Force vs power

 Kekuatan vs. Gaya

Setelah diperiksa, kita akan melihat bahwa kekuatan muncul dari makna. Itu berhubungan dengan motif, dan juga berhubungan dengan prinsip. Kekuatan selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mendukung makna kehidupan itu sendiri. Kekuatan menarik bagian dari sifat manusia yang kita sebut mulia—berbeda dengan gaya, yang menarik bagian yang kita sebut kasar. Kekuatan menarik pada apa yang mengangkat, memuliakan, dan menjadikan kita lebih bermartabat. Gaya selalu harus dibenarkan, sedangkan kekuatan tidak memerlukan pembenaran. Gaya dikaitkan dengan yang parsial, kekuatan dengan keseluruhan.

Jika kita menganalisis sifat gaya, menjadi jelas mengapa gaya selalu harus tunduk pada kekuatan; ini sesuai dengan salah satu hukum dasar fisika. Karena gaya secara otomatis menciptakan gaya penyeimbang, pengaruhnya terbatas secara definisi. Kita bisa mengatakan bahwa gaya adalah gerakan—gaya bergerak dari sini ke sana (atau mencoba) melawan oposisi. Di sisi lain, kekuatan diam. Ini seperti medan yang berdiri tetap dan tidak bergerak. Gravitasi sendiri, misalnya, tidak bergerak melawan apapun. Kekuatan gravitasi menggerakkan semua benda di dalam medannya, tetapi medan gravitasi itu sendiri tidak bergerak.

Gaya selalu bergerak melawan sesuatu, sedangkan kekuatan tidak bergerak melawan apapun. Gaya tidak lengkap dan karena itu harus selalu diberi energi. Kekuatan bersifat total dan lengkap dalam dirinya sendiri dan tidak memerlukan apa pun dari luar. Kekuatan tidak menuntut apa pun; kekuatan tidak memiliki kebutuhan. Karena gaya memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan, ia terus-menerus mengonsumsi. Sebaliknya, kekuatan memberi energi, memberikan, memasok, dan mendukung. Kekuatan memberi kehidupan dan energi—gaya mengambilnya.

Kita melihat bahwa kekuatan dikaitkan dengan kasih sayang dan membuat kita merasa positif tentang diri kita sendiri. Gaya dikaitkan dengan penghakiman dan membuat kita merasa buruk tentang diri kita sendiri. Gaya selalu menciptakan gaya penyeimbang; efeknya adalah mempolarisasi daripada menyatukan. Polarisasi selalu menyiratkan konflik; oleh karena itu, biayanya selalu tinggi. Karena gaya memicu polarisasi, gaya tak terhindarkan menghasilkan dikotomi menang/kalah; dan karena selalu ada pihak yang kalah, musuh tercipta. Karena selalu dihadapkan pada musuh, gaya membutuhkan pertahanan yang terus-menerus. Sifat defensif selalu mahal, baik di pasar, politik, maupun urusan internasional.

Dalam mencari sumber kekuatan, kita telah mencatat bahwa kekuatan itu terkait dengan makna, dan makna ini berhubungan dengan arti penting dari kehidupan itu sendiri. Kekuatan (force) adalah konkrit, literal, dan dapat diperdebatkan. Kekuatan membutuhkan bukti dan dukungan. Namun, sumber kekuatan tidak dapat diperdebatkan dan tidak bergantung pada bukti. Hal-hal yang jelas (self-evident) tidak bisa diperdebatkan. Bahwa kesehatan lebih penting daripada penyakit, bahwa hidup lebih penting daripada kematian, bahwa kehormatan lebih diutamakan daripada kehinaan, bahwa iman dan kepercayaan lebih diutamakan daripada keraguan dan sinisme, bahwa konstruktif lebih diutamakan daripada destruktif—semua adalah pernyataan yang jelas dan tidak membutuhkan bukti. Pada akhirnya, satu-satunya yang bisa kita katakan tentang sumber kekuatan adalah bahwa ia "ada."

 

Setiap peradaban dicirikan oleh prinsip-prinsip dasarnya. Jika prinsip-prinsip peradaban itu mulia, maka ia berhasil; jika egois, ia runtuh. Sebagai istilah, prinsip mungkin terdengar abstrak, tetapi konsekuensinya sangat konkrit. Jika kita menelaah prinsip-prinsip, kita akan melihat bahwa prinsip-prinsip tersebut berada dalam ranah tak terlihat di dalam kesadaran itu sendiri. Meskipun kita bisa menunjuk contoh kejujuran di dunia, kejujuran itu sendiri sebagai prinsip pengorganisasian yang sentral bagi peradaban tidak secara mandiri ada di mana pun di dunia eksternal. Jadi, kekuatan sejati memancar dari kesadaran itu sendiri; apa yang kita lihat adalah manifestasi yang terlihat dari yang tidak terlihat.

Kebanggaan, tujuan yang mulia, pengorbanan demi kualitas hidup—semua hal semacam itu dianggap menginspirasi, memberi kehidupan arti. Namun, yang sebenarnya menginspirasi kita di dunia fisik adalah hal-hal yang melambangkan konsep dengan makna yang kuat bagi kita. Simbol-simbol tersebut menyelaraskan kembali motif kita dengan prinsip yang abstrak. Sebuah simbol dapat memobilisasi kekuatan besar karena prinsip tersebut sudah ada di dalam kesadaran kita.

Makna begitu penting sehingga ketika hidup kehilangan makna, bunuh diri sering kali terjadi. Ketika hidup kehilangan makna, pertama-tama kita masuk ke dalam depresi; ketika hidup menjadi cukup tidak bermakna, kita meninggalkannya sepenuhnya. Kekuatan (force) memiliki tujuan yang sementara; ketika tujuan itu tercapai, kekosongan makna tetap ada. Sebaliknya, kekuatan (power) memotivasi kita tanpa henti. Jika hidup kita didedikasikan, misalnya, untuk meningkatkan kesejahteraan setiap orang yang kita temui, hidup kita tidak akan pernah kehilangan makna. Namun, jika tujuan hidup kita adalah kesuksesan finansial, apa yang terjadi setelah tujuan itu tercapai? Inilah salah satu penyebab utama depresi pada pria dan wanita paruh baya.

Kekecewaan dari kekosongan datang karena gagal menyelaraskan hidup dengan prinsip-prinsip dari mana kekuatan berasal. Contoh berguna dari fenomena ini bisa dilihat dalam kehidupan musisi, komponis, dan konduktor hebat di zaman kita. Betapa seringnya mereka melanjutkan karier produktif hingga usia 80-an dan 90-an, sering memiliki anak dan hidup penuh semangat hingga usia lanjut! Hidup mereka didedikasikan untuk penciptaan dan perwujudan keindahan, yang mengandung dan mengekspresikan kekuatan besar. Kita tahu secara klinis bahwa keselarasan dengan keindahan berhubungan dengan umur panjang dan vitalitas—karena keindahan adalah fungsi dari kreativitas, umur panjang ini umum terjadi di semua pekerjaan kreatif.

Ingatlah bahwa mesin kecerdasan buatan yang paling canggih di dunia tidak mampu merasakan kebahagiaan atau kegembiraan. Gaya dapat membawa kepuasan, tetapi hanya daya yang membawa kegembiraan. Kemenangan atas orang lain membawa kita kepuasan, tetapi kemenangan atas diri kita sendiri membawa kita kegembiraan. Namun, seperti yang telah ditunjukkan pada bab-bab sebelumnya, tidak hanya kualitas-kualitas ini sekarang dapat diukur, tetapi juga dapat dikalibrasi dengan akurat.

Setelah diperiksa, kita akan melihat bahwa kekuatan muncul dari makna. Itu berhubungan dengan motif, dan juga berhubungan dengan prinsip. Kekuatan selalu dikaitkan dengan sesuatu yang mendukung makna kehidupan itu sendiri. Kekuatan menarik bagian dari sifat manusia yang kita sebut mulia—berbeda dengan gaya, yang menarik bagian yang kita sebut kasar. Kekuatan menarik pada apa yang mengangkat, memuliakan, dan menjadikan kita lebih bermartabat. Gaya selalu harus dibenarkan, sedangkan kekuatan tidak memerlukan pembenaran. Gaya dikaitkan dengan yang parsial, kekuatan dengan keseluruhan.


Jika kita menganalisis sifat gaya, menjadi jelas mengapa gaya selalu harus tunduk pada kekuatan; ini sesuai dengan salah satu hukum dasar fisika. Karena gaya secara otomatis menciptakan gaya penyeimbang, pengaruhnya terbatas secara definisi. Kita bisa mengatakan bahwa gaya adalah gerakan—gaya bergerak dari sini ke sana (atau mencoba) melawan oposisi. Di sisi lain, kekuatan diam. Ini seperti medan yang berdiri tetap dan tidak bergerak. Gravitasi sendiri, misalnya, tidak bergerak melawan apapun. Kekuatan gravitasi menggerakkan semua benda di dalam medannya, tetapi medan gravitasi itu sendiri tidak bergerak.


Gaya selalu bergerak melawan sesuatu, sedangkan kekuatan tidak bergerak melawan apapun. Gaya tidak lengkap dan karena itu harus selalu diberi energi. Kekuatan bersifat total dan lengkap dalam dirinya sendiri dan tidak memerlukan apa pun dari luar. Kekuatan tidak menuntut apa pun; kekuatan tidak memiliki kebutuhan. Karena gaya memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan, ia terus-menerus mengonsumsi. Sebaliknya, kekuatan memberi energi, memberikan, memasok, dan mendukung. Kekuatan memberi kehidupan dan energi—gaya mengambilnya.


Kita melihat bahwa kekuatan dikaitkan dengan kasih sayang dan membuat kita merasa positif tentang diri kita sendiri. Gaya dikaitkan dengan penghakiman dan membuat kita merasa buruk tentang diri kita sendiri. Gaya selalu menciptakan gaya penyeimbang; efeknya adalah mempolarisasi daripada menyatukan. Polarisasi selalu menyiratkan konflik; oleh karena itu, biayanya selalu tinggi. Karena gaya memicu polarisasi, gaya tak terhindarkan menghasilkan dikotomi menang/kalah; dan karena selalu ada pihak yang kalah, musuh tercipta. Karena selalu dihadapkan pada musuh, gaya membutuhkan pertahanan yang terus-menerus. Sifat defensif selalu mahal, baik di pasar, politik, maupun urusan internasional.

Sebelum kita melanjutkan, mari kita ingat bahwa mesin kecerdasan buatan yang paling canggih di dunia tidak mampu merasakan kebahagiaan atau kegembiraan. Gaya dapat membawa kepuasan, tetapi hanya daya yang membawa kegembiraan. Kemenangan atas orang lain membawa kita kepuasan, tetapi kemenangan atas diri kita sendiri membawa kita kegembiraan. Namun, seperti yang telah ditunjukkan pada bab-bab sebelumnya, tidak hanya kualitas-kualitas ini sekarang dapat diukur, tetapi juga dapat dikalibrasi dengan akurat.

Ciri2 emosi level force (skala bawah):

* prasangka/labeling 

* penghakiman

* defensif, selalu ada yg dilawan/dijadikan musuh

* pembenaran


Ciri level power yg mudah dilenali adalah cinta kasih. Apa pun yg kita hadapi, kita sikapi dengan cinta kasih šŸ„°

Ciri emosi skala force:

1. Menghakimi /_judgemental_.

2. Butuh alasan/pembenaran. Co: mau belanja ada rasa bersalah terus cari2 alasan biar tetap belanja. Orang yg belanjanya dengan riang gembira dan bahagia (force) misalnya beli pakaian buat orang tua/anak kadang bahkan merasa lebih bahagia daripada yang diberi dan dampaknya positif ke banyak aspek. Org yg belanja karena nafsu (gak lapar tp tetap mau makan misalnya), serakah/takut gak punya ( gak kepakai, numpuk tetap beli lagi). Setelah beli biasanya merasa hampa dan kosong, jadi harus diisi dengan belanja lagi, jadi tambah masalah baru: ketagihan.

3. Defensive, ada yang dibela (baik diri sendiri maupun orang lain) = ada yg harus jadi musuh. Emosi skala force seperti orang baik hati yg membantu org lain yang tidak dikenal memunguti barang2nya yg jatuh berantakan di jalan tidak butuh dijelaskan, tidak butuh dibela karena apa yang mau dimusuhi ya? Tapi membenarkan/membela tindakan negatif orang lain, misalnya membenarkan kekerasan dengan alasan apa pun akan memicu kontra dan konflik.

Comments

Popular posts from this blog

HO’OPONOPONO

Antologi Memilih Bertahan

MANGALA SUTTA, Sutra Tentang Berkah Utama (3)