenali rasa sangat pedas, ia mengenali rasa lembut, ia mengenali rasa asin, ia mengenali lunak. Ia mengenali, para bhikkhu, oleh karena itu disebut kesadaran.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (21)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
V. Salayatana
Salayatana adalah sebuah kata yang merupakan gabungan dari dua kata. “Sal” adalah kata yang berasal dari kata “cha” yang berarti enam sedangkan “ayatana” adalah landasan/bidang indria. Salayatana dapat berarti enam landasan/bidang indria. Dalam SN 12.2 terdapat definisi Salayatana:
... “Dan apakah, para bhikkhu, enam landasan indria? Landasan mata, landasan telinga, landasan hidung, landasan lidah, landasan badan, landasan pikiran. Ini disebut enam landasan indria.” ...
Satu landasan/bidang indria terbagi menjadi dua, yaitu internal dan eksternal. Jadi terdapat enam landasan/bidang indria internal dan enam landasan/bidang indria eksternal. Internal adalah indria, sedangkan eksternal adalah objek. Penjelasan sehubungan dengan ini dapat dilihat dalam DN 28:
... “Juga, Sang Bhagavā tidak tertandingi dalam hal mengajarkan Dhamma sehubungan dengan penjelasan bidang bidang indria, yaitu: ada enam landasan indria internal dan eksternal: mata dan objek-objek terlihat, telinga dan suara suara, hidung dan bau-bauan, lidah dan rasa kecapan, badan dan objek sentuhan, pikiran dan objek-objek pikiran. Ini adalah ajaran yang tanpa tandingan sehubungan dengan bidang-bidang indria.” …
VI. Phassa
Phassa dalam bahasa Pali berarti kontak. Kontak di sini adalah terjadinya pertemuan antara indria dengan objek dan terdapat kesadaran indria itu. Misalnya pada mata, saat melihat bentuk-bentuk, muncul kesadaran mata. Pertemuan dari tiga hal inilah adalah kontak. Hal ini sesuai dalam formula kontak dalam beberapa Sutta, salah satunya adalah SN 12.43:
“Dengan bergantung pada mata dan bentuk-bentuk, maka muncullah kesadaran-mata. Pertemuan dari ketiga ini adalah kontak.”
Dalam SN 12.2 juga menjelaskan jenis-jenis kontak. Totalnya terdapat enam kontak:
... “Dan apakah, para bhikkhu, kontak? Ada enam kelompok kontak: kontak-mata, kontak-telinga, kontak hidung, kontak-lidah, kontak-badan, kontak-pikiran. Ini disebut kontak.” ...
Dari kontak indria inilah muncul perasaan. Jika ttdak terdapat kontak, maka tidak akan muncul perasaan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (22)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
VII. Vedana
Vedana adalah kata dalam bahasa Pali yang artinya adalah perasaan. Dalam roda Bhavacakka, Vedana digambarkan dengan seseorang yang kedua matanya terpanah, gambar ini berarti perasaan dapat membutakan seseorang. Dalam SN 22.79 dijelaskan mengenai definisi perasaan:
... “Dan mengapakah, para bhikkhu, kalian menyebutnya perasaan? ‘Karena ia merasakan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut perasaan. Dan apakah yang dirasakan? Ia merasakan kesenangan, ia merasakan kesakitan, ia merasakan bukan-kesakitan-juga-bukan-kesenanga. ‘Ia merasakan,’ para bhikkhu, oleh karena itu disebut perasaan.” ...
Dalam SN 12.2 disebutkan terdapat enam jenis perasaan yang masing-masing berasal dari setiap indra:
... “Dan apakah, para bhikkhu, perasaan? Ada enam kelompok perasaan ini: perasaan yang muncul dari kontak-mata, perasaan yang muncul dari kontak-telinga, perasaan yang muncul dari kontak-hidung, perasaan yang muncul dari kontak-lidah, perasaan yang muncul dari kontak-badan, perasaan yang muncul dari kontak-pikiran. Ini disebut perasaan.” ...
Penjelasan tentang enam jenis perasaan adalah salah satu jenis penjelasan perasaan yang umumnya dipakai oleh Sang Buddha untuk menjelaskan perasaan. Lebih jauh, Sang Buddha mempunyai banyak cara untuk menjelaskan perasaan. Terkadang beliau membaginya dalam dua jenis perasaan, tiga jenis, lima jenis, enam jenis, delapan belas jenis, tiga puluh enam, bahkan hingga seratus delapan jenis perasaan. Dan pada perasaan inilah, penderitaan
dapat diakhiri. Hal ini Buddha nyatakan dalam AN 3.61:
... “Sekarang adalah bagi seorang yang merasakan maka Aku menyatakan: ‘Ini adalah penderitaan,’ dan ‘Ini adalah asal-mula penderitaan,’ dan ‘Ini adalah lenyapnya penderitaan,’ dan ‘Ini adalah jalan menuju lenyapnya penderitaan.’” ...
Buddha Dhamma Secara Bertahap (24)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
IX. Upādāna
Upādāna berarti kemelekatan. Dalam Paticcasamupaddā, kemelekatan terjadi karena adanya nafsu. Di dalam beberapa Sutta, kemelekatan ini terbagi menjadi empat jenis, yaitu kemelekatan terhadap nafsu indria, kemelekatan terhadap pandangan, kemelekatan terhadap aturan dan sumpah, dan kemelekatan terhadap doktrin diri. Salah satu Sutta yang menyatakan tentang empat jenis kemelekatan adalah SN 12.2:
... “Dan apakah, para bhikkhu, kemelekatan? Ada empat jenis kemelekatan: kemelekatan pada kenikmatan indria, kemelekatan pada pandangan-pandangan, kemelekatan pada aturan dan sumpah, kemelekatan pada doktrin diri. Ini disebut kemelekatan.” ...
Dalam Sutta lainnya dinyatakan kelima gugus kehidupan terpengaruh oleh kemelekatan, tunduk terhadap kemelekatan.
Di dalam SN 22.82 mengenai hal ini juga menjelaskan apakah kelima gugus kehidupan adalah sama atau terpisah dari kemelekatan.
... “Yang Mulia, bukankah kelima kelompok unsur kehidupan ini tunduk pada kemelekatan, yaitu: kelompok unsur bentuk tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak
tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran tunduk pada kemelekatan?”
“Itu adalah lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan, bhikkhu: yaitu, kelompok unsur bentuk tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur perasaan tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur persepsi tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur bentukan-bentukan kehendak
tunduk pada kemelekatan, kelompok unsur kesadaran tunduk pada kemelekatan.”
Dengan mengatakan, “Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu senang dan gembira mendengar jawaban Sang Bhagavā.
Kemudian ia mengajukan pertanyaan berikutnya kepada Sang Bhagavā:
“Tetapi, Yang Mulia, dalam apakah kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan ini berakar?”
“Kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan itu, bhikkhu, berakar dalam keinginan.”
“Yang Mulia, apakah kemelekatan itu sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan ini, atau apakah kemelekatan adalah sesuatu yang berbeda dengan kelima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan?”
“Para bhikkhu, kemelekatan itu bukan sama dengan kelima kelompok unsur kehidupan, juga kemelekatan bukanlah sesuatu yang berbeda dengan lima kelompok unsur kehidupan yang tunduk pada kemelekatan. Melainkan, keinginan dan nafsu terhadapnya, itulah kemelekatan di sana.” ...
Bagaimana kemelekatan terjadi? Secara ringkas kemelekatan terjadi setelah indria kita mengidentifikasi satu objek, ketika itu menyenangkan maka ia itu menginginkannya, jika tidak menyenangkan ia itu menolaknya, melalui hal ini, apapun yang ia rasakan, ia selalu bergembira, menyambutnya, dan menggenggamnya. Kegembiraan itu adalah kemelekatan di sana.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada MN 38: Kali ini saya berikan contoh pikiran, karena dari pikiran dapat muncul jenis-jenis kemelekatan yang lebih banyak daripada kemelekatan indra
lainnya. Dari pikiran dapat muncul kemelekatan terhadap persepsi
berupa pandangan diri, pandangan pandangan spekulatif lainnya,
bahkan pada aturan dan sumpah.
... “Ketika mengenali suatu objek pikiran dengan pikiran, ia menginginkannya jika objek pikiran itu menyenangkan; ia tidak menginginkannya jika objek pikiran itu tidak menyenangkan. Ia berdiam dengan perhatian pada jasmani tidak ditegakkan,
dengan pikiran terbatas, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran dan kebebasan melalui kebijaksanaan di mana kondisi-kondisi jahat yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa. Masuk ke dalam apa yang disukai maupun tidak disukai, apapun perasaan yang ia rasakan, apakah menyenangkan atau menyakitkan atau bukan menyakitkan-juga-bukan-menyenangkan, ia bergembira dalam perasaan itu, menyambutnya, dan terus-menerus menggenggamnya. Sewaktu ia melakukan hal itu, kegembiraan muncul dalam dirinya. Sekarang kegembiraan dalam perasaan adalah kemelekatan.
Dengan kemelekatannya sebagai kondisi, maka penjelmaan muncul; dengan penjelmaan sebagai kondisi, maka ada kelahiran; dengan kelahiran sebagai kondisi, maka penuaan dan kematian, dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan muncul. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.” ...
Buddha Dhamma Secara Bertahap (25)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
X. Bhava
Bhava berarti kemenjadian atau penjelmaan. Dalam gambar Bhavacakka, bhava digambarkan dengan gambar seorang wanita hamil, yang menggambarkan proses kemenjadian. Pada pendekatan Paticcasamupaddā tradisional, bhava dikelompokan sebagai masa depan, sebagai akibat dari Upādāna, karena belum mengakhiri ketidak-tahuan dan nafsu di masa lalu. Pada SN 12.2 dijelaskan, bhava adalah proses penjelmaan dalam salah satu alam di tiga jenis alam:
... “Dan apakah, para bhikkhu, penjelmaan? Ada tiga jenis penjelmaan: penjelmaan di alam indria, penjelmaan di alam berbentuk, penjelmaan di alam tanpa bentuk. Ini disebut penjelmaan.” ...
XI. Jāti
Jāti adalah kelahiran. Dalam Sutta-sutta dan pendekatan Paticcasamupaddā tradisional, jāti dikelompokan ke masa depan yang di mana kesadaran telah menemukan landasan untuk berkembang. Dalam SN 12.2 dijelaskan definisi kelahiran:
... “Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? Lahirnya berbagai makhluk menjadi berbagai golongan makhluk, terlahirkan, masuk [ke dalam rahim], produksi, terwujudnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, perolehan landasan-landasan indria. Ini disebut kelahiran.” ...
Pada Sutta lainnya juga menjelaskan tentang cara-cara para makhluk terlahir kembali. Seperti pada MN 12:
... “Sāriputra, terdapat empat jenis keturunan ini. Apakah empat ini? Keturunan yang terlahir dari telur, keturunan yang terlahir dari rahim, keturunan yang terlahir dari kelembaban, dan keturunan yang terlahir spontan.
“Apakah keturunan yang terlahir dari telur? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan
cangkang sebutir telur: ini disebut keturunan yang terlahir dari telur. Apakah keturunan yang terlahir dari rahim? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir dengan memecahkan selaput pembungkus janin: ini disebut keturunan yang terlahir dari rahim. Apakah keturunan yang terlahir dari kelembaban? Terdapat makhluk-makhluk ini yang terlahir di dalam ikan busuk, di dalam mayat busuk, di dalam bubur busuk, di dalam lubang kakus, atau di dalam saluran air: ini disebut keturunan yang terlahir dari kelembaban. Apakah keturunan yang terlahir spontan? Terdapat para dewa dan para penghuni neraka dan manusia-manusia tertentu dan beberapa makhluk di alam rendah: ini disebut keturunan yang terlahir spontan.
Ini adalah empat jenis keturunan.” ...
XII. Jarāmaraṇa
Jarāmaraṇa berarti adalah penuaan dan kematian. Proses ini secara alamiah terjadi bagi setiap makhluk yang terlahir kembali apakah ia makhluk alam rendah, manusia, Dewa, bahkan Brahma.
Proses ini mengikuti hukum alam (Dhammaniyama) yang disebut
ketidak-kekalan. Pada SN 12.2 dijelaskan definisi penuaan dan kematian:
... “Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? Penuaan atas berbagai makhluk dalam berbagai golongan makhluk, bertambah tua, gigi tanggal, rambut memutih, kulit keriput, vitalitas menurun, indria-indria melemah: ini disebut penuaan. Meninggal-dunia-nya berbagai makhluk dari berbagai golongan makhluk, binasa, hancur, lenyap, mortalitas, kematian, berakhirnya waktu kehidupan, hancurnya kelompok-kelompok unsur kehidupan, terbaringnya jasad: ini disebut kematian.
Demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama-sama disebut penuaan-dan-kematian.” ...
Buddha Dhamma Secara Bertahap (26)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Lenyapnya Dukkha
Apa itu lenyapnya dukkha? Definisi lenyapnya dukkha dapat kita temukan pada SN 56.11:
... “Sekarang ini, para bhikkhu, adalah kebenaran mulia lenyapnya penderitaan: adalah peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya ketagihan yang sama itu, meninggalkan dan melepaskannya, kebebasan darinya, tidak bergantung padanya.” ...
Berdasarkan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika ketagihan atau nafsu telah dilenyapkan hingga ke akar akarnya, maka itulah lenyapnya dukkha.
Nafsu itu sendiri ada karena suatu sebab, ada kondisi terdekatnya, dan nafsu ini pada akhirnya akan mengkondisikan para makhluk untuk terlahir kembali dalam Samsara sesuai dengan pembahasan sebab musabab yang saling bergantungan pada bab sebelumnya.
Lenyapnya dukkha ini juga dapat disebut sebagai Nibbana. Di dalam Ud 8.3, Buddha menjelaskan tentang Nibbana itu sendiri:
... “Ada, para bhikkhu, yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi. Jika, para bhikkhu, tidak ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian tidak mungkin mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi. Tetapi, karena ada yang tidak dilahirkan, tidak menjelma, tidak tercipta, tidak terkondisi, maka kalian dapat mengetahui jalan membebaskan diri dari yang dilahirkan, yang menjelma, yang diciptakan, dan yang terkondisi.”
Nibbana itu “tidak dilahirkan”, “tidak menjelma”, “tidak tercipta”, dan “tidak terkondisi”. Maksudnya apa? Seperti yang kita bahas dalam bab sebelumnya, kelahiran itu bergantung pada satu sebab, memiliki penyebabnya, ketika landasan landasan penyebab kelahiran kembali telah terpotong atau dilenyapkan, maka tidak ada lagi kelahiran kembali makhluk di masa depan. Sehubungan dengan itulah dinyatakan Nibbana sebagai “tidak dilahirkan kembali”.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (27)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Ketika landasan-landasan penyebab kelahiran kembali telah terpotong atau dilenyapkan, maka tidak ada lagi penjelmaan makhluk di masa depan. Sehubungan dengan itulah dinyatakan Nibbana sebagai “tidak menjelma”. Ketika landasan-landasan penyebab kelahiran kembali telah terpotong atau dilenyapkan, maka tidak ada lagi penciptaan makhluk di masa depan.
Sehubungan dengan itulah dinyatakan Nibbana sebagai “tidak tercipta”. Dan ketuka landasan-landasan penyebab kelahiran kembali telah terpotong atau dilenyapkan, maka tidak ada lagi pengkondisian makhluk di masa depan. Sehubungan dengan itulah dinyatakan Nibbana sebagai “tidak terkondisi”.
Buddha telah menyatakan Nibbana itu ada, karena Nibbana itu ada maka kita semua memiliki kesempatan untuk merealisasikannya. Hal ini tentunya apabila kita mempelajari dan mempraktekkan Dhamma Ajaran Sang Buddha.
Jika anda mempelajari dan mempraktekkan ajaran yang salah, maka tidak akan ada pencapaian Dukkhanirodha. Seperti yang dilakukan oleh deva muda Rohitassa dalam AN4.45. Deva itu ingin pergi menuju akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan tidakterlahir kembali.
Dengan melakukan perjalanan selama seratus tahun dengan kecepatan seorang deva tanpa berhenti kecuali untuk makan,
minum, buang air, dan tidur. Pada akhirnya deva itu mati sementara akhir dunia belum tercapai. Buddha menjelaskan:
... “Aku katakan, teman, bahwa dengan melakukan perjalanan seseorang tidak dapat mengetahui, melihat, atau mencapai akhir dunia di mana seseorang tidak dilahirkan, tidak tumbuh menjadi tua dan mati, tidak meninggal dunia dan terlahir kembali. Namun Aku katakan bahwa tanpa mencapai akhir dunia maka tidak bisa mengakhiri penderitaan. Adalah dalam tubuh yang sedepa ini dengan persepsi dan pikiran, Aku nyatakan (1) dunia, (2) asal-mula dunia, (3) lenyapnya dunia, dan (4) jalan menuju lenyapnya dunia.” ...
Itulah sebabnya, penting bagi kita untuk mempelajari dan mempraktekkan ajaran yang benar. Ketika kita mempelajari dan mempraktekkan ajaran yang benar, maka keberhasilanlah yang dapat kita harapkan sebagai buahnya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (28)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
Jika kita mempelajari juga mempraktekkan ajaran yang benar, maka keberhasilanlah yang dapat kita harapkan sebagai buahnya. Oleh sebab itu, akan dijabarkan tentang jalan menuju lenyapnya dukkha dengan terperinci. Ajaran tentang jalan menuju lenyapnya dukkha ini disebut sebagai “Jalan Mulia Berunsur Delapan”, jalan yang ditemukan oleh Sang Buddha untuk mengakhiri dukkha.
Jalan ini disebut “mulia” karena jalan ini mampu membawa seseorang menuju pencapaian mulia, yaitu merealisasikan Nibbana. Dalam DhammaNya, Buddha mengajarkan jalan yang menghindari dua ekstrim. Hal ini dinyatakan oleh Buddha dalam SN 56.11:
... “Para bhikkhu, dua ekstrim ini tidak boleh diikuti oleh seorang yang telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah. Apakah dua ini? Mengejar kebahagiaan indria dalam kenikmatan indria, yang rendah, kasar, cara-cara kaum duniawi, tidak mulia, tidak bermanfaat; dan mengejar penyiksaan diri, yang menyakitkan, tidak mulia, tidak bermanfaat. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata telah membangkitkan jalan tengah, yang memunculkan penglihatan, yang memunculkan pengetahuan, yang menuntun menuju kedamaian, menuju pengetahuan langsung, menuju pencerahan, menuju Nibbāna.”...
Dalam prinsipnya, jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat. Di dalam AN 3.78 Sang Buddha bertanya kepada Bhante Ānanda apakah setiap perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup (keras), dan kehidupan suci akan berbuah ketika ditegakkan sebagai intisarinya? Dan Bhante Ānanda menjelaskan tidaklah selalu demikian, lalu dilanjutkan dengan mengatakan:
... “Bhante, misalkan seseorang melatih perilaku dan pelaksanaan, suatu gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual, mendirikannya seolah-olah itu adalah intisarinya. Jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat kemudian bertambah dan kualitas-kualitas bermanfaat berkurang, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah tidak berbuah. Tetapi jika kualitas-kualitas tidak bermanfaat
berkurang dan kualitas-kualitas bermanfaat bertambah, maka perilaku dan pelaksanaan, gaya hidup [keras], dan kehidupan spiritual demikian, yang didirikan sebagai intisarinya, adalah berbuah.” ...
Ketika hal ini dikatakan, Sang Buddha menyetujuinya. Hal ini menunjukan bahwa Jalan yang diajarkan oleh Sang Buddha adalah jalan tengah yang menghindari cara-cara ekstrim. Yang dimaksud ekstrim di sini adalah jika metode yang ia gunakan dalam berlatih tidak dapat membawa kualitas-kualitas baik dan malah mendatangkan kualitas kualitas buruk. Inilah sekilas tentang
prinsip 'Jalan Mulia Berunsur Delapan'.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (29)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Penjabaran Jalan Mulia Berunsur Delapan secara terperinci adalah sebagai berikut:
1. Pandangan Benar
Pandangan Benar adalah topik yang paling sulit dijelaskan dalam konsep Jalan Mulia Berunsur Delapan. Penjelasan tentang Pandangan Benar itu sendiri tersebar di dalam banyak Sutta-Sutta. Sutta pertama yang harus dilihat adalah MN 117. Pada bagian pandangan benar, Sutta ini mengatakan bahwa ketika seseorang mengetahui pandangan salah sebagai pandangan salah dan pandangan benar sebagai pandangan benar, maka ini adalah pandangan benar seseorang. Untuk itulah, sebelum membahas pandangan benar, maka kita harus mengetahui pandangan salah terlebih dahulu. Di dalam Sutta itu dituliskan tentang pandangan salah sebagai berikut:
... “Dan apakah, para bhikkhu, pandangan salah? ‘Tidak ada yang diberikan, tidak ada yang dipersembahkan, tidak ada
yang dikorbankan; tidak ada buah atau akibat dari perbuatan baik dan buruk; tidak ada dunia ini, tidak ada dunia lain; tidak ada ibu, tidak ada ayah; tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir kembali secara spontan; tidak ada para petapa dan brahmana yang baik dan mulia di dunia ini yang telah menembus oleh diri mereka sendiri dengan pengetahuan langsung dan menyatakan dunia ini dan dunia lain.’ Inilah pandangan salah.” ...
Berdasarkan potongan Sutta di atas, dapat disimpulkan pandangan salah adalah pandangan nihilisme. Selain itu, terdapat dua pandangan lainnya yang mengarahkan menuju tindakan tidak berbuat. Yang pertama adalah mempercayai segala sesuatu dialami karena kamma masa lampau, dan karena sosok maha pencipta.
Jika mereka semua menganut pandangan pandangan yang mengarah pada tindakan tidak berbuat, maka hal itu menuntun
mereka menuju pada kelahiran kembali di alam rendah bahkan neraka karena mereka memiliki pandangan yang tidak mendukung melakukan kebajikan. Dalam MN 71, Buddha menyatakan tidak ada Ajivaka yang setelah kematian pergi ke alam surga, kecuali ia menganut pandangan efektivitas tindakan moralitas dan efektifitas tindakan.
Selain itu, dengan meyakini doktrin itu sama saja dengan menghapus harapan untuk merealisasikan akhir dari Dukkha atau Nibbana. Pandangan-pandangan itu disebut “abrahmacariyavāsa” yaitu “Menghancurkan Praktek Kehidupan Suci”. Salah satu Sutta yang membahas tentang Abrahmacariyavāsa adalah MN 76, saya tidak akan menjabarkan keseluruhan tapi saya akan memberikan satu contoh saja. Misalnya, ketika ia menganut doktrin nihilis, maka ia akan menganggap seluruh usaha untuk mencapai akhir dukkha adalah konyol dan sia-sia. Pada akhirnya ia tidak melakukan usaha untuk menempuh kehidupan suci guna mengakhiri penderitaan.
Selain pandangan-pandangan ini, terdapat jenis pandangan salah lain yaitu pandangan spekulasi. Pandangan spekulasi ini adalah jenis pandangan yang diperoleh akibat pengamatan tidak seksama dan meyakini perkataan orang lain. Di dalam MN 2 Buddha menyatakan:
... “Pandangan spekulatif ini, para bhikkhu, disebut rimba pandangan, belantara pandangan, pemutar-balikan pandangan, kebingungan pandangan, belenggu pandangan. Karena terbelenggu oleh belenggu-belenggu pandangan, maka seorang biasa yang tidak terpelajar tidak terbebas dari kelahiran, penuaan, dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan keputus-asaan; ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan.”...
Tanpa melepaskan pandangan spekulatif ini, seseorang tidak dapat merealisasikan Nibbana. Hal ini dikarenakan semua pandangan ini hanyalah persepsi yang keliru, dengan tanpa memahami sebagaimana adanya, ia menggenggam pandangan salah itu. Ketika pandangannya dibantah, dan terbukti salah, ia akan menderita. Adalah persis penderitaan yang ia genggam, dan ia tidak akan dapat merealisasikan Nibbana jika ia menggenggam dukkha. Saya sudah menjelaskan secara garis besarnya
tentang pandangan salah. Untuk melihat jenis-jenis pandangan salah, silahkan dilihat pada DN 1.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (31)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
2. Kehendak Benar
Kehendak benar adalah selanjutnya setelah pandangan benar, sebelum membahas tentang kehendak benar, kita harus tahu apa itu kehendak salah. Dalam MN 117 dijelaskan tentang kehendak salah. Kehendak salah adalah: kehendak keinginan indria, kehendak permusuhan, dan kehendak kekejaman. Dalam AN 10.176 dijabarkan tentang definisi kehendak salah secara lebih rinci sebagai berikut:
... “Di sini, seseorang penuh kerinduan. Ia merindukan kekayaan dan harta orang lain sebagai berikut: ‘Oh, semoga apa yang dimiliki orang lain itu menjadi milikku!’ ...
... “Ia memiliki pikiran berniat buruk dan kehendak membenci sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini dibunuh, dibantai, dipotong, dihancurkan, atau dibinasakan!’” ...
Kehendak benar adalah lawan dari kehendak salah. Dalam MN 117 kehendak benar dibagi menjadi dua, yaitu kehendak benar duniawi, dan kehendak benar adiduniawi. Mari kita bahas satupersatu dimulai dari kehendak benar duniawi.
... “Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Kehendak meninggalkan keduniawian, kehendak tanpa permusuhan, dan kehendak tanpa kekejaman: ini adalah kehendak benar yang terpengaruh oleh noda-noda, matang dalam perolehan.” ...
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, kehendak benar duniawi adalah lawan dari kehendak salah. Pada AN 10.176 terdapat penjelasan lebih rinci tentang kehendak benar, hanya saja di Sutta itu tidak dijabarkan tentang kehendak benar adiduniawi:
... “Di sini, seseorang tanpa kerinduan. Ia tidak merindukan kekayaan dan harta orang lain sebagai berikut: ‘Oh, semoga apa yang dimiliki orang lain menjadi milikku!’
“Ia berniat baik dan kehendaknya bebas dari kebencian sebagai berikut: ‘Semoga makhluk-makhluk ini hidup berbahagia, bebas dari permusuhan, kesengsaraan, dan kecemasan!’” ...
Yang selanjutnya adakah penjelasan tentang kehendak benar adiduniawi. Kita akan kembali ke MN 117, berikut adalah potongan Suttanya:
... “Dan apakah, para bhikkhu, kehendak benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan? Pemikiran, pikiran, kehendak, absorpsi pikiran, ketetapan pikiran, pengarahan pikiran, bentukan ucapan dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah kehendak benar yang mulia, sebuah faktor dari sang jalan.” ...
Bahasa yang dipakai pada Sutta ini adalah cukup sulit untuk dipahami, namun saya akan mencoba untuk menjelaskannya semudah mungkin. Kehendak benar adiduniawi adalah kehendak untuk mengarahkan pikiran (Vitakka) dalam Samma Samadhi. Vittaka itu sendiri adalah bentukan ucapan dan salah satu dari faktor Jhāna pertama.
Pengerahan pikiran dalam konsentrasi benar sesuai Jalan Mulia adalah kehendak benar adiduniawi.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (32)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
3. Ucapan Benar
Ucapan benar adalah poin selanjutnya dalam pembahasan Jalan Mulia. Sebelum kita membahas tentang ucapan benar, maka kita harus membahas ucapan salah terlebih dahulu. Dalam MN 117 dijelaskan tentang ucapan salah sebagai berikut:
... “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan salah? Kebohongan, ucapan fitnah, ucapan kasar, dan ucapan yang tidak berguna: ini adalah ucapan salah.”...
Penjelasan tentang ucapan benar secara terperinci dapat dilihat di AN 10.176. Berikut adalah kutipannya:
... “Di sini, seseorang berbohong. Jika ia dipanggil untuk menghadap suatu dewan, menghadap suatu kumpulan, menghadap sanak saudaranya, menghadap serikat kerja, atau menghadap persidangan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat.’ Demikianlah ia dengan sengaja mengucapkan kebohongan demi dirinya sendiri, atau demi orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi.
“Ia mengucapkan kata-kata yang memecah belah. Setelah mendengar sesuatu di sini, ia mengulanginya di tempat lain untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini;
atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia mengulanginya kepada orang-orang ini untuk memecah-belah [mereka] dari orang-orang itu. Demikianlah ia adalah seorang yang memecah-belah mereka yang bersatu,
seorang pembuat perpecahan, seorang yang menikmati kelompok-kelompok, bergembira dalam kelompok-kelompok,
bersenang dalam kelompok-kelompok, seorang pengucap kata-kata yang menciptakan kelompok-kelompok.
“Ia berkata-kata kasar. Ia mengucapkan kata-kata yang kasar, keras, menyakitkan bagi orang lain, menghina orang lain, berbatasan dengan kemarahan, tidak kondusif bagi konsentrasi. Ia menikmati bergosip. Ia berbicara pada saat yang tidak tepat, mengucapkan dusta, mengatakan apa yang tidak bermanfaat, mengucapkan apa yang bertentangan dengan Dhamma dan disiplin; dan pada saat yang tidak tepat ia mengucapkan kata-kata yang tidak bernilai, tidak logis,
melantur, dan tidak bermanfaat.” ...
Kata yang cukup sering diucapkan adalah “Dungu”. Kata ini paling sering muncul di Vinaya jika ada Bhikkhu yang melakukan pelanggaran Vinaya terlebih lagi pelanggaran berat. Kata-kata kasar ini sebenarnya bisa saja dikatakan, namun harus hati-hati dalam penggunaannya karena kata-kata kasar ini berbatasan dengan kemarahan. Namun karena dalam prakteknya kata-kata kasar lebih banyak menghasilkan keburukan, maka sebaiknya kata-kata kasar harus dihindari.
Setelah memahami tentang ucapan salah, selanjutnya kita membahas tentang ucapan benar. Dalam MN 117, ucapan benar terbagi menjadi dua jenis, yakni duniawi dan adiduniawi.
... “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar? Ucapan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan dan ada ucapan
benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.” ...
Saya akan membahasnya satu persatu dimulai dari ucapan benar duniawi. Menurut MN 117, ucapan benar duniawi adalah lawan dari ucapan salah. Berikut adalah definisi ucapan benar duniawi:
... “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari kebohongan, menghindari ucapan fitnah, menghindari ucapan kasar, menghindari ucapan yang tidak berguna: ini adalah ucapan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.” ...
Penjelasan tentang ucapan benar secara terperinci juga terdapat dalam AN 10.176. Berikut adalah kutipan Suttanya:
... “Di sini, seseorang, setelah meninggalkan kebohongan, menghindari kebohongan. Jika ia dipanggil untuk menghadap suatu dewan, menghadap suatu kumpulan, menghadap sanak saudaranya, menghadap serikat kerja, atau menghadap persidangan, dan ditanyai sebagai saksi sebagai berikut: ‘Jadi, tuan, katakanlah apa yang engkau ketahui,’ kemudian, tidak mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tidak tahu,’ atau mengetahui, ia mengatakan, ‘aku tahu’; tidak melihat, ia mengatakan, ‘aku tidak melihat,’ atau melihat, ia mengatakan, ‘aku melihat.’ Demikianlah ia tidak dengan
sengaja mengucapkan kebohongan demi dirinya sendiri, atau demi orang lain, atau demi hal-hal remeh yang bersifat duniawi.
“Setelah meninggalkan ucapan memecah belah, ia menghindari ucapan memecah belah. Setelah mendengar sesuatu di sini, ia tidak mengulanginya di tempat lain untuk memecah-belah [orang-orang itu] dari orang-orang ini; atau setelah mendengar sesuatu di tempat lain, ia tidak mengulanginya kepada orang orang ini untuk memecah-belah [mereka] dari orang-orang itu.
Demikianlah ia adalah seorang yang menyatukan mereka yang terpecah belah, seorang penganjur persatuan, yang menikmati kerukunan, bergembira dalam kerukunan, bersenang dalam kerukunan, seorang pengucap kata-kata yang memajukan kerukunan.
“Setelah meninggalkan ucapan kasar; ia menghindari ucapan kasar; ia mengucapkan kata-kata yang lembut, menyenangkan di telinga, memikat, kata-kata yang masuk ke dalam hati, kata-kata yang sopan yang disukai banyak orang dan menyenangkan banyak orang.
“Setelah meninggalkan gosip, ia menghindari gosip; ia berbicara pada saat yang tepat, mengatakan apa yang sesuai fakta, mengatakan apa yang bermanfaat, berbicara tentang Dhamma dan disiplin; pada waktu yang tepat ia mengucapkan kata-kata yang layak dicatat, logis, singkat, dan bermanfaat.” ...
Buddha Dhamma Secara Bertahap (33)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Sementara itu, ucapan benar adiduniawi adalah lebih menekankan pada penghentian empat jenis ucapan salah pada seseorang mulia yang sedang mengembangkan Jalan Mulia. Hal ini dapat dengan mudah dimengerti. Ucapan salah yang dilakukan berulang-ulang pada akhirnya akan dapat menjadi halangan bagi pengembangan Jalan Mulia khususnya moralitas yang menyokong Samadhi. Berikut adalah penjelasan tentang ucapan benar adiduniawi menurut MN 117:
... “Dan apakah, para bhikkhu, ucapan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian empat jenis perilaku ucapan yang salah, tidak melakukan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku ucapan yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah ucapan benar yang mulia, sebuah faktor dari sang jalan.” ...
4. *Perbuatan Benar*
Yang selanjutnya adalah perbuatan benar. Seperti pembahasan sebelumnya, sebelum masuk ke perbuatan benar kita akan membahas tentang perbuatan salah. Dalam MN 117 dinyatakan tentang perbuatan salah:
... “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan salah? Membunuh makhluk-makhluk hidup, mengambil apa yang tidak diberikan, dan melakukan hubungan seksual yang salah: ini adalah perbuatan salah.” ...
Penjelasan dari setiap poin perbuatan salah secara terperinci dapat kita lihat dalam AN 10.176. Suttanya:
... “Di sini, seseorang membunuh. Ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan kekerasan, tanpa belas kasih pada makhluk-makhluk hidup".
"Ia mengambil apa yang tidak diberikan. Ia mencuri kekayaan dan harta milik orang lain di desa atau hutan".
“Ia melakukan hubungan seksual yang salah. Ia melakukan hubungan seksual dengan perempuan-perempuan yang dilindungi oleh ibu mereka, oleh ayah mereka, oleh ibu dan ayah, saudara, saudari, atau kerabat mereka; yang dilindungi oleh Dhamma mereka; yang memiliki suami; yang pelanggarannya menuntut adanya hukuman; atau bahkan dengan seorang yang telah bertunangan.” ...
Setelah kita mengetahui tentang perbuatan salah, kita akan membahas tentang perbuatan benar. Perbuatan benar dalam MN 117 terbagi menjadi dua, yaitu duniawi dan adiduniawi
... “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar? Perbuatan benar, Aku katakan, ada dua jenis: ada perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan; dan ada perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan.” ...
Buddha Dhamma Secara Bertahap (34)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Kita akan membahas perbuatan benar satu per satu mulai dari duniawi. Dalam MN 117, terdapat tiga jenis perbuatan benar, yaitu menghindari membunuh, mencuri, dan perbuatan asusila. Berikut potongan Suttanya:
... “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan? Menghindari
membunuh makhluk-makhluk hidup, menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, menghindari hubungan seksual yang salah: ini adalah perbuatan benar yang terpengaruh oleh noda-noda, berhubungan dengan kebajikan, dan matang dalam perolehan.” ...
Penjelasan tentang perbuatan benar duniawi secara terperinci dapat dilihat pada AN 10.176. berikut adalah kutipan Suttanya:
... “Di sini, Cunda, setelah meninggalkan membunuh, ia menghindari membunuh. Dengan tongkat pemukul dan senjata dikesampingkan, berhati-hati dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas-kasih kepada semua makhluk hidup.
“Setelah meninggalkan mengambil apa yang tidak diberikan, ia menghindari mengambil apa yang tidak diberikan. Ia tidak mencuri kekayaan dan harta orang lain di desa atau di dalam hutan.
“Setelah meninggalkan hubungan seksual yang salah, ia menghindari hubungan seksual yang salah. Ia tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan perempuan yang dilindungi oleh ibu mereka, oleh ayah mereka, oleh ibu dan ayah, saudara, saudari, atau kerabat mereka; yang dilindungi oleh Dhamma mereka; yang memiliki suami; yang pelanggarannya menuntut adanya hukuman; atau bahkan dengan seorang yang telah bertunangan.” ...
Sementara itu, perbuatan benar adiduniawi adalah lebih menekankan pada penghentian tiga jenis perbuatan salah pada seorang mulia yang sedang mengembangkan Jalan Mulia. Hal ini dapat dengan mudah dimengerti.
Perbuatan salah yang dilakukan berulang ulang pada akhirnya akan dapat menjadi halangan bagi pengembangan Jalan Mulia khususnya moralitas yang menyokong Samadhi.
Berikut adalah penjelasan tentang perbuatan benar adiduniawi menurut MN 117:
... “Dan apakah, para bhikkhu, perbuatan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari tiga jenis perilaku jasmani yang salah, tidak melakukan, penahanan diri, penghindaran dari perilaku jasmani yang salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah perbuatan benar yang mulia, sebuah faktor dari sang jalan.”...
Berbicara mengenai perbuatan benar rasanya tidak hanya terbatas pada tiga jenis perbuatan salah di atas. Masih banyak jenis perbuatan-perbuatan salah lainnya seperti minum minuman memabukkan, berjudi,mengonsumsi narkotika secara salah, dan lain-lain. Kini tmbul pertanyaan bagaimana caranya mengetahui setiap tindakan yang diambil benar atau salah?
Dalam MN 61, Buddha mengajarkan kepada YA. Rāhula untuk selalu merefleksikan perbuatannya secara berulang-ulang baik sebelum ia berbuat, ketika berbuat, dan setelah berbuat. Ia diajarkan untuk merefleksikan perbuatannya seperti seorang yang bercermin. Berikut adalah potongan Suttanya :
... “Bagaimana menurutmu, Rāhula?
Apakah gunanya cermin?”
“Untuk merefleksikan, Yang Mulia.”
“Demikian pula, Rāhula, suatu
perbuatan melalui jasmani harus
dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan
melalui ucapan harus dilakukan
setelah direfleksikan berulang-ulang; suatu perbuatan melalui pikiran harus dilakukan setelah direfleksikan berulang-ulang.
“Rāhula, ketika engkau ingin melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan
jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya;ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau tidak boleh melakukan perbuatan melalui
jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang ingin kulakukan melalui jasmani ini tidak akan mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil yang menyenangkan,’ maka engkau boleh melakukan perbuatan melalui jasmani itu.
“Juga, Rāhula, ketika engkau sedang melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau
merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau harus menghentikan perbuatan melalui jasmani itu. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang sedang kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau
pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil
yang menyenangkan,’ maka engkau boleh melanjutkan perbuatan melalui jasmani itu.
“Juga, Rāhula, setelah engkau melakukan suatu perbuatan melalui jasmani, engkau harus merefleksikan perbuatan jasmani yang sama itu sebagai berikut: ‘Apakah perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya? Apakah ini adalah perbuatan jasmani dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan?’ Ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang telah kulakukan melalui jasmani ini mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani tidak bermanfaat dengan akibat yang menyakitkan, dengan hasil yang menyakitkan,’ maka engkau harus mengakui perbuatan melalui jasmani itu, mengungkapkannya, dan menceritakannya kepada guru atau temanmu yang bijaksana dalam kehidupan suci. Setelah mengakuinya, mengungkapkannya, dan menceritakannya, engkau harus
menjalani pengendalian di masa depan. Tetapi ketika engkau merefleksikan, jika engkau mengetahui: ‘Perbuatan yang
telah kulakukan melalui jasmani ini tidak mengarah pada penderitaanku, atau pada penderitaan makhluk lain, atau pada penderitaan keduanya; ini adalah perbuatan jasmani bermanfaat dengan akibat yang menyenangkan, dengan hasil
yang menyenangkan,’ maka engkau dapat berdiam dengan bahagia dan gembira, berlatih siang dan malam dalam kondisi kondisi bermanfaat.” ... (Dilanjutkan dengan pengulangan yang sama untuk perbuatan melalui ucapan dan pikiran) ...
Perumpamaan cermin ini sangatlah membantu seseorang untuk mengetahui apakah perbuatannya benar atau tidak. Pada kenyataannya, ketika akan melakukan satu perbuatan beberapa penilaian kita mungkin subjektif, namun setelah hasil dari perbuatan itu buruk, maka kita telah melakukan suatu perbuatan salah. Dan kita harus mengakuinya dan berjanji untuk memiliki pengendalian di masa depan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (35)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
5. Penghidupan Benar.
Sebelum memasuki penghidupan benar, kita akan membahas tentang penghidupan salah. Dalam MN 117 disebutkan tentang penghidupan salah:
... “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan salah? Berkomplot (kuhanā), membujuk (lapanā), mengisyaratkan (nemittikatā), merendahkan (nippesikatā), mengejar keuntungan dengan keserakahan (lābhena lābhaṃ nijigīsanatā): ini adalah penghidupan salah.” ...
Pada penjelasan kali ini, saya sengaja memberikan kata Palinya. Karena pada potongan Sutta ini, kata-kata itu memiliki
definisi yang agak berbeda, tergantung pada interpretasi penerjemahnya. Pada teks di atas adalah tulisan terjemahan Bhante Bodhi. Penjelasan terhadap lima hal ini tidak terdapat di Sutta Pitaka. Oleh sebab itu, saya akan mengambil dari Abhidhamma (Vb. 17) dan sumber non Pali (Arv. 19) sebagai bahan rujukan untuk mengetahui secara garis besar maksud dari tiap kata penghidupan salah.
Penjelasan pertama adalah Vibhanga 17, salah satu bagian dari Abhidhamma Pitaka, yang diterjemahkan oleh U Thitila. Dan penjelasan kedua berasal dari Arthaviniścaya 19, salah satu teks
non Pali yang diterjemahkan oleh Bhante Ānandajoti. Kedua teks ini akan diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
I. Kuhanā
Menurut Vb 17 :
... “Apa itu ‘tipu muslihat’? Dalam seseorang yang bergantung pada perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, yang memiliki keinginan buruk, yang terganggu oleh keinginan: dengan apa yang disebut menggunakan persyaratan, dengan berbicara menyinggung, dengan memasang atau menerapkan atau dengan benar mengatur postur: mengatur kening, tindakan mengatur kening, tipu daya, menjadi licik, keadaan menjadi licik. Ini disebut tipu muslihat.” ...
Menurut Arv 19 :
... “Di sini apakah licik? Seorang Bhikṣu, setelah melihat penderma, setelah menyilangkan kakinya, duduk di tempat yang kosong di sepanjang jalan, dengan pikiran: Akan ada perolehan dan penghormatan untuk saya jika mereka berpikir: petapa yang sedang bermeditasi ini adalah seorang Arahat.” ...
Secara garis besar dapat disimpulkan “kuhanā” adalah tindakan menipu/licik untuk mengelabuhi orang lain demi perolehan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (36)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
II. Lapanā
Menurut Vb 17 :
... “Di sini apakah ‘berkata menyinggung’? Dalam seseorang yang bergantung pada perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, yang memiliki keinginan buruk, yang terganggu oleh keinginan: hal itu yang adalah sambutan hangat bagi
orang lain, berkata secara menyinggung, berkata secara menghibur, berkata secara memuji, berkata secara menyanjung, berkata secara menyimpulkan, berkata dengan menyimpulkan berulang-ulang, berkata secara membujuk, berkata yang menyenangkan, mengiakan (dalam pembicaraan), merayu-rayu (dalam berbicara), mengayun-ayun (perilaku). Ini disebut pembicaraan menyindir.” ...
Menurut Arv 19 :
... “Di sini apakah penjilat? Di sini seorang Bhikṣu untuk mendapatkan perolehan dan penghormatan berkata: Kau adalah ibuku, kau adalah ayahku, kau adalah saudara perempuanku, kau adalah anak perempuanku, dan ucapan-ucapan seperti ini juga kata-kata cinta lainnya. Inilah yang disebut dengan penjilat.” ...
Secara garis besar dapat disimpulkan “lapanā” adalah “berucap manis” demi perolehan.
III. Nemittikatā
Menurut Vb 17 :
... “Di sini apakah ’mengisyaratkan’? Dalam seseorang yang bergantung pada perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, yang memiliki keinginan buruk, yang terganggu oleh keinginan: hal itu yang bagi orang lain adalah sebuah tanda, mengisyaratkan, mengatakan isyarat, memberi petunjuk, mengatakan kiasan, perbincangan yang berputar pada satu hal. Inilah yang disebut mengisyaratkan.” ...
Menurut Arv 19 :
... “Di sini apakah pengisyarat? Seorang Bhikṣu, setelah memakan makanannya, berulang kali berkata: Dana makan seperti ini tidak ditemukan di rumah umat awam lain. Jika ia berbicara dengan pikiran bebas dari menginginkan perolehan atau penghormatan, itu bukanlah sebuah kesalahan. Inilah
yang disebut dengan pengisyarat.” ...
Dapat disimpulkan bahwa “nemittikatā” adalah memberikan isyarat dengan berbagai cara demi memperoleh suatu perolehan.
IV. Nippesikatā
Menurut Vb 17 :
... “Di sini apakah ‘pencemaran nama baik’? Dalam seseorang yang bergantung pada perolehan, kehormatan, dan kemasyhuran, yang memiliki keinginan buruk, yang terganggu oleh keinginan: hal itu yang bagi orang lain adalah pelecehan, mencaci maki, mencela, mencibir, mencibir secara berulang-ulang, mengejek, mengejek secara berulang ulang, mencemarkan nama baik, mencemarkan nama baik secara berulang ulang, menyebarkan desas-desus, melakukan fitnah. Inilah yang disebut pencemaran nama baik.” ...
Menurut Arv 19 :
... “Di sini apakah pemeras? Seorang Bhikṣu, yang tidak menerima derma makanan pada suatu rumah, menginginkan itu diberikan, mengatakan ini di tempat itu: Mereka yang tidak memberi pergi ke neraka, anda tentu adalah salah satu dari mereka yang tidak memberi, dan akan terlahir kembali di neraka. Karena kahwatir dan ketakutan dengan neraka ia memberikan derma makanan, dan ia menerima dan menikmati itu. Inilah yang disebut pemeras.” ...
Terdapat perbedaan di sini dalam penafsiran “nippesikatā”, namun kita dapat mengambil benang merah bahwa “nippesikatā” adalah mengatakan hal yang tidak benar dan tidak baik demi suatu perolehan.atau penghormatan, itu bukanlah sebuah kesalahan. Inilah yang disebut dengan pengisyarat.” ...
Dapat disimpulkan bahwa “nemittikatā” adalah memberikan isyarat dengan berbagai cara demi memperoleh suatu perolehan.
Dari lima jenis penghidupan salah di atas, terdapat penghidupan salah lainnya yang tidak layak dilakukan oleh seorang Samana. Hal itu adalah penghidupan penghidupan yang dilakukan oleh umat awam seperti bertani, berkebun, beternak, berdagang, menjadi kurir, menjadi pawang hujan, dukun, dan lain-lain. Singkatnya, seorang Bhikkhu tidak dibenarkan dalam mencari penghidupan layaknya umat awam apalagi dengan cara yang tidak benar. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat di DN 1 bagian Mahasila/ bagian panjang tentang moralitas.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (38)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Yang selanjutnya adalah penghidupan benar adiduniawi. Dalam MN 117 dikatakan tentang penghidupan benar adiduniawi adalah sebagai berikut:
... “Dan apakah, para bhikkhu, penghidupan benar yang mulia, tanpa noda, melampaui keduniawian, sebuah faktor dari sang jalan? Pemberhentian dari penghidupan salah, tidak melakukan, penahanan diri, penghindaran dari penghidupan salah dalam diri seseorang yang pikirannya mulia, yang pikirannya tanpa noda, yang memiliki jalan mulia dan yang mengembangkan jalan mulia: ini adalah penghidupan benar yang mulia, sebuah faktor dari sang jalan.” ...
Berdasarkan kutipan Sutta di atas, dapat disimpulkan bahwa penghidupan benar adiduniawi adalah lebih menekankan
pada penghentian penghidupan salah pada seseorang mulia yang sedang mengembangkan Jalan Mulia. Hal ini dapat dengan mudah dimengerti. Penghidupan salah yang dilakukan berulang-ulang pada akhirnya akan dapat menjadi halangan bagi pengembangan
Jalan Mulia khususnya moralitas yang menyokong Samadhi.
6. Usaha Benar
Definisi usaha benar terdapat di dalam SN 45.8:
... “Dan apakah, para bhikkhu, usaha benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu memunculkan keinginan untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang belum muncul; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berupaya. Ia memunculkan keinginan untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat yang telah muncul …
Ia memunculkan keinginan untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul.
Ia memunculkan keinginan untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul, untuk ketidak-mundurannya, meningkatkannya, memperluasnya, dan memenuhinya melalui pengembangan; ia berusaha, membangkitkan kegigihan, mengarahkan pikirannya, dan berupaya. Ini disebut usaha benar.” ...
Dari potongan Sutta di atas, dapat disimpulkan empat poin usaha benar. Empat poin itu adalah sebagai berikut :
1. Usaha untuk tidak memunculkan kondisi-kondisi buruk yang belum muncul.
2. Usaha untuk meninggalkan kondisi-kondisi buruk yang telah muncul.
3. Usaha untuk memunculkan kondisi-kondisi bermanfaat yang belum muncul.
4. Usaha untuk mempertahankan kondisi-kondisi bermanfaat yang telah muncul.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (39)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Keempat poin itu juga terdapat di dalam AN 4.14, empat poin itu disingkat menjadi usaha untuk mengendalikan (saṃvarappadhāna), usaha untuk meninggalkan (pahānappadhāna), usaha untuk mengembangkan (bhāvanāppadhāna), dan usaha untuk melindungi (anurakkhaṇāppadhāna).
I. Saṃvarappadhāna
... “Dan apakah, para bhikkhu, usaha dengan mengendalikan? Di sini, setelah melihat bentuk dengan mata, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya. Karena, jika ia membiarkan indria mata tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya, ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria mata, ia menjalankan pengendalian indria mata. Setelah mendengar suara dengan telinga. Setelah mencium bau-bauan dengan hidung.
Setelah mengecap rasa kecapan dengan lidah. Setelah merasakan objek sentuhan dengan badan. Setelah mengenali fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menggenggam tanda-tanda dan ciri-cirinya.
Karena, jika ia membiarkan indria pikiran tidak terkendali, maka kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat berupa kerinduan dan kesedihan dapat menyerangnya. Ia berlatih mengendalikannya, ia menjaga indria pikiran, ia menjalankan pengendalian indria pikiran. Ini disebut usaha dengan mengendalikan.” ...
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha mengendalikan adalah usaha seseorang, dengan penuh perhatian mengendalikan enam indranya untuk tidak menyebabkan kondisi kondisi buruk berupa kerinduan dan kesedihan muncul.
II. Pahanāppadhāna
... “Dan apakah usaha dengan meninggalkan? Di sini, seorang bhikkhu tidak membiarkan pikiran indriawi yang telah muncul; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentkannya, dan melenyapkannya. Ia tidak membiarkan pikiran berniat buruk yang telah muncul, pikiran mencelakai yang telah muncul, i kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat kapan pun munculnya; ia meninggalkannya, menghalaunya, menghentikannya dan melenyapkannya. Ini disebut usaha dengan meninggalkan.” ...
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha meninggalkan adalah usaha untuk meninggalkan tiga jenis pikiran salah, yaitu pikiran indrawi, pikiran niat buruk, dan pikiran mencelakai yang telah muncul.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (41)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
6. Perhatian Benar
Perhatian benar adalah poin ke-tujuh dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan. Pengertian perhatian benar terdapat pada SN 45.8 dan DN 22, yakni adalah
sebagai berikut :
... “Dan apakah, para bhikkhu, perhatian benar? Di sini, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam dengan merenungkan jasmani dalam jasmani (kāye kāyānupassī viharati), tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia.
“Ia berdiam dengan merenungkan perasaan dalam perasaan
(vedanāsu vedanānupassī viharati), tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia.
“Ia berdiam dengan merenungkan pikiran dalam pikiran (citie citiānupassī viharati), tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia.
“Ia berdiam dengan merenungkan fenomena dalam fenomena (dhammesu dhammānupassī viharati), tekun, memahami dengan jernih, penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia. Ini disebut perhatian benar.” ...
Berdasarkan pada kutipan Sutta di atas, terdapat empat landasan perhatian di sini yaitu jasmani, perasaan, pikiran, dan fenomena.
Empat ini adalah objek untuk penegakkan perhatian. Mengenai ketamakan dan ketidak-senangan (abhijjhādomanassaṃ) adalah dua hal yang berhubungan dengan lima rintangan meditasi (pañca nivarana) yang menghalangi seseorang dalam mencapai Jhāna, lebih spesifiknya adalah nafsu indrawi (kāmacchanda) dan niat
buruk (byāpāda)[52]. Ketika seseorang telah terasing dari hal ini, maka diharapkan seseorang dapat dengan penuh perhatian mengamati empat landasan perhatian ini.
Definisi lainnya terdapat pada MN 117, di sana, perhatian benar adalah ketika seseorang dengan penuh perhatian meninggalkan pandangan; pikiran; ucapan; perbuatan; penghidupan salah dan memasuki pandangan; pikiran; ucapan; perbuatan; penghidupan benar. Inilah sekilas tentang perhatian benar.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (42)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Berdasarkan pada AN 5.48, dapat disimpulkan formula Jhāna sebagai berikut :
Jhāna 1
Vivekaja : Keterasingan, dari kenikmatan indra dan hal-hal buruk. Memunculkan vitakka, vicāra, piti, sukha.
Vitakka : Pengarahan Sati ke objek
Vicāra : Mempertahankan Sati agar tetap di objek
Piti : Rasa Giur/sukacita
Sukha : Kebahagiaan/kenikmatan
Jhāna 2
Samadhi : Konsentrasi tanpa Vittaka dan Vicāra
Piti : Rasa Giur/sukacita
Sukha : Kebahagiaan/kenikmatan
Jhāna 3
Uppekha : Perhatian (Sati) yang tenang, sadar penuh, dan jernih.
Sukha : Kebahagiaan/ kenikmatan
Jhāna 4
Parisuddhi : Kesadaran (sati) yang kuat, lentur dan seimbang, Uppekha mudah diarahkan.
Di AN 5.48 juga menjelaskan bagaimana rasanya masing-masing Jhāna yang akan dirasakan oleh seseorang yang mencapainya. Dikatakan di dalam Jhāna pertama, seseorang akan merasakan kegiuran dan kebahagiaan yang berasal dari keterasingan meliputi seluruh tubuhnya. Berikut adalah kutipannya:
... “Ia membuat sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air;” ...
Selanjutnya pada Jhāna ke-dua, seseorang akan merasakan kegiuran dan kebahagiaan yang berasal dari konsentrasi meliputi seluruh tubuhnya. Berikut adalah kutipannya:
... “Ia membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputi oleh air sejuk itu;”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (43)
~ Bhikkhu Cittajayo & Arya Karniawan
Pada Jhāna ke-tiga, ia merasakan kebahagiaan yang tanpa kegiuran (piti). Seseorang yang mencapai Jhāna ke-tiga ini juga dinyatakan oleh para mulia sebagai ‘Ia seimbang, penuh perhatian,
seorang yang berdiam dengan bahagia.’ Berikut adalah kutipannya:
... “Ia membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam teratai biru atau merah atau putih, beberapa
teratai tumbuh dan berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk;” ...
Dan yang terakhir Jhāna ke-empat. Pada pencapaian ini tidak ada lagi kebahagiaan, yang ada hanyalah perhatian pikiran yang telah dimurnikan hingga murni dan cerah. Berikut adalah kutipannya:
... “Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari
kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu.” ...
Setelah pikiran benar-benar murni dan cerah, seseorang dapat merealisasikan kondisi apapun melalui pengetahuan langsung dengan mengarahkan pikirannya jika memiliki landasan yang tepat. Pada keadaan ini, seseorang dapat mengarahkan pikirannya pada pelenyapan noda-noda untuk melenyapkan penderitaan. Atau jika ia menginginkan yang lebih tinggi, ia dapat merealisasikan pencapaian Arūpa terlebih dahulu dan dengan kebijaksanaan mencapai lenyapnya persepsi dan perasaan (saññāvedayitanirodha).
Pada dua hal inilah, dukkha dapat diakhiri. Inilah pembahasan tentang 'konsentrasi benar'
Buddha Dhamma Secara Bertahap (44)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Membangkitkan Samvega.
Setelah anda mempelajari tentang dukkha dan Sang Jalan menuju lenyapnya dukkha, serta telah menyelidiki dan menyimpulkan bahwa akhir dukkha dapat
dicapai, kini saatnya anda untuk mempelajari tentang apa itu saṃvega.
Saṃvega adalah bahasa Pali yang sulit sekali ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Secara singkat, saṃvega diterjemahkan sebagai “keterdesakan”. Saṃvega adalah rasa takut, khawatir, dan terdesak untuk segera melakukan apa yang perlu dilakukan dan mencapai apa yang harus dicapai, yang dalam hal ini adalah pencapaian Nibbana karena masa depan tidaklah pasti.
Di dalam beberapa Sutta, terdapat beberapa orang yang setelah mendengarkan Ajaran Buddha, dan memperoleh keyakinan terhadap Beliau pada akhirnya berpikir:
... “Kehidupan rumah tangga adalah ramai dan berdebu; kehidupan meninggalkan keduniawian terbuka lebar. Tidaklah mudah, selagi hidup di rumah, menjalani kehidupan suci yang sepenuhnya sempurna dan murni bagaikan kulit kerang yang dipoles. Bagaimana jika aku mencukur rambut dan janggutku,
mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah?”...
Setelah mereka merenungkan demikian, tak lama mereka meninggalkan kekayaan mereka, entah banyak atau sedikit, meninggalkan keluarga yang besar atau kecil, lalu mencukur rambut dan janggutnya, mengenakan jubah kuning, dan meninggalkan keduniawian dari kehidupan rumah tangga menuju kehidupan tanpa rumah. Ini terjadi karena mereka terdorong oleh pikiran saṃvega/keterdesakan. Apakah anda, setelah membaca semua bab di bab-bab sebelumnya telah memiliki keinginan untuk meninggalkan keduniawian? Jika anda belum memilikinya, maka anda perlu untuk mempertimbangkan beberapa hal ini :
Sungguh sulit terlahir sebagai seorang manusia,
Sungguh sulit bertahan hidup sebagai manusia,
Sungguh sulit dapat mendengarkan Dhamma Sejati, dan
Sungguh sulit ditemui kemunculan para Buddha. (Dhp 182)
Saya sengaja mengutip syair Dhammapada ini untuk menjelaskan kepada para pembaca bahwa apa yang telah anda peroleh saat ini adalah sangat sulit untuk diperoleh di kemudian hari. Kita lihat syair pertama dan ke-dua, apakah benar sulit untuk menjadi manusia? Sesulit apakah terlahir sebagai manusia? Buddha memberikan perumpamaan dalam SN 56.47:
..“Para bhikkhu, misalkan seseorang melemparkan sebuah kuk berlubang satu ke tengah samudra raya, dan ada seekor kura-kura buta yang akan naik ke permukaan, sekali setiap seratus tahun. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu,
dapatkah kura-kura buta itu, yang naik ke permukaan setoiap seratus tahun sekali, memasukkan lehernya ke dalam kuk berlubang satu itu?”
“Jika kura-kura itu bisa, Yang Mulia, pasti setelah waktu yang sangat lama sekali.”
“Adalah lebih cepat, Aku katakan, bagi kura-kura buta itu, yang naik ke permukaan setiap seratus tahun sekali, memasukkan lehernya ke dalam kuk berlubang satu itu daripada orang dungu yang telah pergi ke alam rendah [dapat memperoleh] kelahiran di alam manusia. Karena alasan apakah? Karena di sini, para bhikkhu, tidak ada perilaku yang dituntun oleh Dhamma, tidak ada perilaku baik, tidak ada aktivitas bermanfaat, tidak ada aktivitas berjasa. Di sana-sini
diselimuti dengan tindakan saling menyerang, menyerang yang lemah.” ....
Buddha Dhamma Secara Bertahap (45)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Pada kehidupan sebelumnya, tidak menutup kemungkinan kita adalah penghuni alam rendah. Kelahiran sebagai manusia adalah jarang diperoleh, namun sekarang kita terlahir sebagai manusia, dengan indra yang lengkap, dan memiliki akar kebajikan yang tidak hancur. Kita juga terlahir di tempat yang sesuai, di mana keadaan negeri kita ini sedang damai, pemerintahan berjalan dengan baik, tanpa perang pertumpahan darah. Sementara di negeri lain sebut saja wilayah timur tengah, di mana orang orang berada di medan perang, tiap harinya banyak yang terbunuh, sulit bertahan hidup di sana. Atau jika di wilayah terdampak bencana alam seperti gunung meletus dan tsunami.
Terkadang juga tubuh ini sakit keras, bahkan dapat berbatasan dengan kematian. Namun kita semua sampai saat ini masih bertahan hidup, kita mampu untuk bertahan hidup terlepas dari seberapa besar perjuangan kita untuk tetap mempertahankan kehidupan ini.
Mari kita lihat syair ke-tiga dan ke-empat. Sejarang apakah kemunculan seorang Samma Sambuddha? Sesulit apakah kita
dapat mendengarkan Dhamma Sejati, Dhamma yang menuntun menuju lenyapnya dukkha? Dalam SN 56.48 Buddha memberikan perumpamaan demikian:
“Para bhikkhu, misalkan seluruh bumi ini menjadi air, dan seseorang melemparkan sebuah kuk berlubang satu ke permukaan air. Angin timur akan meniupnya ke barat; angin barat akan meniupnya ke timur; angin utara akan meniupnya ke selatan; angin selatan akan meniupnya ke utara. Ada seekor kura-kura buta yang akan naik ke permukaan, sekali setiap seratus tahun. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, dapatkah kura-kura buta itu, yang naik ke permukaan setiap seratus tahun sekali, memasukkan lehernya ke dalam kuk berlubang satu itu?”
“Mungkin saja secara kebetulan, Yang Mulia, kura-kura buta itu, yang naik ke permukaan setiap seratus tahun sekali, memasukkan lehernya ke dalam kuk berlubang satu itu.”
“Demikian pula, para bhikkhu, adalah secara kebetulan seseorang terlahir sebagai manusia; kebetulan seorang Tathāgata, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna muncul di dunia; kebetulan Dhamma dan Disiplin yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata menyinari dunia.
“Kalian telah memperoleh kelahiran sebagai manusia, para bhikkhu; seorang Tathāgata, seorang Arahant, Yang Tercerahkan Sempurna telah muncul di dunia; Dhamma dan Disiplin yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata menyinari dunia.” ...
Dari perumpamaan di atas, dapat kita simpulkan kemungkinannya mengecil, karena seluruh dunia menjadi lautan samudra. Dapat dibayangkan oleh kita, kemungkinan yang kecil itu sekarang kita peroleh, walaupun Sang Buddha telah parinibbāna, namun Dhamma Sejati masih bisa dipelajari dan dipraktikkan.
Setelah memahami hal ini, apalagi alasan untuk menunda pelepasan keduniawian? Kehidupan kita tidak pasti, namun kematian kita adalah pasti. Semua makhluk pasti mati, mengikuti hukum alam ketidak-kekalan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (46)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Pada AN 5.78, Buddha berkhotbah tentang bahaya masa depan, yang karenanya seorang Bhikkhu harus segera memperoleh apa yang belum diperoleh dan merealisasikan apa yang belum direalisasikan:
... “ketika seorang bhikkhu hutan memperrtimbangkan lima bahaya masa depan, cukuplah baginya untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh sungguh untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
Apakah lima ini?
(1) “Di sini, seorang bhikkhu hutan merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku masih muda, seorang pemuda berambut hitam yang memiliki berkah kemudaan, dalam masa utama kehidupan. Tetapi akan tiba saatnya ketika usia tua menyerang tubuh ini. Ketika seseorang sudah tua, dikuasai oleh usia tua, tdaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara.
Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun aku sudah tua.’ Ini adalah
bahaya masa depan pertama yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
(2) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang aku jarang sakit atau menderita; aku memiliki pencernaan yang baik yang tidak terlalu dingin juga tidak terlalu panas melainkan sedang dan sesuai untuk berusaha. Tetapi akan tiba saatnya ketika penyakit menyerang tubuh ini. Ketika seseorang sakit, dikuasai oleh penyakit, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara.
Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun aku sakit.’ Ini adalah
bahaya masa depan ke dua yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (47)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
(3) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang ada cukup makanan; ada panen yang baik dan dana makanan berlimpah, sehingga seseorang dapat dengan mudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi bencana kelaparan, panen yang buruk, ketika dana makanan sulit diperoleh dan seseorang tidak dapat dengan mudah bertahan dengan mengumpulkan sedikit demi sedikit. Pada masa bencana kelaparan, orang-orang pindah ke tempat-tempat di mana tersedia cukup makanan dan kondisi
kehidupan di sana padat dan ramai. Ketika kondisi kehidupan padat dan ramai, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara.
Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman bahkan dalam masa bencana kelaparan.’ Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan bersungguh-sungguh untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
(4) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang orang-orang berdiam dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, bercampur bagaikan susu dengan air, saling melihat satu sama lain dengan tatapan kasih sayang. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi mara bahaya, badai berbahaya di dalam hutan belantara, ketika orang-orang di pedalaman, menaiki kendaraan mereka, pergi ke berbagai arah. Pada masa bahaya, orang-orang pindah ke tempat-tempat di
mana terdapat keamanan dan kondisi kehidupan di sana padat dan ramai. Ketika kondisi kehidupan padat dan ramai, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara.
Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman bahkan dalam masa bahaya.’ Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh, dan
bersungguh-sungguh untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (48)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
(5) “Kemudian, seorang bhikkhu merefleksikan sebagai berikut: ‘Sekarang Saṅgha berdiam dalam kenyamanan - dalam kerukunan, dengan harmonis, tanpa perselisihan, dengan pelafalan tunggal. Tetapi akan tiba saatnya ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha. Ketika terjadi perpecahan dalam Saṅgha, tidaklah mudah untuk menjalankan ajaran para Buddha; tidaklah mudah untuk mendatangi tempat-tempat terpencil di dalam hutan dan belantara.
Sebelum kondisi yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak menyenangkan itu menghampiriku, biarlah aku terlebih dulu membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
Dengan demikian ketika aku berada dalam kondisi itu, aku akan berdiam dengan nyaman walaupun terjadi perpecahan dalam Saṅgha.’ Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang dengan mempertimbangkannya cukuplah bagi seorang bhikkhu untuk berdiam dengan waspada, teguh dan bersungguh-sungguh untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.” ...
Apakah anda, setelah membaca Sutta ini, merasa “terlambat”? Selama penyakit yang sangat parah belum menyerang anda, dan selama kematian belum datang, anda belum terlambat. Anda mungkin tua dan agak berpenyakit, di sinilah anda harus membangkitkan kemauan anda untuk dapat meninggalkan keduniawian dan mempraktikkan Dhamma Sejati. Bagi anda yang masih muda dan sehat, seharusnya tidak perlu menunggu hingga pelepasan keduniawian menjadi makin sulit dilakukan. Berbicara mengenai ketidak-kekalan, masa-masa Dhamma Sejati juga tidaklah kekal. Semakin hari kemunduran Dhamma semakin terlihat, artinya semakin sulit untuk mencapai apa yang harus dicapai. Hal itu Buddha babarkan dalam AN 5.79:
... (1) “Di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka akan memberikan penahbisan penuh kepada orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Pada gilirannya
mereka akan memberikan penahbisan penuh kepada orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam
perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan pertama yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (49)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
(2) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Mereka akan menjadi tempat bergantung bagi orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Pada gilirannya mereka akan menjadi tempat bergantung bagi orang lain tetapi tidak mampu mendisiplinkan mereka dalam perilaku bermoral yang lebih tinggi, pikiran yang lebih tinggi, dan kebijaksanaan yang lebih tinggi. [Murid-murid] ini juga
Tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke dua yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.
(3) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Sewaktu terlibat dalam pembicaraan yang berhubungan dengan Dhamma, dalam pertanyaan-dan-jawaban, mereka akan tergelincir ke dalam Dhamma gelap tetapi tidak menyadarinya.
Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke tiga yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.
(4) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Ketika khotbah khotbah yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata sedang dilafalkan secara
mendalam, dengan makna yang mendalam, melampaui keduniawian, berhubungan dengan kekosongan, mereka tidak ingin mendengarkannya, tidak menyimaknya, dan tidak mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka tidak berpikir bahwa ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan diketahui. Tetapi ketika khotbah-khotbah yang sedang dilafalkan itu hanya sekedar puisi yang digubah oleh para penyair, indah dalam kata-kata dan frasanya, diciptakan oleh pihak luar, dibabarkan oleh para siswa, mereka ingin mendengarkannya, menyimaknya, dan mengarahkan pikiran mereka untuk memahaminya; mereka akan berpikir bahwa ajaran-ajaran itu seharusnya dipelajari dan diketahui.
Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma. Ini adalah bahaya masa depan ke empat yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (50)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
(5) “Kemudian, di masa depan, akan ada para bhikkhu yang tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan. Para bhikkhu senior—karena tidak terkembang dalam jasmani, perilaku bermoral, pikiran, dan kebijaksanaan—akan hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor
dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan; mereka tidak akan membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan.
Mereka dalam generasi berikutnya akan mengikuti teladan mereka. Mereka juga, akan hidup mewah dan menjadi mengendur, menjadi pelopor dalam kemerosotan, mengabaikan tugas keterasingan; mereka juga tidak akan
membangkitkan kegigihan untuk mencapai apa-yang-belum-dicapai, untuk memperoleh
apa-yang-belum-diperoleh, untuk merealisasikan apa-yang-belum-direalisasikan. Demikianlah, para bhikkhu, melalui kerusakan Dhamma maka terjadi kerusakan disiplin, dan dari kerusakan disiplin maka terjadi kerusakan Dhamma.
Ini adalah bahaya masa depan ke lima yang belum muncul yang akan muncul di masa depan. Kalian harus mengenalinya dan berusaha untuk meninggalkannya.” ...
Kita semua memang kurang beruntung dalam hal ini, kita terlahir 2600 tahun lebih lama sehingga kita tidak dapat
mendengarkan langsung Dhamma Sejati yang dibabarkan oleh Sang Tathāgata. Kita terlahir di mana kemunduran Dhamma terlihat dengan jelas. Sudah menjadi rahasia umum kalau banyak
perilaku bhikkhu di zaman sekarang tudak mencerminkan perilaku layaknya seorang petapa. Ditambah kita telah melewati periode Dhamma Sejati, yang konon juga hanya 500 tahun setelah
Parinibbāna Sang Buddha. Tapi janganlah berkecil hati, walaupun masa-masa kejayaan Dhamma Sejati telah berlalu, akhir dukkha masih dapat dicapai saat ini walaupun lebih sulit dari masa ketika Buddha masih hidup. Namun hal itu akan lebih sulit lagi jika kita terus menerus mengulur waktu, menunda mengambil langkah besar kita. Sekaranglah saatnya, jangan menunda lagi!
Buddha Dhamma Secara Bertahap (51)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Berikut syair Theragāthā yang dapat menginspirasi kita untuk meninggalkan keduniawian.
16.10 Pārāpariyatiheragāthā...
Sewaktu sang petapa mempraktikkan jhāna, duduk dalam keterasingan, terpusat, dihutan yang penuh dengan bunga, Pemikiran ini muncul padanya:
“Perilaku para bhikkhu masa kini tampaknya berbeda dengan ketika Sang Raja Dunia, Yang terbaik di antara manusia, masih ada. Jubah mereka hanya untuk menutupi bagian pribadi, dan untuk melindungi dari dingin dan angin;
Mereka makan secukupnya,
Puas dengan apapun yang diberikan.
Apakah halus atau kasar, Sedikit atau banyak, mereka makan hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Tanpa serakah atau rakus.
Mereka tidak menginginkan
Benda-benda kebutuhan hidup,
Seperti tonik dan kebutuhan lainnya,
Seperti mereka menginginkan akhir kekotoran.
Di dalam hutan, di bawah pepohonan,
Di dalam gua kecil dan besar,
Berkomitmen pada keterasingan,
Mereka hidup dengan itu sebagai tujuan akhir.
Mereka terbiasa dengan hal-hal sederhana, dan mudah dilayani, lembut, batin mereka tidak membandel, tak tercela, tak banyak bicara, batin mereka terarah pada tujuan.
Dengan cara inilah mereka menginspirasi keyakinan, dalam gerakan, cara makan, dan praktik mereka;
Tata-laku mereka halus bagaikan aliran minyak.
Dengan berakhirnya segala kekotoran, Para bhikkhu senior itu sekarang telah merealisasikan nibbāna;
Mereka adalah para meditator besar dan penolong besar.
Sedikit yang seperti mereka pada masa kini.
Dengan berakhirnya prinsip prinsip kebaikan dan pemahaman yang baik,
Ajaran Sang Penakluk, yang penuh dengan kualitas-kuliatas baik, telah hancur berantakan.
Sekarang adalah musim bagi Prinsip-prinsip buruk dan kekotoran.
Mereka yang siap untuk keterasingan adalah apa yang tersisa dari Dhamma sejati.
Ketika mereka tumbuh, kekotoran-kekotoran menguasai banyak orang;
Mereka bermain-main dengan orang-orang dungu, aku percaya, bagaikan setan bermain-main dengan orang-orang gila. Dikuasai oleh kekotoran-kekotoran, mereka berlarian kesana-kemari di antara penyebab-penyebab kekotoran, seolah-olah mereka menyatakan perang dengan diri mereka sendiri.
Setelah meninggalkan Dhamma sejati, mereka saling berdebat;
Mengikuti pandangan-pandangan salah mereka berpikir, ‘Ini lebih baik.’
Mereka meninggalkan harta kekayaan, anak-anak, dan istri untuk meninggalkan keduniawian; Tetapi kemudian mereka melakukan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan, demi sesendok kecil dana makanan. Mereka makan hingga perut mereka penuh, dan kemudian mereka berbaring telentang untuk tidur. Ketika mereka terjaga kembali, mereka terus berbicara, jenis pembicaraan yang dicela Sang Guru.
Menghargai segala seni dan keterampilan, mereka berlatih di dalamnya; tidak tenang dalam batin,
Mereka berpikir, ‘Ini adalah tujuan dari kehidupan pertapaan’.
Mereka memberikan tanah, minyak, dan bedak, air, tempat tinggal, dan makanan untuk para perumah tangga, mengharapkan lebih dari itu sebagai imbalan.
Serta buah kawista, Bunga-bunga, makanan, dana makanan yang telah dimasak, buah mangga dan kemloko.
Dalam hal pengobatan mereka seperti dokter, dalam hal bisnis seperti perumah tangga, dalam hal riasan seperti pelacur, dalam hal kekuasaan seperti raja kecurangan, penuh tipuan, saksi palsu, kelicikan:
Menggunakan banyak rencana,
Mereka menikmati benda-benda materi. Berpura-pura, memikirkan cara, dan merencanakan, dengan cara ini mereka menimbun banyak harta kekayaan demi penghidupan mereka.
Mereka mengumpulkan komunitas
Demi bisnis daripada demi Dhamma.
Mereka mengajarkan Dhamma kepada orang lain demi perolehan, bukan demi tujuan.
Mereka yang di luar Saṅgha
Bertengkar demi harta Saṅgha.
Mereka tidak tahu malu, dan tidak peduli bahwa mereka hidup dari harta orang lain. Beberapa orang yang mencukur rambut dan mengenakan jubah luar, tidak menekuni praktik, melainkan hanya ingin dihormati, tergila-gila dengan harta dan penghormatan.
Ketika sudah terjadi seperti ini, tidaklah mudah pada masa kini untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan, atau mempertahankan apa yang telah direalisasikan.
Seseorang yang dengan perhatian ditegakkan dapat berjalan tanpa sepatu bahkan di tanah berduri;
Itu adalah bagaimana seorang bijaksana berjalan di desa.
Dengan mengingat para meditator masa lalu, dan mengingat perilaku mereka; Bahkan di kemudian hari, adalah masih mungkin untuk merealisasikan tanpa-kematian.”
Itu adalah apa yang Sang Petapa, yang indria-indriaNya terkembang sempurna, katakan di hutan pepohonan sāla.
Orang suci itu, Sang Bijaksana, telah merealisasikan nibbāna:
Mengakhiri kelahiran kembali ke dalam kehidupan apapun juga.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (52)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Jadilah Bermoral!
Ketika dengan penuh keyakinan meninggalkan kehidupan perumah tangga dan menjalani kehidupan suci dengan menjadi seorang Samana. Pada tahap ini, anda bagaikan seekor kuda yang belum dijinakkan, pertama-tama
anda akan diajarkan untuk terbiasa memakai tali kekang.
... “Demikianlah ketika Sang Tathāgata mendapatkan seseorang untuk dijinakkan pertama-tama Beliau mendisiplinkannya sebagai berikut: ‘Marilah, Bhikkhu, jadilah
bermoral, terkendali melalui pengendalian Pātimokkha,
jadilah sempurna dalam perilaku dan tempat yang dikunjungi, dan melihat dengan takut bahkan pada pelanggaran yang terkecil, berlatih dengan menjalankan aturan-aturan latihan.“....
Pada tahap ini, anda akan dituntut untuk menaati semua peraturan monastik yang ada, baik yang tertulis dalam Patimokkha
ataupun yang di luar dari Patimokkha. Anda dituntut untuk melihat dengan takut pada pelanggaran kecil sekalipun yang dapat menimbulkan cela. Pada Patimokkha saja terdapat 227 sīla untuk Bhikkhu dan 311 sīla untuk Bhikkhuni. Jumlah ini belum termasuk peraturan-peraturan diluar Patimokkha. Saya yakin seorang Bhikkhu/ni baru akan kewalahan dalam mempelajari
peraturan-peraturan monastik yang ada.
Dari sekian banyak aturan yang ada, pada prinsipnya terbagi menjadi lima kelompok. Dalam MN 39, latihan perilaku dan penghidupan terbagi atas:
1. Memiliki rasa malu dan takut akan perbuatan salah – Anda dituntut untuk selalu waspada pada setiap perbuatan anda. Perumpamaan cermin sangatlah membantu dalam hal ini.
2. Memurnikan perilaku jasmani – Anda harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku jasmani kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku jasmani itu.’
3. Memurnikan perilaku ucapan – Anda harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku ucapan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku ucapan itu.’
4. Memurnikan perilaku pikiran – Anda harus berlatih sebagai berikut: ‘Perilaku pikiran kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian perilaku pikiran itu.’
5. Memurnikan penghidupan – Anda harus berlatih sebagai berikut: ‘Penghidupan kami harus dimurnikan, bersih dan terbuka, tanpa cela dan terkendali, dan kami tidak akan memuji diri sendiri dan mencela orang lain karena kemurnian penghidupan itu.’
Buddha Dhamma Secara Bertahap (53)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Pada sebagian besar orang-orang yang baru berlatih pada tahap ini umumnya mereka akan mengeluh. Hal ini wajar karena anda sedang berlatih untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan perumah tangga. Mungkin anda akan berpikir: “Apalah artinya aturan-aturan yang sepele ini? Apa hubungannya dengan pencapaian akhir dukkha? Bagaimana hal ini dapat menuntun pada akhir dukkha?” Pada sebagian orang hal ini dapat terpikirkan. Pada kenyataannya, dalam tahap ini mereka masih dalam pengaruh ketidak-tahuan dan terliputi oleh kenikmatan indra. Karena
terpengaruh, mereka sulit untuk dapat mengetahui, melihat, atau menembus apa yang harus diketahui melalui pelepasan keduniawian, dilihat melalui pelepasan keduniawian, dicapai
melalui pelepasan keduniawian, dan ditembus melalui pelepasan keduniawian.
Sebagai contoh agar mudah dimengerti, saya akan memberikan contoh pada suatu adegan film. Apakah anda tahu karakter “Xiao Dre” Pada film “The Karate Kid”?
Pada film itu, ia berguru pada seorang guru kungfu bernama Mr. Han. Selama berhari-hari, ia hanya belajar tentang bagaimana cara melepas, menaruh, mengambil dan memakai jaketnya saja.
Hingga akhirnya Xiao Dre putus asa dan mengeluh kepada gurunya.
Kemudian gurunya melakukan sedikit “serangan” pada Xiao Dre, siapa sangka Xiao Dre dapat menguasai kungfu hanya dengan belajar cara melepas, menaruh, mengambil, dan memakai jaketnya.
Demikian juga dengan kehidupan monastik, para bhikkhu junior mungkin tidak mengetahui manfaat dari latihan Patimokkha ini. Namun jika terus dikembangkan dan dilatih, maka pengendalian Patimokkha akan membuat pikiran beradaptasi dan mulai terlatih untuk selalu penuh perhatian dan kewaspadaan. Perlahan hal ini akan mendukung dalam latihan selanjutnya hingga pada keterpusatan pikiran yang sangat berguna untuk mengakhiri
dukkha.
Comments
Post a Comment