Buddha dhamma secara bertahap (2)
Buddha Dhamma Secara Bertahap (54)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Berikut adalah potongan suttanya dalam urutan maju :
... “Dan bagaimanakah, Kuṇḍaliya, pengendalian indria dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi tiga jenis perbuatan baik? Di sini, Kuṇḍaliya, setelah melihat suatu objek yang indah dengan mata, seorang bhikkhu tidak merindukannya, atau menjadi bergairah karenanya, atau bernafsu padanya. Jasmaninya mantap dan batinnya mantap, tenang dalam batin dan terbebaskan dengan baik. Tetapi setelah melihat suatu objek yang tidak indah dengan mata, ia tidak merasa cemas, tidak kecewa, tidak kesal, tanpa permusuhan. Jasmaninya mantap dan batinnya mantap, tenang dalam batin dan terbebaskan dengan baik.
“Lebih lanjut lagi, Kuṇḍaliya, setelah mendengarkan suara yang menyenangkan dengan telinga … setelah mencium bau yang harum dengan hidung … setelah mengecap rasa kecapan yang lezat dengan lidah … setelah merasakan objek sentuhan yang menyenangkan dengan badan … setelah mengenali fenomena pikiran yang menyenangkan dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak merindukannya, atau menjadi bergairah karenanya, atau bernafsu padanya. Tetapi setelah mengenali fenomena pikiran yang tidak menyenangkan dengan pikiran, ia tidak merasa cemas, tidak kecewa, tidak kesal, tanpa permusuhan. Jasmaninya mantap dan batinnya mantap, tenang dalam batin dan terbebaskan dengan baik.
“Ketika, Kuṇḍaliya, setelah seorang bhikkhu melihat suatu bentuk dengan mata, jasmaninya mantap dan batinnya mantap, tenang dalam batin dan terbebaskan dengan baik sehubungan dengan bentuk-bentuk yang indah maupun tidak indah; ketika, setelah ia mendengar suara yang menyenangkan dengan telinga … mencium aroma yang
harum dengan hidung … mengecap rasa kecapan yang lezat dengan lidah … merasakan objek sentuhan yang menyenangkan dengan badan … mengenali fenomena pikiran yang menyenangkan dengan pikiran, jasmaninya mantap dan batinnya mantap, tenang dalam batin dan terbebaskan dengan baik sehubungan dengan fenomena-fenomena pikiran yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan, maka pengendalian indria-nya telah terkembang dan terlatih sedemikian sehingga memenuhi tiga jenis perbuatan baik.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (55)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
“Dan bagaimanakah, Kuṇḍaliya, ketiga jenis perbuatan baik ini dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi empat penegakan perhatian?
Di sini, Kuṇḍaliya, setelah meninggalkan perbuatan salah melalui jasmani, seorang bhikkhu mengembangkan perbuatan baik melalui jasmani; setelah meninggalkan perbuatan salah melalui ucapan, seorang bhikkhu mengembangkan perbuatan baik melalui ucapan; setelah meninggalkan perbuatan salah melalui pikiran, seorang bhikkhu mengembangkan perbuatan baik
melalui pikiran. Dengan cara inilah ketiga jenis perbuatan baik dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi empat penegakan perhatian.
“Dan bagaimanakah, Kuṇḍaliya, empat penegakan perhatian dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi tujuh faktor pencerahan? Di sini, Kuṇḍaliya, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani dalam jasmani, tekun, memahami dengan jernih dan penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia. Ia berdiam merenungkan perasaan dalam perasaan … pikiran
dalam pikiran … fenomena dalam fenomena, tekun, memahami dengan jernih dan penuh perhatian, setelah melenyapkan ketamakan dan ketidak-senangan sehubungan dengan dunia. Dengan cara inilah empat penegakan perhatian dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi tujuh faktor pencerahan.
“Dan bagaimanakah, Kuṇḍaliya, tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi pengetahuan sejati dan kebebasan? Di sini, Kuṇḍaliya, seorang bhikkhu mengembangkan faktor pencerahan perhatian yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang pada pelepasan …
Ia mengembangkan faktor pencerahan keseimbangan yang berdasarkan pada keterasingan, kebosanan, dan lenyapnya, yang matang pada pelepasan. Dengan cara inilah tujuh faktor pencerahan dikembangkan dan dilatih sehingga memenuhi pengetahuan sejati dan kebebasan.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (56)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Makanlah Secukupnya
Setelah anda menjaga indra-indra anda, maka latihan selanjutnya adalah sikap madya dalam hal makan. Dalam beberapa Sutta seperti MN 107, Buddha memberikan penjabaran mengenai latihan ini:
... “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah menjaga pintu-pintu indrianya, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, makanlah secukupnya. Dengan merenungkan secara bijaksana, engkau harus memakan makanan bukan demi kenikmatan, juga bukan untuk mabuk, juga bukan demi keindahan dan kemenarikan fisik, melainkan hanya demi ketahanan dan kelangsungan tubuh ini, untuk mengakhiri ketidak-nyamanan, dan untuk membantu dalam kehidupan suci, dengan merenungkan: “Demikianlah aku akan menghentikan perasaan lama tanpa membangkitkan perasaan baru dan aku akan menjadi sehat dan tanpa cela dan aku dapat hidup dalam kenyamanan.”...
Pada latihan ini, makanan hanyalah untuk bertahan hidup, untuk menjaga ketahanan tubuh, dan untuk mengobati ketidak-nyamanan akibat rasa lapar. Tubuh ini perlu makan untuk tetap hidup, namun jika terlalu banyak makan maka akan menimbulkan perasaan yang baru, yang akan mengganggu anda dalam menjalankan kehidupan suci. Agar cukup dan tidak berlebihan, anda hanya perlu makan secukupnya sekali dalam sehari, tentunya dalam waktu yang benar untuk melewati hari, namun setiap orang memiliki porsi perut yang berbeda-beda. Oleh sebab itulah, kita perlu tahu batasan-batasan makan kita. Anda dapat menilai sendiri sampai mana batas kenyang perut anda.
Menurut YA. Sariputta, seorang Bhikkhu cukup makan hingga empat sampai lima suap sebelum kenyang. Hal ini tertulis dalam Thag 17.2:
...Ketika memakan makanan segar atau makanan kering, Seseorang seharusnya tidak makan berlebihan. Seorang bhikkhu harus mengembara dengan penuh perhatian, dengan perut kosong, memakan sedikit makanan.
Empat atau lima suap sebelum engkau kenyang, minumlah air; Ini cukup untuk hidup nyaman bagi seorang bhikkhu yang teguh.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (57)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Mungkin kita bertanya-tanya apakah
manfaat dari makan secukupnya. Kita dapat melihatnya dalam MN 65 dan SN 3.13. Di dalam MN 65, Buddha menyatakan hal ini di hadapan para Bhikkhu:
... “Para bhikkhu, Aku makan satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, Aku bebas dari penyakit dan penderitaan, dan Aku menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman. Marilah, para bhikkhu, makanlah satu kali sehari. Dengan melakukan demikian, kalian juga akan bebas dari penyakit dan penderitaan, dan kalian akan menikmati kediaman yang ringan, kuat, dan nyaman.” ...
Namun ada seorang Bhikkhu bernama Bhaddali yang menolak mengikuti aturan ini, bahkan setelah Buddha memberikan keringanan berupa membagi dua porsi makannya untuk dimakan di waktu yang berbeda. Pada akhirnya, setelah tiga bulan membangkang, Bhikkhu Bhaddali mengakui kesalahannya kepada Buddha. Buddha kemudian menjelaskan bahaya akan tindakannya dalam membangkang hingga ia tidak dapat maju dalam latihan ini.
Sedangkan pada SN 3.13, menceritakan seorang raja bernama Pasenadi dari Kosala yang sedang kekenyangan datang menemui Sang Buddha. Sang Buddha, setelah memahami raja kekenyangan, menyatakan syair ini :
...“Ketika seseorang senantiasa penuh perhatian, mengetahui kecukupan makanan yang ia makan, Penyakitnya berkurang: ia menua dengan lambat, menjaga kehidupannya.” ...
Setelah mendengarkan syair ini, raja menyuruh Brahmana Sudassana untuk mempelajari syair ini dan mengulanginya ketika raja sedang makan. Pada akhirnya sang raja setahap demi setahap mengurangi konsumsi makanan hingga semangkuk kecil nasi. Pada kesempatan lainnya, ketika tubuhnya telah menjadi cukup kurus, raja Pasenadi dari Kosala menepuk badannya dengan tangannya dan pada kesempatan itu ia mengucapkan ungkapan inspiratif ini: “Sang Bhagavā memperlihatkan kasih sayang kepadaku sehubungan dengan kedua jenis kebaikan—kebaikan dalam
kehidupan sekarang dan kehidupan mendatang.”
Kita dapat melihat, bagaimana aturan pelatihan ini ditetapkan oleh Buddha demi kebaikan kita, demi menunjang praktik kehidupan suci dengan baik. Oleh sebab itulah, setelah memahami manfaat dari latihan ini dan juga bahayanya dari tidak menaati latihan ini, maka hendaknya kita melaksanakan latihan ini dengan baik.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (58)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Tekunilah Keawasan!
Setelah anda berlatih mengendalikan diri sesuai dengan Patimokkha, menjaga indra-indra anda, dan berlatih untuk makan secukupnya, kini tibalah saatnya untuk menekuni keawasan. Dalam banyak Sutta yang mengajarkan latihan bertahap baik lengkap ataupun tidak, misalnya pada AN 4.37, definisi menekuni keawasan adalah:
... “Dan bagaimanakah seorang bhikkhu menekuni keawasan?
Di sini, selama siang hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, seorang bhikkhu memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang merintangi. Pada jaga pertama malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kualitas kualitas yang merintangi. Pada jaga pertengahan malam hari ia berbaring di sisi kanan dalam postur singa, dengan satu kaki di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan memahami dengan jernih,
setelah mencatat dalam pikirannya waktu untuk terjaga.
Setelah terjaga, pada jaga terakhir malam hari, sewaktu berjalan mondar-mandir dan duduk, ia memurnikan pikirannya dari kualitas-kualitas yang merintangi. Dengan cara inilah seorang bhikkhu menekuni keawasan.” ...
Selanjutnya Sutta ini ditutup dengan syair yang menyatakan dengan bantuan dari tiga latihan sebelumnya, seorang Bhikkhu
sudah dekat dengan Nibbana. Berikut adalah syairnya:
"Kokoh dalam perilaku bermoral,
terkendali dalam organ-organ indria,
makan secukupnya, menekuni keawasan: Seorang bhikkhu berdiam dengan tekun, tanpa lelah siang dan malam, mengembangkan kondisi-kondisi bermanfaat untuk mencapai keamanan dari belenggu. Seorang bhikkhu yang bersenang dalam kewaspadaan, yang melihat bahaya dalam kelengahan, tidak dapat mundur: Ia mendekati nibbāna".
Buddha Dhamma Secara Bertahap (59)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Kata keawasan di sini berasal dari bahasa Pali “jagāriya” yang berarti “Tetap terjaga, penuh pengawasan, kewaspadaan terutama pada rasa ketika sedang berhati-hati dari bahaya-bahaya yang mungkin menimpa seseorang yang berjuang demi kesempurnaan.”
Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah kualitas-kualitas yang merintangi tersebut. Pada prinsipnya, tujuan latihan bertahap ini adalah untuk membentuk pikiran yang terlatih dan terkonsentrasi. Sehingga jika kita memahami, maka kualitas-kualitas yang merintangi bisa disebut sebagai lima nivarana. Yakni nafsu indrawi, kebencian, kelambanan, ketumpulan/kantuk, kegelisahan/penyesalan dan yang terakhir keragu-raguan yang kelimanya adalah rintangan bagi pencapaian tingkatan konsentrasi/Jhāna.
Sementara dalam potongan bait Snp 4.14 disebutkan beberapa jenis kualitas kualitas buruk yang ditinggalkan dalam proses ini, yaitu :
Mereka tidak akan banyak tidur,
Melainkan tekun, mengembangkan keawasan; Mereka akan meninggalkan kemalasan, kebohongan, candaan, permainan, dan seks, bersama dengan kesembronoan lainnya. Jadi dapat kita simpulkan, tujuan menekuni keawasan adalah untuk mengurangi lima nivarana, terutama pada kelambanan dan ketumpulan/kantuk. Perlu diingat, latihan ini adalah dikhususkan untuk para petapa Putra Sakya yang sedang berlatih untuk mencapai Nibbana.
Ketika seorang Putra Sakya tidak menjalani latihan ini, maka ia akan mengondisikan dirinya sendiri untuk mendapatkan celaan. Misalnya pada MN 69 di mana ada seorang Bhikkhu Dhutanga bernama Gulissāni yang berprilaku lengah sedang datang ke dalam Sangha untuk satu urusan.
Bhante Sariputta kemudian berkata kepada bhikkhu lain dengan merujuk pada Bhikkhu Gulissāni, yang salah satunya adalah sebagai berikut :
... “Seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni keawasan. Jika ia tidak menekuni keawasan, maka akan ada di antara mereka yang mengatakan tentangnya: ‘Apakah yang telah diperoleh Yang Mulia penghuni hutan ini dengan
menetap sendirian di dalam hutan, melakukan apa yang ia sukai, karena ia tidak menekuni keawasan?’ Karena akan ada di antara mereka yang mengatakan hal ini tentangnya, maka seorang bhikkhu penghuni hutan harus menekuni keawasan.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (60)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Mahā Moggallāna bertanya kepada Yang Mulia Sāriputta: “Teman Sāriputta, apakah hal-hal ini harus dijalankan dan dipraktekkan hanya oleh seorang bhikkhu penghuni hutan atau oleh seorang yang
menetap di dekat desa juga?”
“Teman Moggallāna, hal-hal ini harus dijalankan dan dipraktekkan bahkan oleh seorang bhikkhu penghuni hutan, apalagi oleh seorang yang menetap di dekat desa.”
Dari potongan Sutta diatas dapat kita simpulkan bahwa seorang Bhikkhu baik yang tinggal di hutan ataupun di desa, harus menekuni praktek keawasan ini. Kisah lainnya terdapat pada AN 6.17, di mana pada saat itu Sang Buddha dengan mata dewaNya melihat para Bhikkhu yang baru ditahbiskan tertidur dan mendengkur hingga pagi hari. Kemudian Beliau mendatangi aula pertemuan, duduk di tempat yang telah dipersiapkan untuk Beliau, dan berkata kepada para bhikkhu itu:
“Para bhikkhu, di manakah Sāriputta? Di manakah Mahāmoggallāna? Di manakah Mahākassapa? Di manakah Mahākaccāyana? Di manakah Mahākoṭṭhita? Di manakah Mahācunda? Di manakah Mahākappina? Di manakah
Anuruddha? Di manakah Revata? Di manakah Ānanda? Ke manakah para bhikkhu senior itu pergi?”
“Bhante, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, para mulia itu juga bangkit dari duduk mereka dan memasuki kediaman mereka masing-masing.”
“Para bhikkhu, ketika para bhikkhu senior itu pergi, mengapa kalian para bhikkhu yang baru ditahbiskan tidur dan mendengkur hingga matahari terbit?
“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang raja khatiya yang sah, sewaktu memerintah seumur hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”
“Tidak, Bhante.”
“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau
mendengar hal demikian.
“Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu? Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang petugas kerajaan atau seorang putra tersayang atau seorang jenderal atau seorang kepala desa atau seorang pemimpin pekerja, sewaktu memerintah seumur
hidupnya, disenangi dan disukai oleh negerinya jika ia menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah
pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur?”
“Tidak, Bhante.”
“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian".
“Para bhikkhu, bagaimana menurut kalian? Misalkan ada seorang petapa atau brahmana yang menghabiskan banyak waktu sesukanya dengan menyerah pada kenikmatan istirahat, kenikmatan kelambanan, kenikmatan tidur; seorang yang tidak menjaga pintu-pintu indria, yang makan berlebihan, dan tidak menekuni keawasan; yang tidak memiliki pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat; yang tidak berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari.
Pernahkah kalian melihat atau mendengar bahwa seorang yang demikian, dengan hancurnya noda-noda, telah merealisasikan untuk dirinya sendiri dengan pengetahuan langsung, dalam kehidupan ini, kebebasan pikiran yang tanpa noda, kebebasan melalui kebijaksanaan, dan setelah memasukinya, ia berdiam di dalamnya?”
“Tidak, Bhante.”
“Bagus, para bhikkhu. Aku juga belum pernah melihat atau mendengar hal demikian".
“Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan menjaga pintu-pintu indria kami, makan secukupnya, dan menekuni keawasan; kami akan memiliki
pandangan terang ke dalam kualitas-kualitas bermanfaat, dan akan berdiam dengan menekuni usaha untuk mengembangkan bantuan-bantuan menuju pencerahan pada tahap pertama dan akhir malam hari.’ Demikianlah, para
bhikkhu, kalian harus berlatih.”
Dari kisah ini dapat kita simpulkan bahwa Buddha amat memuji seseorang yang tekun dalam keawasan. Dengan praktek menekuni keawasan ini, akan membantu seseorang untuk mencapai Nibbana.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (61)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Praktek menekuni keawasan ini ternyata adalah salah satu metode yang diajarkan oleh Buddha untuk mengatasi rasa kantuk. Hal ini dapat kita lihat dari poin ke-tujuh dan penjelasan terakhir yang dikatakan oleh Buddha dalam AN 7.61. Terdapat enam poin lainnya dalam AN 7.61 untuk mengatasi rasa kantuk, kesemuanya adalah:
1. Jangan memperhatikan atau melatih objek yang sedang diperhatikan ketika sedang mengantuk.
2. Cobalah untuk merenungkan, memeriksa, dan menyelidiki Dhamma yang telah didengar dan dipelajari.
3. Melafalkan Dhamma secara terperinci seperti yang telah didengar dan dipelajari.
4. Menarik daun telinga, menggosok-gosok bagian tubuh dengan tangan.
5. Bangkit dari tempat duduk, menggosok mata dengan air, menatap ke segala penjuru, dan menatap konstelasi bintang-bintang.
6. Memperhatikan persepsi cahaya; cobalah untuk mempersepsikan siang hari sebagai berikut: ‘Seperti halnya siang hari, demikian pula malam hari; seperti halnya malam hari, demikian pula siang hari.’ Dengan pikiran yang terbuka dan tidak tertutup, cobalah untuk mengembangkan pikiran yang dipenuhi dengan cahaya/ kecermelangan.
7. Cobalah berolah raga, berjalan mondar-mandir, mengawasi apa yang ada dibelakang dan apa yang ada didepan, dengan indra-indra yang tertarik ke dalam dan pikiran yang ditenangkan.
Namun jika rasa kantuk masih saja belum pergi, cobalah untuk berbaring pada sisi kanan dalam postur singa, satu kaki diatas kaki lainnya, dengan penuh perhatian dan pemahaman jernih, setelah mencatat dalam pikiran gagasan untuk terjaga.
Ketika sedang terjaga, segeralah bangkit dengan berpikir: ‘Aku tidak akan terlena dalam kenikmatan berisisrahat, kenikmatan pada bermalas-malasan, kenikmatan pada tidur.’ Rasa kantuk secara perlahan harus ditinggalkan.
Seorang Bhikkhu yang berlatih harus meninggalkan tjdur layaknya umat awam, ia harus sedikit tidur dan ia harus tekun dalam keawasan, demi merealisasikan Nibbana.
“Para bhikkhu, lima ini tidur sedikit di malam hari tetapi lebih banyak terjaga. Apakah lima ini? Seorang perempuan yang berfokus pada seorang laki-laki, seorang laki-laki yang berfokus pada seorang perempuan, seorang pencuri yang berfokus pada pencurian, seorang raja yang sibuk dengan tugas-tugas kerajaan, dan seorang bhikkhu yang bertekad untuk memutuskan ikatan.
Kelima ini tidur sedikit di malam hari tetapi lebih banyak terjaga.” (AN 5.137)
Buddha Dhamma Secara Bertahap (62)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Pada prinsipnya, baik latihan yang terpisah, ataupun tidak terpisah adalah sama. Di dalam tahap ini, anda harus mengembangkan perhatian dan kewaspadaan anda. Dengan kata lain, anda harus mempraktekkan secara bertahap apa yang tertulis pada MN 10. Satipatthāna Sutta. Di dalam bab ini, tidak akan mengulas keseluruhan Satipatthāna, namun akan mengulas hanya sebagian perhatian pada jasmani (kayanupassana). Karena perhatian pada jasmani inilah adalah dasar yang cukup penting untuk menekan lima rintangan, yang menghalangi seorang meditator untuk mencapai tingkatan Jhāna.
Perhatian pada Pernafasan
... “Dan bagaimanakah, para bhikkhu, seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani? Di sini, seorang bhikkhu, pergi ke hutan atau ke bawah pohon atau ke sebuah gubuk kosong, duduk; setelah duduk bersila, menegakkan tubuhnya, dan menegakkan perhatian di depannya, penuh perhatian ia menarik nafas, penuh perhatian ia mengembuskan nafas.
Menarik nafas panjang, ia memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’; atau mengembuskan nafas panjang, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas panjang.’ Menarik nafas pendek, ia memahami: ‘Aku menarik nafas pendek’; atau mengembuskan nafas pendek, ia memahami: ‘Aku mengembuskan nafas pendek.’ Ia berlatih sebagai berikut:
‘Aku akan menarik nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh’; ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan mengalami keseluruhan tubuh.’ Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan menarik nafas dengan menenangkan bentukan jasmani’;
Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’ Bagaikan seorang pekerja bubut yang terampil atau muridnya, ketika melakukan putaran panjang, memahami: ‘Aku melakukan putaran panjang’; atau ketika melakukan putaran pendek, memahami:
‘Aku melakukan putaran pendek’; demikian pula, menarik nafas panjang, seorang bhikkhu memahami: ‘Aku menarik nafas panjang’ . Ia berlatih sebagai berikut: ‘Aku akan mengembuskan nafas dengan menenangkan bentukan jasmani.’” ...
Mari kita bahas satu persatu. Menurut kitab komentar, kata
“menegakkan perhatian di depannya” adalah memperhatikan area terdepan pada tubuh kita dalam hal ini adalah hidung kita. Saya tidak sependapat dengan kitab komentar di sini. Yang dimaksud “menegakkan perhatian di depannya” adalah menegakkan
perhatian pada objek yang sedang diamatinya pada saat itu. Karena dalam hal ini adalah nafas, maka perhatian ditegakkan pada nafas.
Pada bait berikutnya dari menarik nafas, menghembuskan nafas dan seterusnya dilakukan bukan dengan membuat-buat nafas. Dalam hal ini kita hanya memperhatikan nafas kita, begitu saat sedang menarik nafas, kita mengetahui kalau kita sedang menarik nafas. Begitupun yang lainnya. Ketika seseorang telah memperhatikan lebih jauh, ia tahu perbedaannya antara nafasnya yang panjang atau pendek, ia dapat membandingkan nafasnya yang satu lebih panjang dari sebelumnya, atau nafasnya lebih pendek dari sebelumnya, dan seterusnya.
Seperti ketika seseorang sedang mengamati sebuah botol minum, pada awalnya ia hanya tau itu hanya botol minum, belakangan ia mencermatinya lebih rinci dan melihat bahwa di botol minum itu terdapat tulisan kecil, ia membaca tulisan itu dan mengetahui informasi lainnya. Seperti itulah kira-kira penjelasan perhatian pada nafas pada tahap ini.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (64)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Kewaspadaan Penuh.
... “Kemudian, para bhikkhu, seorang bhikkhu adalah seorang yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan maju atau mundur; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika melihat ke depan atau ke belakang; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika menunduk atau menegakkan badannya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika mengenakan jubahnya dan membawa jubah luar dan mangkuknya; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika makan, minum, mengunyah makanan, dan mengecap; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika buang air besar dan buang air kecil; yang bertindak dengan penuh kewaspadaan ketika berjalan, berdiri, duduk, tertidur, terjaga, berbicara, dan berdiam diri.” ...
Saya rasa dua kutipan di atas sudah cukup jelas, hal ini tentu di luar postur meditasi, pada tahap ini, kita harus berlatih untuk selalu penuh perhatian pada saat berdiri, berjalan, duduk, berbaring, dan seterusnya. Di sini kita dituntut untuk memiliki kewaspadaan penuh, bertindak dengan kewaspadaan penuh pada saat apapun, bahkan ketika akan tidur sekalipun. Pada setiap bagian, selalu ada bagian ini:
... “Dengan cara ini ia berdiam merenungkan jasmani sebagai
jasmani secara internal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara eksternal, atau ia berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal. Atau ia berdiam merenungkan sifat munculnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat lenyapnya dalam jasmani, atau ia berdiam merenungkan sifat muncul dan lenyapnya dalam jasmani. Atau penuh perhatian bahwa ‘ada jasmani’ muncul dalam dirinya hanya sejauh yang diperlukan bagi pengetahuan dan perhatian. Dan ia berdiam tanpa bergantung, tidak melekat pada apapun di dunia ini. Itu juga adalah bagaimana seorang bhikkhu berdiam merenungkan jasmani sebagai jasmani.” ...
Saya sengaja tidak menuliskannya karena akan membuat kerancuan. Hal ini adalah satu bagian yang diulang lagi pada saat bagian lainnya, menandakan satu contoh bentuk latihan perhatian pada jasmani. Mari kita bahas satu persatu. Internal adalah apa yang berada di dalam diri, eksternal adalah apa yang ada di luar diri. Merenungkan sifat muncul dan lenyapnya jasmani adalah memperhatikan dan membandingkan dengan ingatan (sati) sifat muncul dan lenyapnya jasmani. Saya hanya akan mengulas sampai di sini, masih banyak lagi bagian-bagian dari kayanupassana dan bagian satipatthāna lainnya seperti perasaan, pikiran, dan fenomena. Namun secara garis besarnya metodenya pun sama, hanya memperhatikan dan terkadang membandingkan dengan ingatan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (65)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Mengapa kita perlu melatih perhatian dan kewaspadaan? Dalam SN 35.247 dijelaskan tentang perumpamaan enam binatang, yang masing-masing mewakili enam indra kita.
“Dan bagaimanakah, para Bhikkhu, bukan pengendalian itu? Di sini, setelah melihat suatu bentuk dengan mata. Setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu menyukai bentuk fenomena pikiran yang menyenangkan dan menolak bentuk fenomena pikiran yang tidak menyenangkan. Ia berdiam tanpa menegakkan perhatian pada jasmani, dengan pikiran terbatas, dan ia tidak memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan itu, di mana kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.
“Misalkan, para bhikkhu, seseorang menangkap enam binatang dari wilayah yang berbeda dan habitat yang berbeda, dan mengikat mereka dengan tali yang kuat. Ia menangkap ular, buaya, burung, anjing, serigala, dan monyet, dan masing-masing diikat dengan tali yang kuat. Setelah melakukan itu, ia akan mengikatkan tali itu menjadi satu dengan simpul di tengah dan melepaskan mereka. Kemudian keenam binatang dengan wilayah dan habitat yang berbeda itu masing-masing akan menarik ke arah wilayah dan habitat mereka. Ular akan menarik ke satu arah, dengan berpikir, ‘Aku akan memasuki gundukan sarang semut.’ Buaya akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, ‘Aku akan masuk ke air.’ Burung akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, ‘Aku akan terbang ke angkasa.’ Anjing akan menarik ke arah lain, dengan
berpikir, ‘Aku akan memasuki desa.’ Serigala akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, ‘Aku akan pergi ke tanah pemakaman.’ Monyet akan menarik ke arah lain, dengan berpikir, ‘Aku akan memasuki hutan.’
“Sekarang ketika keenam binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka akan dikuasai oleh satu di antara mereka yang paling kuat; mereka akan menyerah kepadanya dan berada di bawah kendalinya.
Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu tidak mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka mata menarik ke arah bentuk-bentuk yang menyenangkan dan bentuk-bentuk yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; telinga menarik ke arah suara-suara yang menyenangkan dan suara-suara yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; hidung menarik ke arah bau-bauan yang menyenangkan dan bau-bauan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; lidah menarik ke arah rasa kecapan yang menyenangkan dan rasa kecapan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; badan menarik ke arah objek-objek sentuhan yang menyenangkan dan objek-objek sentuhan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; pikiran menarik ke arah fenomena-fenomena pikiran yang menyenangkan dan fenomena-fenomena pikiran yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan.
Demikianlah bukan-pengendalian itu.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (66)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
“Dan bagaimanakah, para bhikkhu, pengendalian itu? Di sini setelah melihat suatu bentuk dengan mata, setelah mengenali suatu fenomena pikiran dengan pikiran, seorang bhikkhu tidak menyukai bentuk fenomena pikiran yang menyenangkan dan tidak menolak bentuk fenomena pikiran yang tidak menyenangkan. Ia berdiam setelah menegakkan perhatian pada jasmani, dengan pikiran tanpa batas, dan ia memahami sebagaimana adanya kebebasan pikiran, kebebasan melalui kebijaksanaan itu, di mana kondisi-kondisi buruk yang tidak bermanfaat lenyap tanpa sisa.
“Misalkan, para bhikkhu, seseorang menangkap enam binatang, dari wilayah yang berbeda dan habitat yang berbeda, dan mengikat mereka dengan tali yang kuat. Ia menangkap ular, buaya, burung, anjing, serigala, dan monyet, dan masing-masing diikat dengan tali yang kuat. Setelah melakukan itu, ia akan mengikatkan tali itu pada sebuah tiang atau pilar yang kokoh. Kemudian keenam binatang dengan wilayah dan habitat yang berbeda itu masing-masing akan menarik ke arah wilayah dan habitat mereka. Ular akan menarik ke satu arah, dengan berpikir, ‘Aku akan memasuki gundukan sarang semut.’ Demikian juga dengan buaya, anjing, srigala dan Monyet akan menarik ke arah lainnya sesuai habitatnya, dengan berpikir, ‘Aku akan memasuki tempatnya saya'.
Sekarang ketika keenam binatang itu menjadi letih dan lelah, mereka akan berdiri di dekat tiang atau pilar itu, mereka akan duduk di sana, mereka akan berbaring di sana.
Demikian pula, para bhikkhu, ketika seorang bhikkhu mengembangkan dan melatih perhatian pada jasmani, maka mata tidak menarik ke arah bentuk-bentuk yang menyenangkan juga tidak ke arah bentuk-bentuk yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; telinga tidak menarik ke arah suara-suara yang menyenangkan juga tidak ke arah suara-suara yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; hidung tidak menarik ke arah bau-bauan yang menyenangkan juga tidak ke arah bau-bauan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; lidah tidak menarik ke arah rasa kecapan yang menyenangkan juga tidak ke arah rasa kecapan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; badan tidak menarik ke arah objek-objek sentuhan yang menyenangkan juga tidak ke arah objek-objek sentuhan yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan; pikiran tidak menarik ke arah fenomena-fenomena pikiran yang menyenangkan juga tidak ke arah fenomena-fenomena pikiran yang tidak menyenangkan sebagai menjijikkan.
Demikianlah pengendalian itu.
“Tiang atau pilar yang kokoh’: ini, para bhikkhu, adalah sebutan untuk perhatian yang diarahkan ke jasmani. Oleh karena itu, para bhikkhu, kalian harus berlatih sebagai berikut: ‘Kami akan mengembangkan dan melatih perhatian yang diarahkan ke jasmani, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, menstabilkannya, melatih diri kami
di dalamnya, dan menyempurnakannya.’ Demikianlah kalian harus berlatih.”
Dapat disimpulkan bahwa tujuan
melatih keawasan adalah melatih indra kita, melatih pikiran kita agar tidak mudah “tertarik” oleh indra-indra kita yang menyenangi atau tidak menyenangi satu objek. Dengan cara inilah kita melatih perhatian dan kewaspadaan pada tahap ini.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (67)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Meninggalkan Lima Rintangan
Dengan Keterasingan
Setelah berlatih penuh perhatian dan kewaspadaan, kini tibalah saatnya untuk melatih perhatian dan kewaspadaan lebih jauh lagi. Kali ini anda harus mengasingkan diri, seperti ulat yang akan menjadi kupu-kupu, ia harus menjadi kepompong terlebih dahulu. Datangilah tempat terasing, suasana perkotaan dengan segala kebisingan dan kesibukannya tidaklah cocok untuk mengembangkan pikiran lebih jauh. Ada tempat-tempat yang lebih kondusif, yang terasing seperti hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami. Datanglah ke sana, tegakkan perhatian, latihlah lebih jauh perhatian dan kewaspadaan penuh/Satipatthāna dan tinggalkanlah lima rintangan.
Hal ini seperti yang Buddha katakan
dalam MN 107:
... “Ketika, Brahmana, bhikkhu itu telah memiliki perhatian penuh dan kewaspadaan penuh, kemudian Sang Tathāgata mendisiplinkannya lebih lanjut: ‘Marilah, Bhikkhu, datangilah tempat tinggal terasing: hutan, bawah pohon, gunung, jurang, gua di lereng gunung, tanah pekuburan, belantara, ruang terbuka, tumpukan jerami.’
“Ia mendatangi tempat tinggal terasing: hutan, tumpukan jerami. Ketika kembali dari perjalanan menerima dana makanan, setelah makan ia duduk bersila, menegakkan tubuh, dan menegakkan perhatian di depannya. Dengan meninggalkan ketamakan akan dunia, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari ketamakan; ia memurnikan pikirannya dari ketamakan. Dengan meninggalkan permusuhan dan kebencian, ia berdiam dengan pikiran yang bebas dari permusuhan, berbelas kasih terhadap kesejahteraan makhluk-makhluk hidup; ia memurnikan pikirannya dari permusuhan dan kebencian. Dengan meninggalkan kelambanan dan ketumpulan, ia berdiam
dengan pikiran yang bebas dari kelambanan dan ketumpulan, mempersepsikan cahaya, penuh perhatian dan penuh kewaspadaan; ia memurnikan pikirannya dari kelambanan dan ketumpulan. Dengan meninggalkan kegelisahan dan penyesalan, ia berdiam tanpa terganggu dengan batin yang damai; ia memurnikan pikirannya dari
kegelisahan dan penyesalan. Dengan meninggalkan keragu-raguan, ia berdiam setelah melampaui keragu-raguan, tanpa kebingungan sehubungan dengan kondisi-kondisi bermanfaat; ia memurnikan pikirannya dari keragu-raguan.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (68)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Terdapat lima rintangan yang menghambat seseorang, yang melemahkan kebijaksanaan seseorang. Kelima itu adalah:
(1) Nafsu indra,
(2) Permusuhan dan kebencian,
(3) Kelambanan dan ketumpulan,
(4) Kegelisahan dan penyesalan,
(5) Keragu-raguan.
Kelima rintangan ini memiliki makanan yang menunjang kelangsungan mereka. Dengan menghilangkan makanan bagi lima rintangan itu, maka lima rintangan itu akan lenyap. Lima rintangan
memiliki lawan yaitu tujuh faktor pencerahan. Ketika lima rintangan lenyap, maka yang akan muncul adalah tujuh faktor pencerahan. Hal ini sesuai dengan yang Buddha katakan dalam SN 46.38 :
... Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia mendengarkan Dhamma dengan sungguh-sungguh, memperhatikannya sebagai sesuatu yang penting, mengarahkan segenap pikirannya padanya, pada saat itu kelima rintangan tidak ada dalam dirinya; pada saat itu ketujuh faktor pencerahan terpenuhi melalui pengembangan. ...
Mengenai makanan lima rintangan, terdapat pada SN 46.51 :
... Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya keinginan indria yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya keinginan indria yang telah muncul? Yaitu, para bhikkhu, gambaran keindahan: berulang-ulang
memperhatikan dengan tidak seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya keinginan indria yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya keinginan indria yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya permusuhan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya permusuhan yang telah muncul? Yaitu, para bhikkhu, gambaran kejijikan: berulang-ulang memperhatikan dengan tidak seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya permusuhan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya permusuhan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya kelambanan dan ketumpulan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya kelambanan dan ketumpulan yang telah muncul? Yaitu, para bhikkhu, ketidak-puasan, kelesuan, kemalasan, kantuk setelah makan, kelembaman pikiran: berulang-ulang memperhatikan dengan tidak seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya kelambanan dan ketumpulan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya kelambanan dan ketumpulan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul? Yaitu, para bhikkhu, kekacauan pikiran:
berulang-ulang memperhatikan dengan tidak seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya keragu-raguan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya keragu-raguan yang telah muncul? Yaitu, para bhikkhu, hal-hal yang menjadi landasan bagi keragu-raguan: berulang-ulang memperhatikan dengan tidak seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya keragu-raguan yang belum muncul dan bagi meningkat dan berkembangnya keragu-raguan yang telah muncul. ...
Itulah makanan bagi lima rintangan yang melemahkan kebijaksanaan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (69)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Lalu di dalam Sutta yang sama juga terdapat cara untuk mengatasi lima rintangan itu :
Dan apakah, para bhikkhu, penelantaran yang mencegah munculnya keinginan indria yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya keinginan indria yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, gambaran kejijikan: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah penelantaran yang mencegah munculnya keinginan indria yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya keinginan indria yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, penelantaran yang mencegah munculnya permusuhan yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya permusuhan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, kebebasan pikiran melalui cinta kasih: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah penelantaran yang mencegah munculnya permusuhan yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya permusuhan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, penelantaran yang mencegah munculnya kelambanan dan ketumpulan yang belum muncul
dan mencegah meningkat dan berkembangnya kelambanan dan ketumpulan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, unsur membangkitkan, unsur usaha, unsur pengerahan: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama
terhadapnya adalah penelantaran yang mencegah munculnya kelambanan dan ketumpulan yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya kelambanan dan ketumpulan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, penelantaran yang mencegah munculnya kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul
dan mencegah meningkat dan berkembangnya kegelisahan
dan penyesalan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, kedamaian batin: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama padanya adalah penelantaran yang mencegah munculnya kegelisahan dan penyesalan yang belum muncul
dan mencegah meningkat dan berkembangnya kegelisahan dan penyesalan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, penelantaran yang mencegah munculnya keragu-raguan yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya keragu-raguan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, kondisi-kondisi bermanfaat dan tidak bermanfaat, kondisi-kondisi tercela dan tanpa cela, kondisi-kondisi hina dan mulia, kondisi-kondisi gelap dan cerah dengan pendampingnya masing-masing: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama padanya adalah penelantaran yang mencegah munculnya keragu-raguan yang belum muncul dan mencegah meningkat dan berkembangnya keragu-raguan yang telah muncul.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (70)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Selanjutnya, terdapat juga penjelasan tentang tujuh faktor pencerahan yang harus dibangkitkan :
... Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan perhatian yang belum muncul dan bagi pemenuhan-melalui-pengembangan atas faktor pencerahan perhatian yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, hal-hal
yang menjadi landasan bagi faktor pencerahan perhatian: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor pencerahan perhatian yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan perhatian yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, kondisi-kondisi bermanfaat dan tidak bermanfaat, kondisi-kondisi tercela dan tanpa cela, kondisi-kondisi hina dan mulia, kondisi-kondisi gelap dan cerah dengan pendampingnya masing-masing: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan kegigihan yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan kegigihan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, unsur membangkitkan, unsur usaha, unsur pengerahan: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama
terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor pencerahan kegigihan yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan kegigihan yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan sukacita yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan sukacita yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, hal-hal yang menjadi landasan bagi faktor pencerahan sukacita: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor
pencerahan sukacita yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan sukacita yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan ketenangan yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan ketenangan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, ketenangan jasmani, ketenangan batin: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor pencerahan ketenangan yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan ketenangan yang
telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan konsentrasi yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan konsentrasi yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, gambaran ketenangan dan gambaran ketidak-kacauan: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor pencerahan konsentrasi yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan konsentrasi yang telah muncul.
Dan apakah, para bhikkhu, makanan bagi munculnya faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan keseimbangan yang telah muncul? Ada, para bhikkhu, hal-hal yang menjadi landasan bagi faktor pencerahan keseimbangan: berulang-ulang memperhatikan dengan seksama terhadapnya adalah makanan bagi munculnya faktor pencerahan keseimbangan yang belum muncul dan bagi pemenuhan melalui pengembangan atas faktor pencerahan keseimbangan yang telah muncul.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (71)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Setelah kita memahami cara untuk meninggalkan lima nivarana dan membangkitkan tujuh faktor pencerahan, kini saatnya kita memahami cara-cara agar Samadhi kita berhasil.
Dalam melaksanakan Samadhi, kita harus melihat kondisi pikiran kita sendiri, apakah pikiran kita sedang bergairah atau lembam. Dari situ kita dapat menyimpulkan apa yang harus diperhatikan, apa yang harus dikembangkan. Dalam AN 3.102 dikatakan:
... Ketika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi, dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan tiga gambaran: (1) Dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran konsentrasi, (2) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran usaha, dan (3) dari waktu ke waktu ia harus memperhatikan gambaran keseimbangan.
“Jika seorang bhikkhu menekuni pikiran yang lebih tinggi dan hanya memperhatikan gambaran konsentrasi, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kemalasan.
Jika ia hanya memperhatikan gambaran usaha, maka adalah mungkin bahwa pikirannya akan berbelok ke arah kegelisahan. Jika ia hanya memperhatikan gambaran keseimbangan, maka adalah mungkin bahwa pikirannya tidak terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda.
Tetapi ketika seorang bhikkhu yang menekuni pikiran yang lebih tinggi dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran konsentrasi, dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran usaha, dan dari waktu ke waktu memperhatikan gambaran keseimbangan, maka pikirannya menjadi lunak, dapat dibentuk, dan cerah, lentur dan terkonsentrasi dengan baik untuk hancurnya noda-noda.
Misalkan, para bhikkhu, seorang pandai emas atau muridnya akan mempersiapkan tungku, memanaskan wadah, mengambil emas dengan penjepit, dan meletakkannya ke dalam wadah. Kemudian dari waktu ke waktu ia akan meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, dan dari waktu ke waktu hanya melihatnya saja. Jika si pandai emas atau muridnya hanya meniup emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu hanya akan terbakar. Jika ia hanya memercikkan air pada emas itu, maka adalah mungkin bahwa emas itu akan menjadi dingin. Jika ia hanya melihatnya saja, maka adalah mungkin bahwa emas itu tidak mencapai kekentalan yang tepat. Tetapi jika si pandai emas atau muridnya itu dari waktu ke waktu ia meniupnya, dari waktu ke waktu memercikkan air, maka emas itu akan menjadi lunak, dari waktu kewaktu dapat dibentuk, cerah, lentur dan dikerjakan dengan baik. Kemudian perhiasan apa pun yang ingin dibuat oleh si pandai emas, apakah gelang, anting-anting, kalung, atau kalung bunga dari emas. Maka ia dapat mencapai tujuannya.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (72)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Di dalam Sutta ini terdapat tiga gambaran yang harus diperhatikan yaitu konsentrasi, usaha, dan keseimbangan.
Sementara dalam SN 46.53 disebutkan tentang tujuh faktor pencerahan dan kapan waktu yang tepat juga tidak tepat untuk mengembangkannya. Kita mulai dari pikiran yang lembam.
A1. Pikiran yang lembam: tidak tepat pada waktunya
... Pada suatu ketika, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi lembam, adalah tidak tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan.
Karena alasan apakah? Karena pikiran lembam, para bhikkhu, adalah sulit membangkitkannya dengan faktor-faktor tersebut.
Misalkan para bhikkhu, seseorang ingin mengobarkan api. Jika ia melemparkan rumput basah, kotoran sapi basah, dan kayu basah ke dalamnya, memerciknya dengan air, dan menaburkan tanah di
atasnya, dapatkah ia mengobarkan api itu?
Tidak, Yang Mulia.
Demikian pula, para bhikkhu, pada suatu ketika pikiran menjadi lembam, adalah tidak tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan. Karena alasan apakah? Karena pikiran lembam, para bhikkhu,
adalah sulit membangkitkannya dengan faktor-faktor tersebut.
A2. Pikiran lembam: tepat pada waktunya
Pada suatu ketika, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi lembam, adalah tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi, faktor pencerahan kegigihan, dan faktor pencerahan sukacita. Karena alasan apakah? Karena pikiran lembam, para bhikkhu, adalah mudah membangkitkannya dengan faktor-faktor tersebut.
Misalkan para bhikkhu, seseorang ingin mengobarkan api. Jika ia melemparkan rumput kering, kotoran sapi kering, dan kayu kering ke dalamnya, meniupnya, dan tidak menaburkan tanah di atasnya,
dapatkah ia mengobarkan api itu?
Dapat, Yang Mulia.
Demikian pula, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi lembam, adalah tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi, faktor pencerahan kegigihan, dan faktor pencerahan sukacita. Karena alasan apakah?
Karena pikiran lembam, para bhikkhu, adalah mudah membangkitkannya dengan faktor-faktor tersebut.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (73)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Yang selanjutnya adalah ketika pikiran sedang bergairah.
Pada saat pikiran sedang bergairah, terdapat faktor-faktor yang tepat dan tidak tepat untuk dikembangkan :
B1. Pikiran yang bergairah: tidak tepat pada waktunya.
Pada suatu ketika, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi bergairah, adalah tidak tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi, faktor pencerahan kegigihan, dan faktor pencerahan sukacita. Karena alasan
apakah? Karena pikiran bergairah, para bhikkhu, adalah sulit menenangkannya dengan faktor-faktor tersebut.
Misalkan, para bhikkhu, seseorang ingin memadamkan kobaran api. Jika ia melemparkan rumput kering, kotoran sapi kering, dan kayu kering ke dalamnya, meniupnya, dan tidak menaburkan tanah di atasnya, dapatkah ia memadamkan kobaran api itu?
Tidak, Yang Mulia.
Demikian pula, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi bergairah, adalah tidak tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan pembedaan kondisi-kondisi, faktor pencerahan kegigihan, dan faktor pencerahan sukacita. Karena alasan apakah? Karena pikiran bergairah, para bhikkhu, dan adalah sulit menenangkannya dengan faktor-faktor tersebut.
B2. Pikiran yang bergairah: tepat pada waktunya.
Pada suatu ketika, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi bergairah, adalah tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan. Karena alasan apakah? Karena pikiran bergairah, para bhikkhu, adalah mudah menenangkannya dengan faktor-faktor tersebut.
Misalkan, para bhikkhu, seseorang ingin memadamkan kobaran api. Jika ia melemparkan rumput basah, kotoran sapi basah, dan kayu basah ke dalamnya, memerciknya dengan air, dan menaburkan tanah di atasnya, dapatkah ia memadamkan kobaran api itu?
Dapat, Yang Mulia.
Demikian pula, para bhikkhu, ketika pikiran menjadi bergairah, adalah tepat pada waktunya untuk mengembangkan faktor pencerahan ketenangan, faktor pencerahan konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan. Karena alasan apakah? Karena pikiran bergairah, para bhikkhu, dan adalah mudah menenangkannya dengan faktor-faktor tersebut.
Terdapat satu faktor yang tepat untuk dikembangkan baik ketika pikiran sedang lembam maupun sedang bergairah. Faktor itu adalah perhatian. Hal itu dinyatakan oleh Buddha dalam bait
terakhir Sutta ini : Tetapi perhatian, para bhikkhu, Aku katakan adalah selalu berguna.
Berdasarkan dua Sutta diatas, kita dapat menghubungkan Sutta pertama dengan Sutta kedua. Gambaran konsentrasi dapat dihubungkan pada faktor pencerahan konsentrasi, gambaran keseimbangan dapat dihubungkan pada faktor pencerahan keseimbangan. Kedua faktor ini dapat dengan tepat dikembangkan
ketika pikiran sedang bergairah. Sedangkan gambaran usaha dapat dihubungkan pada faktor pencerahan kegigihan. Faktor ini dapat dengan tepat dikembangkan ketika pikiran sedang lembam.
Dengan mengetahui keadaan pikiran kita, kita dapat menentukan apa yang tepat untuk dikembangkan pada saat berlatih. Dengan demikian, maka Samadhi kita akan mengalami kemajuan.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (74)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Empat Jhāna
Setelah kita meninggalkan lima rintangan yang melemahkan kebijaksanaan, pada saat itulah seorang meditator mulai
masuk dan berdiam dalam pencapaian Jhāna-Jhāna.
Beberapa Sutta menjelaskan tentang pencapaian Jhāna, salah satunya AN 5.48:
... “Di sini, para bhikkhu, dengan terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan pemikiran dan pemeriksaan, dengan sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari keterasingan.
“Dengan meredanya pemikiran dan pemeriksaan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua, yang memiliki keyakinan internal dan keterpusatan pikiran, yang tanpa pemikiran dan tanpa pemeriksaan, dan memiliki sukacita dan kebahagiaan yang timbul dari konsentrasi.
“Dengan meluruhnya sukacita, ia berdiam dalam keseimbangan dan, penuh perhatian dan memahami dengan jernih, ia mengalami kebahagiaan dalam jasmani; ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke tiga yang dikatakan oleh para
mulia: ‘Ia seimbang, penuh perhatian, seorang yang berdiam dalam kebahagiaan.’
“Dengan meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, ia masuk dan berdiam dalam jhāna ke empat, yang bukan menyakitkan juga bukan menyenangkan dan termasuk pemurnian perhatian oleh keseimbangan.” ...
Perlu diingat, sebelum memasuki pencapaian Jhāna, seseorang haruslah meninggalkan kelima rintangan (panca nivarana) terlebih dahulu. Kelima itu adalah: Nafsu indrawi (kāmacchanda), niat buruk (byāpāda), kelambanan dan kantuk (thīna-middha), kegelisahan dan penyesalan (uddhacca-kukkucca),
dan keragu-raguan (vicikicchā).
Ketika seseorang telah meninggalkan lima rintangan, maka seseorang diumpamakan terbebas dari hutang, penyakit, penjara, perbudakan, dan bahaya. Karakteristik lainnya yang dirasakan ketika memasuki pencapaian
Jhāna adalah meredanya indra-indra eksternal. Dalam artian di sini, indra-indra meditator menjadi terkendali dan tidak dapat mengalihkan perhatian meditator kepada objek yang sedang diamati. Ketika seperti ini, itu berarti tubuh anda tidak akan merasakan sentuhan-sentuhan, mata anda tidak akan melihat objek-objek, telinga anda tidak akan mendengarkan suara-suara, dan seterusnya. Indra anda tenang, dan tidak akan menarik perhatian anda.
Buddha Dhamma Secara Bertahap (75)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Terdapat satu Sutta lainnya yaitu AN 10.72 yang menceritakan tentang beberapa orang Licchavi yang terkenal memasuki hutan besar untuk menemui Sang Buddha dengan kereta-kereta terbaik mereka. Mereka membuat keributan dan kegaduhan di hutan. Para Bhikkhu yang pada saat itu mengingat perkataan Sang Buddha demikian:
“Sang Bhagavā telah menyebut kebisingan sebagai duri bagi jhāna-jhāna”. Pada akhirnya meninggalkan hutan tersebut dan
pindah ke hutan Sala di Gosinga. Setelah itu, Buddha membabarkan tentang sepuluh duri:
... “Bagus, bagus, para bhikkhu! Para siswa besar itu berkata benar ketika mereka mengatakan bahwa Aku telah menyebut kebisingan sebagai duri bagi jhāna-jhāna. Ada, para bhikkhu, sepuluh duri ini. Apakah sepuluh ini?
(1) Bersenang dalam kumpulan adalah duri bagi seorang yang bersenang dalam kesendirian.
(2) Mengejar objek yang menarik adalah duri bagi seorang yang menekuni meditasi pada gambaran yang tidak menarik.
(3) Pertunjukan yang tidak selayaknya adalah duri bagi seorang yang menjaga pintu-pintu indrianya.
(4) Bergaul dengan para perempuan adalah duri bagi kehidupan selibat.
(5) Kebisingan adalah duri bagi jhāna pertama.
(6) Pemikiran dan pemeriksaan adalah duri bagi jhāna ke dua.
(7) Sukacita adalah duri bagi jhāna ke tiga.
(8) Napas-masuk dan napas-keluar adalah duri bagi jhāna ke empat.
(9) Persepsi dan perasaan adalah duri bagi pencapaian lenyapnya persepsi dan perasaan.
(10) Nafsu adalah duri, kebencian adalah duri, dan delusi adalah duri. Berdiamlah tanpa duri, para bhikkhu! Berdiamlah dengan tidak memiliki duri! Para Arahant adalah tanpa duri. Para Arahant tidak memiliki duri. Para Arahant adalah tanpa duri dan tidak memiliki duri.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (76)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Berdasarkan pada AN 5.48, dapat disimpulkan formula Jhāna sebagai berikut:
Jhāna 1
Vivekaja : Keterasingan, dari kenikmatan indra dan hal-hal buruk. Memunculkan vitakka, vicāra, piti, sukha.
Vitakka : Pengarahan Sati ke objek
Vicara : Mempertahankan Sati agar tetap di objek
Piti : Rasa Giur/sukacita
Sukha : Kebahagiaan/kenikmatan
Jhāna 2
Samadhi : Konsentrasi tanpa Vittaka dan Vicāra
Piti : Rasa Giur/sukacita
Sukha : Kebahagiaan/kenikmatan
Jhāna3
Uppekha : Perhatian (Sati) yang tenang, sadar penuh, dan jernih.
Sukha : Kebahagiaan/kenikmatan
Jhāna 4
Parisuddhi : Kesadaran (sati) yang kuat, lentur, Uppekha dan seimbang, mudah diarahkan.
Di AN 5.48 juga menjelaskan bagaimana rasanya masing-masing Jhāna yang akan dirasakan oleh seseorang yang mencapainya. Dikatakan di dalam Jhāna pertama, seseorang akan merasakan kegiuran dan kebahagiaan yang berasal dari keterasingan meliputi seluruh tubuhnya. Berikut adalah kutipannya:
... “Ia membuat sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan itu. Bagaikan seorang petugas pemandian atau murid petugas pemandian menumpuk bubuk mandi dalam baskom logam dan, secara perlahan memerciknya dengan air, meremasnya hingga kelembaban membasahi bola bubuk mandi tersebut, membasahinya, dan meliputinya di dalam dan di luar, namun bola itu sendiri tidak meneteskan air.” ...
Selanjutnya pada Jhāna ke-dua, seseorang akan merasakan kegiuran dan kebahagiaan yang berasal dari konsentrasi meliputi seluruh tubuhnya. Berikut adalah kutipannya:
... “Ia membuat sukacita dan kebahagiaan yang muncul dari konsentrasi itu, basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh sukacita dan kebahagiaani yang muncul dari konsentrasi itu. Bagaikan sebuah danau yang airnya berasal dari mata air di dasarnya dan tidak ada aliran masuk dari timur, barat, utara, atau selatan, dan tidak ditambah dari waktu ke waktu dengan curahan hujan, kemudian mata air sejuk memenuhi danau itu dan membuat air sejuk itu membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi seluruh danau itu, sehingga tidak ada bagian danau itu yang tidak terliputioleh air sejuk itu.”
Pada Jhāna ke-tiga, ia merasakan kebahagiaan yang tanpa kegiuran (piti). Seseorang yang mencapai Jhāna ke-tiga ini juga dinyatakan oleh para mulia sebagai “Ia seimbang, penuh perhatian,
seorang yang berdiam dengan bahagia.” Berikut adalah kutipannya:
... “Ia membuat kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu, basah, merendam, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh kebahagiaan yang terlepas dari sukacita itu. Bagaikan, dalam sebuah kolam
teratai biru atau merah atau putih, beberapa teratai tumbuh dan
berkembang dalam air tanpa keluar dari air, dan air sejuk membasahi, merendam, mengisi, dan meliputi teratai-teratai itu dari pucuk hingga ke akarnya, sehingga tidak ada bagian dari teratai-teratai itu yang tidak terliputi oleh air sejuk.”...
Dan yang terakhir Jhāna ke-empat. Pada pencapaian ini tidak ada lagi kebahagiaan, yang ada hanyalah perhatian pikiran yang telah dimurnikan hingga murni dan cerah. Berikut adalah kutipannya:
... “Ia duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu. Bagaikan seorang yang duduk dan ditutupi dengan kain putih dari
kepala ke bawah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak tertutupi oleh kain putih itu; demikian pula, seorang bhikkhu duduk dengan meliputi tubuh ini dengan pikiran yang murni dan cerah, sehingga tidak ada bagian dari tubuhnya yang tidak terliputi oleh pikiran yang murni dan cerah itu.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (77)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Empat Landasan Kekuatan Batin
dan Pencapaian Arūpa
Setelah anda dengan benar mengembangkan Jhāna ke-empat, anda akan dapat memiliki berbagai kekuatan batin dan pencapaian Arūpa. Dalam beberapa Sutta seperti
AN 5.28 dikatakan:
... “Ketika, para bhikkhu, konsentrasi benar berfaktor lima yang mulia telah dikembangkan dan dilatih dengan cara ini, maka, jika ada landasan yang sesuai, ia mampu
merealisasikan kondisi apa pun yang dapat direalisasikan melalui pengetahuan langsung ke arah mana ia mengarahkan pikirannya.” ...
Kebanyakan orang berpikir
bahwa jika seseorang mencapai Jhāna ke-empat, mereka tinggal mengarahkan pikirannya pada satu kesaktian, maka mereka akan merealisasikan kesaktian itu. Prosesnya tidak sesimpel itu. Mereka yang telah mencapai Jhāna ke-empat perlu mengembangkan
empat landasan kekuatan batkn (cattaro iddhipāda). Apakah itu?
Yaitu adalah Chanda, Viriya, Citta, dan Vimaṁsā.
Beberapa Sutta menyatakan tentang empat Iddhipāda, salah satunya DN 26:
... “Dan apakah panjang kehidupan bagi seorang bhikkhu? Di sini seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari kemauan (Chanda) dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari kegigihan (Viriya) dan usaha penuh tekad. Ia mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat dalam konsentrasi yang muncul dari
(kemurnian) pikiran (Citta) dan usaha penuh tekad. Ia
mengembangkan landasan kekuatan batin yang terdapat
dalam konsentrasi yang muncul dari penyelidikan (Vimaṁsā) dan usaha penuh tekad. Dengan sering melatih empat jalan menuju kekuatan ini ia dapat, jika ia menginginkan, hidup
selama satu abad, atau hingga akhir abad yang itu. Itu adalah apa yang Kusebut panjang kehidupan seorang bhikkhu.” ...
Buddha Dhamma Secara Bertahap (78)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Ketika seseorang telah melatih empat landasan kekuatan batin, maka ia dapat mencapai kesaktian-kesaktian, dan juga hidup dengan usia panjang. Hal ini senada dengan apa yang Buddha katakan dalam DN 16:
... ‘”Ānanda, siapapun yang mengembangkan empat landasan
kekuatan batin, sering melatihnya, menjadikannya kendaraan, menjadikannya landasan, mengokohkannya, menjadi terbiasa dengannya dan melaksanakannya dengan benar, tidak diragukan dapat hidup selama satu abad atau hingga akhir dari abad tersebut. Tathāgata telah
mengembangkan kekuatan-kekuatan ini, melaksanakannya dengan benar. Dan Beliau dapat, Ānanda, tidak diragukan, hidup selama satu abad, atau hingga akhir dari abad tersebut.” ...
Tidaklah sulit mencari di Sutta kekuatan batin yang dapat dicapai ketika telah mencapai Jhāna ke-empat dan melatih empat landasan kekuatan batin. Salah satunya terdapat dalam MN 73:
... “Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku dapat mengerahkan berbagai jenis kekuatan batin: dari satu, semoga aku menjadi banyak; dari banyak semoga aku menjadi satu; semoga aku muncul dan lenyap; semoga aku berjalan tanpa halangan menembus dinding, menembus tembok, menembus gunung, seolah-olah menembus ruang kosong; semoga aku dapat menyelam masuk ke dalam dan
keluar dari dalam tanah seolah-olah di air; semoga aku dapat berjalan di air tanpa tenggelam seolah-olah di atas tanah; dengan duduk bersila, semoga aku dapat bepergian di angkasa bagaikan burung; dengan tanganku semoga aku dapat menyentuh bulan dan matahari begitu kuat dan perkasa; semoga aku dapat mengerahkan kekuatan jasmani bahkan hingga sejauh alam Brahma’—engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada didalamnya, jika ada landasan yang sesuai.
“Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku, dengan unsur telinga dewa, yang murni dan melampaui manusia, dapat mendengar kedua jenis suara, suara surgawi dan manusia, yang jauh maupun dekat’ engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada
landasan yang sesuai".
“Sejauh engkau menghendaki: ‘Semoga aku memahami pikiran makhluk-makhluk lain, pikiran orang-orang lain, dengan melingkupi pikiran mereka dengan pikiranku. Semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh nafsu sebagai
terpengaruh nafsu dan pikiran yang tidak terpengaruh nafsu sebagai tidak terpengaruh nafsu; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh kebencian sebagai terpengaruh kebencian dan pikiran yang tidak terpengaruh kebencian sebagai tidak terpengaruh kebencian; semoga aku memahami pikiran yang terpengaruh delusi sebagai terpengaruh delusi dan pikiran yang tidak terpengaruh delusi sebagai tidak terpengaruh delusi; semoga aku memahami pikiran yang mengerut sebagai mengerut dan pikiran yang
kacau sebagai kacau; semoga aku memahami pikiran luhur sebagai luhur dan pikiran tidak luhur sebagai tidak luhur; semoga aku memahami pikiran yang terbatas sebagai terbatas dan pikiran tidak terbatas sebagai tidak terbatas; semoga aku memahami pikiran terkonsentrasi sebagai terkonsentrasi dan pikiran tidak terkonsentrasi sebagai tidak terkonsentrasi; semoga aku memahami pikiran yang terbebaskan sebagai terbebaskan dan pikiran yang tidak terbebaskan sebagai tidak terbebaskan’ engkau akan mencapai kemampuan untuk menyaksikan aspek apapun yang ada di dalamnya, jika ada landasan yang sesuai.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (79)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Yang berikutnya adalah landasan Arūpa. Pencapaian landasan Arūpa adalah setahap demi setahap, yang masing-masing bergantung pada pencapaian sebelumnya. Seperti yang dinyatakan dalam SN 14.11:
... “Bhikkhu, unsur cahaya terlihat dengan bergantung pada kegelapan. Unsur keindahan terlihat dengan bergantung pada keburukan. Unsur landasan ruang tanpa batas terlihat dengan bergantung pada bentuk. Unsur landasan kesadaran tanpa batas terlihat dengan bergantung pada landasan ruang tanpa batas. Unsur landasan kekosongan terlihat dengan bergantung pada landasan kesadaran tanpa batas. Unsur landasan bukan-persepsi juga bukan bukan-persepsi terlihat dengan bergantung pada landasan kekosongan.”
Di Sutta ini juga menjelaskan bahwa pencapaian Arūpa 1-3 dicapai dengan persepsi (sañña), sedangkan untuk Arūpa 4 dicapai dengan sisa bentukan-bentukan (sankhara). Penjelasan mengenai landasan Arūpa dapat di lihat dalam beberapa Sutta, salah satunya terdapat dalam AN 9.32:
... “Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk-bentuk, dengan lenyapnya persepsi kontak indria, dengan tanpa-perhatian pada persepsi keberagaman, [dengan menyadari] ‘ruang adalah tanpa batas,’ seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam landasan ruang tanpa batas. Dengan sepenuhnya melampaui landasan ruang tanpa batas, [dengan menyadari] ‘kesadaran adalah tanpa batas,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kesadaran tanpa batas. Dengan sepenuhnya melampaui landasan kesadaran tanpa batas, [dengan menyadari] ‘tidak ada apa-apa,’ ia masuk dan berdiam dalam landasan kekosongan.
Dengan sepenuhnya melampaui landasan kekosongan, ia masuk dan berdiam dalam landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi.” ...
Terdapat persepsi yang lenyap ketika seseorang mencapai satu tingkatan landasan Arūpa, dan ketika orang itu mencapai tingkatan Arūpa lainnya yang lebih tinggi, terdapat persepsi lainnya
yang lenyap juga. Hal ini dinyatakan dalam AN 9.31:
... “Bagi seorang yang telah mencapai landasan ruang tanpa batas, persepsi bentuk telah lenyap. Bagi seorang yang telah mencapai landasan kesadaran tanpa batas, persepsi yang berhubungan dengan landasan ruang tanpa batas telah lenyap. Bagi seorang yang telah mencapai landasan kekosongan, persepsi yang berhubungan dengan landasan kesadaran tanpa batas telah lenyap. Bagi seorang yang telah mencapai landasan bukan persepsi juga bukan bukan-persepsi, persepsi yang berhubungan dengan landasan kekosongan telah lenyap.”
Buddha Dhamma Secara Bertahap (80)
~ Arya Karniawan dan Bhikkhu Cittajayo
Tiga Pengetahuan dan Lenyapnya Persepsi & Perasaan.
Kedua pencapaian ini sebelumnya dipisahkan karena kedua pencapaian ini adalah dua metode untuk merealisasikan Nibbana. Metode yang pertama adalah melalui penembusan tiga pengetahuan di Jhāna ke empat. Tiga pengetahuan ini adalah mengingat kehidupan masa lalu, memiliki mata dewa, dan melenyapkan noda-noda.
Pengetahuan (Vijja) adalah lawan dari ketidak-tahuan (Avijja) sehingga pada penembusan tiga pengetahuan inilah, avijja dapat dihancurkan. Penjelasan terhadap tiga pengetahuan sangat banyak
tersebar di berbagai Sutta, salah satunya adalah MN 51:
... “Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau. Ia mengingat banyak kehidupan lampau, yaitu satu kelahiran, dua kelahiran, tiga kelahiran, empat kelahiran, lima kelahiran, sepuluh kelahiran, dua puluh kelahiran, tiga puluh kelahiran, empat puluh kelahiran, lima puluh kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, seratus ribu kelahiran, banyak kappa penyusutan-dunia, banyak kappa pengembangan-dunia, banyak kappa penyusutan-dan-pengembangan-dunia: ‘Di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di tempat lain; dan di sana aku bernama itu, dari suku itu, dengan penampilan seperti itu, makananku seperti itu, pengalaman kesenangan dan kesakitanku seperti itu, umur kehidupanku selama itu; dan meninggal dunia dari sana, aku muncul kembali di sini.’ Demikianlah dengan segala aspek dan ciri-cirinya ia mengingat banyak kehidupan lampau.
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk. Dengan mata-dewa, yang murni
dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin.
Ia memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka sebagai berikut: ‘Makhluk-makhluk ini yang
berperilaku buruk dalam jasmani,
ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kesengsaraan, bahkan di dalam neraka; tetapi makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani,
ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga.’ Demikianlah dengan mata-dewa yang murni dan melampaui manusia, ia melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin, dan ia memahami
bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka.
Comments
Post a Comment